Tampilkan postingan dengan label Ethan Hawke. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ethan Hawke. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE NORTHMAN

"There is nothing either good or bad, but thinking make it so", ucap Hamlet. The Northman karya sutradara Robert Eggers (The Witch, The Lighthouse) mengadaptasi legenda tentang Amleth, yang kisah hidupnya menginspirasi William Shakespeare melahirkan The Tragedy of Hamlet, Prince of Denmark. Sebuah kisah epik yang melempar ambiguitas soal "Apakah kita tengah menyaksikan keberanian seorang prajurit menuntut balas, atau semata wujud kebengisan haus darah?". 

Setiap menemui cerita masa lalu, entah melalui medium film dan serial, atau dalam buku pelajaran sejarah, saya kerap menganggap betapa masa itu sungguh mengerikan. Raja dilengserkan oleh kudeta berdarah, lalu keturunannya menuntut balas sekaligus merebut kembali tampuk kekuasaan, dan itu terus berulang selama beberapa generasi, membentuk lingkaran setan yang menolak putus. 

The Northman melukiskan dunia yang serupa, di mana aroma kematian begitu mencekat, darah bercampur bangkai seolah bisa tercium dari kabut dan lumpur. Latarnya tahun 895, dan Raja Aurvandill (Ethan Hawke) bertahta di Hrafnsey, hidup bersama sang istri, Ratu Gudrún (Nicole Kidman), dan puteranya, Amleth (Oscar Novak). 

Aurvandill menyatakan ingin mati di medan perang, karena itulah kunci menuju Valhalla. Di sebuah upacara spiritual yang dipimpin Heimir (Willem Dafoe), Aurvandill dan Amleth bertingkah layaknya anjing, kemudian Raja bertitah agar kelak setelah ia tewas, sang putera mahkota membalaskan kematiannya. Sisi buas manusia, kematian, balas dendam. Hal-hal itu menguasai dunia The Northman. Tiada ruang bagi kebahagiaan maupun harapan.

Benar saja, Fjölnir (Claes Bang), saudara tiri Aurvandill, membunuhnya, mengambil alih kekuasaan, bahkan menikahi Ratu Gudrún. Amleth berhasil kabur, dan mengabdikan hidupnya untuk menghabisi nyawa si paman. Selang beberapa tahun, Amleth dewasa (Alexander Skarsgård) tumbuh jadi prajurit Viking beringas, yang menjalankan pembalasannya dengan menyamar sebagai budak Fjölnir. 

Sekali lagi, tiada ruang bagi kebahagiaan maupun harapan di sini, dan Eggers memastikan kesan tersebut muncul di tiap sudut. Kembali berkolaborasi dengan Jarin Blaschke sebagai sinematografer, gambar-gambar atmosferik ia bentangkan di hadapan penonton. Warna kuning menyesakkan dalam pencahayaan temaram, sementara tone monokrom jadi pilihan unik untuk mewakili kegelapan pekat. 

Enggan rasanya memalingkan mata dari layar. Semakin menghipnotis tatkala musik gubahan Robin Carolan dan Sebastian Gainsborough pun membangun nuansa atmosferik yang sama, sambil sesekali menaikkan intensitas agar penonton ingat kalau sedang menyaksikan sebuah epik. Segala departemennya mencengkeram, dan tentunya gelap. Bahkan suara Dafoe sewaktu mendeskripsikan pedang ajaib bernama Draugr pun bagai suara dari alam mimpi buruk.

Ada kalanya naskah buatan Eggers dan Sjón terdengar puitis sebagaimana kisah-kisah dari abad pertengahan pada umumnya. Salah satu favorit saya adalah kalimat "Soaked in my blood, it will soon be sliding off your arm like a serpent" yang diucapkan Aurvandill. Indah, tapi tetap lekat dengan kegelapan yang diusung. Romansa terjalin antara Amleth dan Olga (Anya Taylor-Joy), salah satu budak Fjölnir, tapi cinta mereka pun dipersatukan oleh intensi balas dendam. Seksnya biarpun menyimpan hasrat, juga terasa seperti upaya mengenyahkan emosi-emosi negatif yang tak pernah bisa sepenuhnya dilakukan. 

Di bawah penanganan Eggers, tidak mengejutkan saat dunia sarat paham nihilisme ini digiring ke ranah horor. Beberapa adegan trippy ala horor sureal dapat ditemukan, pun ada fase di mana filmnya "meminjam" unsur slasher berdarah. The Northman merupakan karya seorang sineas yang berkat kematangannya, telah menemukan jati diri yang memudahkannya bermain-main dengan formula aneka genre. 

