REVIEW - YOU ARE THE APPLE OF MY EYE

Tidak ada komentar

Sebagaimana film Taiwan legendaris rilisan tahun 2011 berjudul sama yang dibuat ulang olehnya (yang juga merupakan adaptasi novel semi-autobiografi dengan judul sama karya Giddens Ko), You Are the Apple of My Eye tidak membebani dirinya dengan isu-isu berat. Apa yang debut penyutradaraan Cho Young-myoung yang turut menulis naskahnya ini lakukan "hanya" menangani formula klasik dalam kisah-kisah romansa dengan sebaik mungkin. 

Kehidupan remaja berbalut asmara masa SMA, hingga gerak lambat yang dipakai tatkala si tokoh utama perempuan menampakkan kecantikannya, tentu kita sudah familiar dengan pakem-pakem tersebut. Klise, tapi di saat bersamaan juga terasa menyegarkan melihat kisah cinta polos semacam ini hadir di tengah keruwetan dunia modern. 

You Are the Apple of My Eye tidak ingin memusingkan diri dengan tetek bengek kehidupan. Begitu pula protagonisnya, Jin-woo (Jung Jin-young), yang alih-alih belajar giat, lebih memilih bersenang-senang bersama para sahabatnya. Korea Selatan di awal 2000-an memang telah memasuki babak baru. Krisis finansial berlalu, sementara kejayaan di Piala Dunia baru direngkuh. Nuansa positif itulah yang mungkin membentuk tindak-tanduk Jin-woo. 

Sebaliknya, Seon-ah (Dahyun) si murid teladan sekaligus ketua kelas selalu menyibukkan diri dengan buku. Ketika guru memindahkan tempat duduk Jin-woo tepat di depan Seon-ah, di situlah romantisme mereka bermula. Tusukan lembut pulpen bertinta biru Seon-ah ke punggungnya jadi rutinitas yang Jin-woo nantikan tiap hari. Keduanya tersenyum malu-malu, demikian pula penonton. 

Kemampuan You Are the Apple of My Eye memancing senyum berasal dari kedekatan terhadap realita yang ia bangun. Kita pernah melakukan kenakalan bersama teman-teman SMA, bahkan mungkin juga melawan guru, atau menantikan momen duduk berdekatan di kelas dengan orang yang kita sukai. 

Di satu kesempatan, Jin-woo dan Seon-ah bertaruh soal siapa yang mendapat nilai lebih tinggi di ujian. Jin-woo akan memotong rambutnya bila kalah, sebaliknya Seon-ah akan menggerai rambut yang selama ini selalu ia ikat. Ketika mereka memenuhi "hukuman" masing-masing, murid lain cuma bisa kebingungan tanpa tahu alasan di balik perbuatan keduanya. Jin-woo dan Seon-ah pun hanya tersenyum, memeluk erat rahasia berdua yang terasa begitu manis. 

Humornya, yang disusun berdasarkan deretan perilaku bodoh sekelompok remaja pun efektif memancing tawa, melengkapi katalog rasa yang mesti dimiliki kisah cinta masa muda. Mungkin satu hal yang cukup disayangkan perihal rasa adalah ketiadaan "momen besar" selaku puncak emosi. Adegan "what if" yang digunakan untuk menutup narasi seharusnya mengemban tugas tersebut, sayangnya penyuntingan yang kurang maksimal, bahkan cenderung kacau, melucuti daya bunuhnya. 

Setidaknya chemistry kedua pemeran utamanya tak pernah memudar. Jin-young yang natural memerankan pemuda kekanak-kanakan yang bertingkah semaunya dalam menjalani hidup, maupun Dahyun yang bersikap lebih dewasa dan terbukti mampu melakoni momen emosional, sama-sama membantu penonton merasakan manisnya cinta pertama dua karakter utamanya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: