Tampilkan postingan dengan label Lettie