Skarsgård dengan tubuh kekar, jenggot, serta wajah kerasnya tampak intimidatif, meyakinkan sebagai prajurit dengan ketangguhan fisik tanpa tanding. Tapi begitu ia (dan penonton) mengetahui kebenaran di balik tragedi beberapa tahun lalu, timbul berbagai perenungan. Apakah hatinya setangguh itu? Apakah balas dendam yang ia impikan merupakan wujud keadilan dan kedigdayaan? Ataukah Amleth hanya jiwa terluka yang gagal mengolah kompleksnya realita, akibat dunia yang dikuasai kematian di tiap sisinya? 

(iTunes US)

REVIEW - THE BLACK PHONE

(Tulisan ini mengandung SPOILER)

Di semesta lain, Scott Derrickson berujung menyelesaikan Doctor Strange in the Multiverse of Madness, sementara naskah The Black Phone, yang ia dan C. Robert Cargill adaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Joe Hill, bakal ia garap selepas tugasnya di Marvel tuntas, atau diserahkan pada sutradara lain sebagaimana rencana awal. 

Untunglah kita berada di semesta berbeda. Semesta di mana Sam Raimi melahirkan horor pertama bagi MCU. Semesta di mana Multiverse of Madness dan The Black Phone rilis di tahun yang sama. Semesta di mana Derrickson bisa menyelesaikan passion project-nya, sebuah perpaduan antara horor supernatural dengan thriller, yang memiliki salah satu payoff terbaik tahun ini. 

Dilihat dari permukaan, premisnya jauh dari spesial. Berlatar pinggiran kota Colorado tahun 1978, sosok misterius yang dijuluki "The Grabber" (Ethan Hawke) menebar teror. Sudah lima anak ia culik (diyakini mereka semua telah dibunuh), dan protagonis kita, Finney (Mason Thames) merupakan korban keenam. Sederhana.

Muncul pembeda tatkala di ruang penyekapannya, Finney menemukan telepon yang terus berdering meski sudah tak tersambung. Rupanya melalui telepon itu, Finney dapat berkomunikasi dengan arwah-arwah korban "The Grabber" yang ingin membantunya kabur. Elemen tersebut memang jadi jualan utama cerita pendeknya. 

Tapi Derrickson dan Cargill mengembangkan aspek supernaturalnya lewat tokoh Gwen (Madeleine McGraw), adik Finney yang punya kemampuan cenayang. Mimpi Gwen bukan bunga tidur biasa, melainkan gambaran realita, yang berusaha dia pakai untuk mencari petunjuk soal keberadaan sang kakak. 

Terciptalah dunia di mana hal supernatural bukan cuma terjadi pada telepon di lokasi penyekapan. Seolah mistisisme adalah bagian wajar (biarpun masih langka) dalam realitanya. The Black Phone juga menjauh dari formula horor arus utama, yang mengidentikkan fenomena mistis dengan kejahatan. Di sini sebaliknya, dari situlah cahaya harapan berasal. Pria biasa tanpa kemampuan spesial justru lebih kejam dan mengancam.

Selama 102 menit, Derrickson memakai pendekatan atmosferik, mengajak penonton mengamati upaya Finney kabur bermodalkan saran dari para arwah, yang masing-masing membawa strategi berbeda. Ada kalanya intensitas mampu dibangun, terlebih musik garapan Mark Korven efektif membangun ketidaknyamanan. Walau ada kalanya permainan tempo Derrickson cenderung draggy, dan ia pun nampaknya menyadari risiko kebosanan penonton, sehingga merasa perlu menambahkan beberapa jump scare klise. 

Tapi seperti telah disinggung, The Black Phone memiliki salah satu payoff paling memuaskan tahun ini. Alasannya, selain landasan ide "triumphant over any kind of bullies", pula karena konklusinya dibangun berdasarkan proses si protagonis (membuatnya juga menyimpan tuturan coming-of-age). Tiada tindakan yang percuma. Semua berperan, semua terhubung (termasuk deretan kalimat yang awalnya terkesan tanpa signifikansi). 

Tatkala seluruh titik terhubung, timpul kepuasan luar biasa, yang turut menyertakan dampak emosional. Pada akhirnya, Finney bukan remaja biasa yang berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri, tapi sosok yang meneruskan perlawanan para korban. 

Mason Thames tampil baik memerankan protagonis yang kita dukung perjuangannya, sementara Hawke, meski di mayoritas kemunculannya mengenakan topeng beraneka varian (kombinasi topi, rambut panjang, dan seringai di topengnya mengingatkan ke karakter Burke milik Lon Chaney di London After Midnight), tetap piawai menebar kengerian. Sedangkan Madeleine McGraw menjadi scene stealer, berjasa menebar bumbu humor sebagai Gwen, si bocah yang tak ragu menghantam kepala perundung dengan batu, menikmati perkelahian, mengonfrontasi polisi, bahkan menyumpahi Yesus ("Jesus what the fuck?!" adalah calon quote of the year). 

Nilai plus lain terkait konklusinya adalah keengganan menjustifikasi orang tua abusive. Terrence (Jeremy Davies), ayah Finney dan Gwen, merupakan alkoholik. Terkadang ia baik, tapi tak jarang, saat gagal mengendalikan emosi, Terrence "main fisik" pada anak-anaknya. Sikapnya menyimpan alasan, namun Derrickson dan Cargill menolak begitu saja memaklumi, bahkan saat penyesalan menguasai Terrence. Tengok bagaimana Finney dan Gwen merespon air mata ayah mereka. Lengkap sudah status The Black Phone selaku perlawanan atas perundungan, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya.

REVIEW - THE GUILTY

Sekitar dua tahun lalu ada berita tentang wanita korban kekerasan rumah tangga, yang menelepon 911 dengan berpura-pura memesan pizza. Sang petugas cepat tanggap, lalu mengikuti "akting" si pelapor, yang akhirnya berhasil diselamatkan. Artinya, penerima panggilan darurat dituntut bisa berpikir cepat, taktis, pula stabil secara mental. Bayangkan jika di situasi tersebut, ia mendadak kebingungan dan cemas. 

The Guilty, selaku remake film Denmark berjudul sama rilisan tahun 2018, punya skenario demikian. Protagonisnya, Joe Baylor (Jake Gyllenhaal), adalah anggota LAPD yang sedang mendapat jatah jaga malam di pusat panggilan darurat. Dia tampak kalem, cenderung kurang peduli atas laporan-laporan yang masuk. Melalui beberapa telepon yang ia terima, termasuk dari Sersan Bill Miller (disuarakan oleh Ethan Hawke), kita tahu bahwa Joe tengah terlibat kasus (detailnya baru diungkap di babak akhir), di mana persidangan bakal digelar esok hari. 

Penantian tersebut membuat Joe dihantui kecemasan. Inhaler tak pernah lepas dari tangannya, pun ia kesulitan mengontrol emosi, terutama saat datang panggilan dari Emily (Riley Keough), yang mengaku diculik oleh mantan suaminya. Joe berjuang keras mencari keberadaan Emily, namun prosesnya tidak mudah. Selain persoalan teknis, ketidakstabilan psikisnya pun berpengaruh. 

The Guilty berpotensi mengeksplorasi isu soal kinerja aparat yang kurang bertanggung jawab kala bertugas. Tidak hanya terkait panggilan tersebut, juga kasus yang Joe tunggu persidangannya. Kita melihat Joe mengambil beberapa keputusan yang menimbulkan konsekusensi negatif, pun ada situasi luar biasa kelam nan mencengangkan di alurnya (yang cuma bisa kita dengar lewat telepon).  

Tapi, dengan cara yang "sangat Hollywood", naskah buatan Nic Pizzolatto melucuti kegelapan-kegelapan di atas (ironis, karena dibuat oleh penulis True Detective yang menyoroti sisi tergelap manusia), guna menyulapnya jadi kisah "meaningful" berkonklusi penuh harapan, mengenai "broken people helping broken people" dan penebusan dosa. Saya tidak membenci happy ending. Bahkan lebih menyukainya ketimbang akhir menyesakkan. Tapi dalam kasus ini, pilihan tersebut justru menghapus bobot narasinya.

Sebagai thriller, keberadaan Antoine Fuqua (Training Day, Olympus Has Fallen, The Equalizer) merupakan jaminan. Walau mayoritas berlatar di belakang kursi, di mana penonton hanya mendengar deskripsi peristiwa daripada melihatnya langsung, Fuqua tetap mampu menyuguhkan thriller eksplosif meski tanpa ledakan, berkat tempo cepat, teriakan-teriakan, dan twist memuaskan. Bukan (cuma) soal mengejutkan, tapi twist-nya turut menjelaskan beberapa detail yang sempat muncul. Ada "remah-remah roti" disebar di sepanjang durasi.

Ketika menulis "teriakan-teriakan", tentu saya merujuk pada akting Jake Gyllenhaal, yang melepaskan segenap tenaga di tiap kesempatan. Tidak salah. Lagipula, seperti keseluruhan filmnya, metode itu selaras dengan tujuan filmnya, yakni mengubah thriller psikologis Eropa, jadi tontonan ala Hollywood yang lebih bersahabat bagi penonton luas. Ada satu adegan, ketika Joe meminta Emily untuk tenang sambil menarik napas panjang. Secara bersamaan, Joe ikut menarik napas. Entah sadar atau tidak, Joe juga sedang menolong dirinya sendiri. Akting Gyllenhaal lebih subtil di bagian tersebut, dan bagi saya, justru itulah momen terbaiknya.

The Guilty memang solid, baik di departemen penyutradaraan maupun akting, terkait kontribusinya membangun intensitas. Tapi berkaca pada film aslinya, pula potensi penceritaan yang dapat dicapai, film ini ibarat seorang murid yang bisa memperoleh nilai A andai belajar giat, namun memilih jalan lebih mudah, bersantai, dan akhirnya mendapat nilai B. Mencukupi, tapi bisa jauh lebih baik.


(Netflix)

REVIEW - THE TRUTH

Hirokazu Kore-eda terkenal atas sensitivitas tinggi, menjadikannya satu dari sedikit sineas yang dapat “menghubungkan” penggemar film arus utama dan arthouse. Bahkan saat untuk pertama kalinya membuat film dengan latar, pemain, kru, serta bahasa di luar Jepang, sensitivitas itu tetap ada—walau jika dibandingkan judul-judul macam Like Father, Like Son atau Shoplifters, The Truth memang termasuk karya minor sang sutradara.

Unik. Itulah kesan pertama yang saya dapat selama menyaksikan The Truth. Bagaimana ini jelas-jelas film Prancis lengkap dengan segala kulturnya, namun punya rasa yang “sangat Kore-eda”, di mana kisah bergerak lambat nyaris sepanjang durasi, untuk kemudian emosinya meletup secara elegan, pada momen yang oleh sutradara lain, jarang dipakai sebagai titik puncak drama. Di sini, Kore-eda lebih sering mengajak penonton menjadi spektator, mengamati peristiwa dari luar, tanpa masuk tepat ke tengah ruang intim karakternya.

Mungkin karena begitulah nature dari filmnya, yang bicara mengenai ambiguitas antara fiksi dan realita, antara kebohongan dan fakta. Bagaimana bisa memasuki ruang intim itu jika kita belum tahu kebenarannya? Profesi protagonisnya sendiri dekat dengan kebohongan. Dialah Fabienne Dangeville (Catherine Deneuve), aktris legendaris Prancis, yang segera menerbitkan otobiografi berjudul The Truth. Tapi benarkah buku tersebut berisi kebenaran?

I’m an actress. I won’t tell the unvarnished truth. It’s far from interesting”, kata Fabienne, sewaktu sang puteri, Lumir (Juliette Binoche), mengonfrontasinya perihal beberapa kebohongan yang ia temukan dalam buku. Salah satunya cerita saat Fabienne menjemput Lumir sepulang sekolah. Sesuatu yang tak pernah terjadi, karena Fabienne, yang berprinsip “I prefer to have been a bad mother, a bad friend and a good actress”, selalu pergi untuk membuat film.

Lumir adalah penulis naskah yang tinggal di Amerika. Suaminya, Hank (Ethan Hawke), merupakan aktor televisi medioker yang sedang berusaha lepas dari alkoholisme dan menyembunyikan fakta dari puteri mereka, Charlotte (Clémentine Grenier), bahwa ia sempat pergi untuk menjalani rehabilitasi. Naskah buatan Kore-eda, yang ditulis dalam Bahasa Jepang sebelum diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh Lea Le Dimna, kemudian memperkenalkan satu demi satu subplot, yang terkoneksi oleh satu gagasan besar berupa pertanyaan terhadap fakta.

Seperti biasa penulisan dialog Kore-eda begitu kaya, pun tidak jarang menggelitik. Dinding bahasa tampak tak memberikan halangan, walau filmnya cukup melelahkan di pertengahan jalan, karena kali ini, sepertinya sang maestro sedikit lepas kontrol, memberikan materi obrolan lebih banyak dari kebutuhan, sehingga sempat terasa stagnan. Tapi siapa tidak tergoda melakukan itu jika filmnya diisi nama-nama terbaik dunia seni peran?

Deneuve dan Binoche merupakan dua figur yang sama-sama mampu menyiratkan sisi terdalam karakter mereka melalui detail terkecil. Dan mengingat sifat filmnya adalah observasional, maka mengamati keduanya menjadi proses yang menarik. Butuh penampil hebat agar penonton bisa ikut merasakan, meski tak (selalu) diajak mengunjungi ruang personal karakternya.

Misalnya sewaktu kita mengunjungi proses produksi film terbaru Fabienne. Judulnya Memories of My Mother, yang di dunia nyata, adalah cerita fiksi-ilmiah pendek karya Ken Liu, yang juga telah diangkat menjadi film pendek berjudul Beautiful Dreamers. Kisahnya mengenai seorang ibu yang diperankan aktris muda bernama Manon (Manon Clavel), yang menderita sakit parah dan hanya punya sisa umur dua tahun. Agar dapat menyaksikan puterinya tumbuh dewasa, Manon tinggal di pesawat luar angkasa untuk memperlambat waktu, dan pulang tiap tujuh tahun sekali. Fabienne memerankan versi tua dari puteri Manon.

Mudah menemukan paralel antara Memories of My Mother dengan dinamika Fabienne-Lumir. Sosok ibu di kedua kisah sama-sama “mengasingkan diri” dari sang puteri. Di sini fiksi dan realita berbenturan. Fabienne seolah harus memerankan Lumir. Bisa jadi ia pun melihat cerminan hubungan mereka, termasuk dirinya sendiri dalam sosok Manon. Ada ego besar dalam hati Fabienne untuk “mengalah kepada filmnya” dan larut ke dalam emosi yang benar-benar ia rasakan.

Kore-eda melukiskan konflik batin itu secara puitis ketika proses reading berlangsung. Manon beranjak dari kursi, kemudian berdiri membelakangi kamera. Bagai tidak mau kalah, Fabienne menghampirinya, berdiri menghadap kamera sambil mengucapkan kalimat dari naskah. Di situ Fabienne kehilangan kendali. Matanya bergetar, bak terkejut melihat akting Manon, yang mungkin merefleksikan apa yang ia rasakan terhadap Lumir. Ekspresi Manon tak diperlihatkan pada penonton (setidaknya sampai beberapa waktu berselang), yang hanya bisa mengamati reaksi Fabienne. Sebab di titik itu, kita sebatas “orang asing” yang mengobservasi respon luar si aktris legendaris. Pemahaman lebih mendalam baru menyusul kemudian.

Beberapa kali Kore-eda mengulangi pendekatan serupa. Membiarkan penonton mengamati dari luar, tapi tetap bisa merasakan dampak emosional. Sensitivitas sang sutradara memang luar biasa, termasuk timing pemakaian musik. Ingat-ingat ini: jika musik mulai terdengar di film-film Kore-eda, bersiaplah merasakan emosi anda diaduk-aduk. Hirokazu Kore-eda tak pernah membiarkan musik terbuang percuma sebagai pernak-pernik belaka.

Jadi, manakah yang merupakan fakta? Bagaimana perasaan antar karakter sesungguhnya? Sebagaimana senyuman Lumir pada Charlotte selepas ia meminta si gadis cilik menyampaikan “kebohongan” pada sang nenek jelang akhir film, Kore-eda tidak pernah memberi jawaban pasti. Karena kebenaran memang tidak sesederhana itu.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS (2017)

Sewaktu kecil saya gemar memainkan setumpuk action figure karakter fiksi favorit. Berbekal barang  seadanya macam bantal, guling, atau kaleng biskuit bekas, dunia tempat karakter itu hidup jadi kenyataan. Setidaknya dalam imajinasi saya selaku satu-satunya batasan realisasi. Melalui film ini, Luc Besson melakukan hal serupa, menghidupkan komik kesukaannya saat kecil, Valerian and Laureline. Bedanya ia punya modal $210 juta (film Eropa dan independen termahal) guna mengganti mainan dan perabot sehari-hari dengan deretan aktor kenamaan sekaligus efek CGI. Tapi ada sebuah persamaan. Keduanya tak peduli kedalaman karakter atau cerita solid. Terpenting imajinasi terwujud. Valerian and the City of a Thousand Planets memang membawa Besson kembali menjadi bocah.

Dibarengi lagu Space Oddity-nya David Bowie yang sempurna membangun mood, filmnya dibuka oleh montage perkembangan program luar angkasa manusia dari masa ke masa, berujung pada abad 28 ketika stasiun Alpha tempat jutaan makhluk dari planet berlainan hidup bersama berbagi kultur pula pengetahuan, dilepas dari orbit Bumi, melayang bebas di angkasa tanpa batas. Valerian (Dane DeHaan) dan sang partner, Laureline (Cara Delevigne) adalah anggota kepolisian manusia yang tengah menjalankan misi mengamankan spesies hewan langka di suatu planet. Misi yang membawa keduanya mengarungi berbagai tempat di galaksi, bertemu alien beragam bentuk, juga menyelidiki tragedi masa lalu yang disembunyikan rapat-rapat.
Sederhana saja rangkaian cerita dalam naskah Besson. Penyebab durasinya melebihi dua jam (137 menit) dikarenakan alurnya kerap berputar-putar dahulu sebelum sampai titik destinasi. Ibarat perjalanan, penonton sebagai penumpang sering diajak singgah di tempat lain, menetap di sana menikmati suasana, baru lanjut ke tujuan. Juga terasa bagai menyaksikan video game dari stage ke stage berikutnya. Bahkan adegan tatkala Valerian menembus satu per satu lokasi Alpha dikemas oleh Besson laksana tipe permainan endless running yang biasa kita mainkan di smartphone. An exciting one

Meski berakibat pacing yang kurang dinamis, Besson punya alasan kuat di balik pilihan tersebut, yaitu mengajak penonton mengamati keindahan beraneka ragam dunia asing beserta makhluk dan budaya di sana. Karena sejatinya, ketimbang suguhan tipikal "kebaikan melawan kejahatan", Valerian and the City of a Thousand Planets lebih menitikberatkan pada eksplorasi soal diversity dengan cakupan luas: alam semesta. Kalau diperhatikan, mayoritas konflik berujung sekuen aksi tidak didorong usaha tokoh utama menumpas kejahatan, melainkan sebuah keterpaksaan dipicu insting bertahan hidup saat terancam bahaya akibat terjebak di situasi maupun kultur asing. Pun musuh utama yang mesti dihadapi bukan sosok megalomania dengan hasrat menguasai dunia, sekedar manusia dan keburukan alami mereka (kita). 
Walau acap berlama-lama mampir kebosanan urung hadir, sebab bersenjatakan kreatifitas tanpa batasnya, Besson yang makin sahih disebut sutradara visioner mampu menciptakan sederet lingkungan, teknologi, hingga aktivitas tak terbayangkan. Tentu semua didasari komik buatan Pierre Christin dan Jean-Claude Mézières, tetapi menghidupkan gambar diam di panel komik butuh daya kreasi luar biasa. Inilah esensi film selaku motion picture. Gambar bergerak yang mewadahi imajinasi liar pembuatnya. Sinematografi Thierry Arbogast juga musik Alexandre Desplat yang mencerminkan ekspresi kekaguman, menambah daya pukau petualangan jagat raya yang langsung menghentak sejak menit-menit awal di Planet Mül. Sayang, fokus terhadap visual seolah sepenuhnya menyedot energi Besson, sehingga ia gagal maksimal soal eksekusi aksi. Tidak buruk, hanya saja medioker, nihil cool aspect ciri khasnya.

Saat Dane DeHaan kekurangan pesona sebagai pahlawan sci-fi yang bertingkah semaunya (charm-nya lebih cocok untuk tokoh gloomy), Cara Delevigne sukses menghapus memori buruk Enchantress si iblis penari perut berkat deadpan sarcasm yang juga didukung struktur wajah naturalnya. Sebagai Laureline, Cara mampu pula menangkap sisi sensual tanpa kehilangan kekuatan khas tokoh wanita idola ala suguhan sci-fi klasik. Walau demikian, gelar penampil paling mencuri perhatian justru disandang dua nama yang hanya muncul singkat, Ethan Hawke dan Rihanna. Gaya koboi Texas banyak omong milik Hawke menghembuskan nuansa berbeda di tengah kesan monoton kebanyakan karakter (bertampang) manusia. Sementara Rihanna dengan kehebatan olah tubuh di sebuah adegan pole dance memikat nyatanya paling mencerminkan aura inti filmnya: unik, aneh, imajinatif, magical, out of this world.


Ulasan untuk film ini dapat dibaca juga di: http://tz.ucweb.com/8_dMLE

PREDESTINATION (2014)

"Inevitable" merupakan kata yang berulang kali muncul dalam adaptasi cerita pendek "---All You Zombies---" karya Robert A. Heinlein ini. Kata itu sekilas merupakan perwakilan dari tema takdir yang diusung oleh film ini. Judul Predestination sendiri punya arti "suatu hal yang telah dituliskan oleh Tuhan" atau dengan kata lain takdir. Tapi dalam suatu kisah sci-fi kompleks apalagi yang berkisah tentang perjalanan waktu, kata tersebut sering digunakan sebagai penggampangan untuk menutupi plot hole. Bagaimana bisa? Karena dengan menyebut inevitable, pertanyaan seperti "bagaimana?" bisa dijawab dengan mudah: karena itu tidak terelakkan. Sama seperti murphy law dalam Interstellar, hanya saja secara penyebutan serta penerapan terasa less scientific. Premis film ini adalah mengenai keberadaan agen yang bertugas untuk menghentikan aksi kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Tentu saja caranya dengan memakai mesin waktu (dalam film ini berbentuk tas biola).

Langsung dibuka dengan aksi saat seorang agen mengalami luka bakar parah dalam usahanya menghentikan teroris bernama "Fizzle Bomber" menjadikan film Australia ini terasa bakal mengikuti blueprint Hollywood yang penuh aksi dan ledakan. Tapi semua berubah saat fokus film beralih pada pembicaraan antara seorang bartender (Ethan Hawke) dan penulis transgender dengan nama pena "The Unmarried Mother" (Sarah Snook). Sang penulis mengisahkan tentang masa lalunya, mulai dari masa ia ditinggalkan saat masih bayi di sebuah panti asuhan, tumbuh sebagai gadis penyendiri dengan kemampuan fisik dan otak di atas rata-rata, keikutsertaannya dalam seleksi Space Corps, kehamilan dengan pria tak dikenal yang tiba-tiba meninggalkan dia, sampai momen menyedihkan saat bayinya menghilang dari rumah sakit. Menggunakan dialog dan flashback film ini menggali masa lalu sang penulis. 
Predestination menjadikan sentuhan time travel-nya sebagai jalan untuk mengeksekusi drama kehidupan. Diperhatikan lagi, konsep sci-fi disini amat sederhana bahkan predictable. Membawa konsep paradoks dan ouroboros, penonton tidak akan kesulitan menebak twist-nya. Tapi meski familiar dengan konsep predestination paradoks dimana perjalana waktu mengakomodir "A menyebabkan B dan sebaliknya B menyebabkan A" tidak akan mengurangi kesenangan anda menonton film garapan Michael dan Peter Spierig ini. Saat twist semakin dekat kita bisa menebak arahnya, tapi jauh sebelum itu sulit memprediksi ceritanya bergerak kearah twist tersebut. Saya dibuat tidak sempat repot-repot menebak arahnya karena drama yang kuat. Karena secara mengejutkan, dibalik konsep perjalanan waktunya ada drama kelam tentang takdir sampai selipan sex story yang twisted. 

Kejutan muncul bukan sekedar untuk menghias plot, tapi penting pada pembangunan drama karakter. Akhirnya setelah kejutan hadir, efeknya pun sampai pada sisi emosi. Begitu film selesai, saya merasa bahwa segala hal yang terjadi pada karakternya terasa memilukan. Sebuah tragedi menyedihkan yang diciptakan oleh kekejaman bernama takdir. Semakin menyedihkan lagi karena semua itu tidak bisa dirubah (inevitable). Predestination membawa kisah time travel pada suasana kelam bahkan cukup depresif diakhirnya. Di saat banyak sci-fi bertemakan perjalanan waktu mencoba bersikap lebih positif, tidak begitu dengan film ini. Fakta bahwa kita tidak bisa merubah takdir ditekankan sebagai suatu hal yang memilukan. Meski ada harapan, setelah tahu keseluruhan ceritanya saya menyadari itu hanya harapan semu. Tanpa banyak darah, film ini berhasil menjadi sebuah tontonan yang bagi saya cukup sadis. 
Kenapa sadis? Kenapa memilukan? Karena karakternya mengejar masa lalu. Masa lalu adalah saat dimana mereka menemukan cinta, kenangan indah yang tak bisa lagi terulang. Seiring berjalannya waktu, kehidupan berjalan seolah tanpa arti karena ketiadaan tujuan. Predestination menyoroti hal itu, disaat seseorang tidak tahu arah serta makna dari kehidupan yang ia jalani. Terasa sadis, karena pada akhirnya saat tujuan berhasil ditemukan, dan masa depan coba dibangun, sebagai penonton kita tahu bahwa itu hanyalah sesuatu yang semu. Semuanya akan terus berputar, seperti ular yang menggigit ekornya sendiri dalam lambang ouroboros. Diluar dugaan ada drama sedalam itu. Dengan cermat, Michael dan Peter Spierig menggiring saya pada awalnya untuk percaya bahwa film ini berkisah tentang balas dendam atau usaha membunuh seseorang di masa lalu (seperti Looper) karena voice over diawal film.

Sekilas akan terasa memusingkan, tapi sesungguhnya alur fim ini amat sederhana. Semakin sedehana jika anda memahami konsep paradoks dalam perjalanan waktu. Tapi memang sekeras apapun usaha Michael dan Peter Spierig untuk melogiskan adaptasi ini, tetap banyak hal yang di luar nalar, sehingga menciptakan plot hole. Tapi saya tidak peduli. Kebanyakan sci-fi dewasa ini tidak bisa menyeimbangan antara hiburan dengan kedalaman cerita. Predestination adalah produk langka yang berhasil menyuguhkan itu. Saya dibuat terhibur, diajak bersenang-senang dengan konsep time travel penuh twist-nya, tapi juga dibuat tenggelam dalam drama karakternya. Konsep tinggi diimbangi dengan hati dalam cerita membuat saya tidak mempedulikan lubang alur maupun fakta bahwa film ini lebih berat ke fiksi daripada penggabungannya dengan sains. 


THE PURGE (2013)

The Purge merupakan sebuah kejutan di tahun 2013 ini ditinjau dari perolehan Box Office-nya. Film karya sutradara James DeMonaco ini berhasil mengumpulkan lebih dari $76 juta meski hanya memiliki bujet $3 juta. Apa yang membuat film ini menjadi begitu laris jelas bukan sekedar sosok Ethan Hawke, karena aktor satu ini bukan termasuk aktor yang sangat bankable dan bisa menyulap semua film yang ia bintangi menjadi pengeruk dollar. Faktor utama yang menjadi daya tarik luar biasa dalam film ini adalah konsep ceritanya. Sebuah premis tentang adanya satu hari dalam setahun yang melegalkan semua tindakan kriminal apapun jelas sebuah konsep yang fresh, gila dan tentunya sangatlah menarik, apalagi konsep tersebut dieksekusi dalam media thriller. Saya langsung terbayang betapa gilanya satu hari tersebut dan membuat saya begitu menantikan bagaimana konsep tersebut divisualisasikan oleh DeMonaco. 

Amerika di tahun 2022 adalah sebuah negara yang makmur dengan tingkat kemiskinan dan kejahatan paling rendah sepanjang sejarah. Hal itu terjadi berkat sebuah hari bernama purge. Dalam satu hari tersebut, selama 12 jam semua orang diberi kebebasan untuk melakukan tindak kejahatan apapun entah itu mencuri, memperkosa bahkan membunuh sekalipun. Semua tindakan kriminal tesebut tidak akan dijatuhi hukuman dan selama satu hari itu pula semua social service seperti polisi, ambulans hingga pemadam kebakaran tidak beroperasi demi mendukung kelancaran hari pembersihan tersebut. James Sandin (Ethan Hawke) adalah orang yang mendapat keuntungan besar dari purge, dimana bisnisnya menjual jasa pengamanan rumah menjadi laku keras. Bersama keluarganya, James kini hidup mewah dan berkat alat pengamanan yang ia jual itu pula James tidak perlu khawatir akan ada orang yang menerobos masuk kedalam rumahnya dalam hari pembersihan. Sampai sebuah kesalahan dilakukan oleh puteranya, Charlie (Max Burkholeder) yang menyebabkan malam tersebut berubah menjadi teror bagi keluarga Sandin.


Sayangnya segala ekspektasi yang saya miliki terhadap film ini perlahan mulai rontok seiring dengan kegagalan The Purge menggabungkan kritik sosial dengan aspek thriller yang dimilikinya. James DeMonaco terlihat mempunyai begitu banyak ide menarik dalam kepalanya namun gagal menuangkan berbagai macam ide tersebut secara maksimal. Satu hal yang paling terasa jelas kritik mengenai hari pembersihan yang ditujukan sebagai sarana katarsis bagi warga Amerika untuk menyalurkan segala emosi negatif mereka. Poin dimana tindakan kejahatan dilegalkan meski hanya satu hari dan justru dianggap sebagai bentuk sumbangsih terhadap kestabilan negara seolah menjadi gambaran kondisi masyarakat saat ini khususnya Amerika Serikat sendiri disaat tindakan kejam dianggap sebagai patriotisme. Disisi lain hal tersebut justru menguntungkan beberapa pihak khususnya mereka yang mempunyai banyak uang, sedangkan mereka yang miskin hanya bisa pasrah menanti datangnya kematian. Tentu saja itu adalah jalan paling cepat untuk mengurangi angka kemiskinan bukan? Karena yang tidak mampu membentengi diri mereka dengan alat kemaanan malah yang dijual sandin tentunya adalah orang-orang miskin. bahkan ironisnya The Purge sanagt tidak mengesplorasi mengenai purge itu sendiri, padahal begitu banyak aspek yang menarik dan bisa dikisahkan dari hari pembersihan tersebut.
Namun DeMonaco nampak kebingungan bagaimana cara menyampaikan berbagai visi dan kritik sosial yang coba ia angkat. Pada akhirnya dia malah memilih jalur aman untuk merangkum The Purge. Kisah penuh potensi ini akhirnya hanya menjadi sajian home invasion thriller yang biasa saja. Film ini pun hanya berjalan pada jalur aman yang terasa begitu klise. Tapi saya tidak anti terhadap hal klise. Mungkin The Purge memang terasa menyia-nyiakan potensinya, namun itu tidak masalah andaikan tetap bisa menjadi suguhan thriller yang mencekam ataupun brutal mengingat ini adalah kisah tentang sebuah hari disaat segala kejahatan adalah legal. Bayangkan anda terkurung dalam rumah disaat begitu banyak orang berniat masuk kerumah anda dan berniat membunuh anda disaat suatu pembunuhan adalah hal yang diperbolehkan. Sayang lagi-lagi The Purge gagal memaksimalkan potensinya untuk memberikan ketegangan pada penonton. Atmosfer ketegangan yang coba dibangun tidak terasa mencekam, begitu pula adegan yang dimaksudkan untuk mengagetkan penonton juga hanya lewat begitu saja. 

Bahkan potensi gore dan kebrutalan yang seharusnya terasa pun sama sekali tidak nampak. Kisah mengenai sebuah hari diaman semua kejahatan tidaklah bentuk tindakan dosa dan hanya begitu saja yang tersaji? Harusnya ada begitu banyak adegan gila disini, tapi lagi-lagi masalah dari James DeMonaco adalah terlalu bermain aman. Bahkan ia begitu sering menyuguhkan tipuan klise yang memperlihatkan tokoh-tokohnya dalam bahaya sebelum tiba-tiba "pertolongan darurat" datang menyelamatkannya. Sekali dipakai memang efektif membangun ketegangan, tapi setelah diulang berkali-kali semuanya terasa basi dan ketegangan filmnya benar-benar memudar. Satu lagi kelemahan The Purge ada pada karakter Charlie yang dimainkan oleh Max Burkholder. Pembawaan Max membuat karakternya menjadi sangat menyebalkan dan terasa sok suci disini. Akhirnya justru membuat The Purge tidak terasa sebagai kritik sosial mengenai pembiaran terhadap kekerasan namun malah membuat saya merasa bahwa tindakan sok pahlawan bisa saja berdampak pada petaka. Sayang sekali dimana film dengan ide dasar brilian ini justru menjadi salah satu film paling mengecewakan bagi saya.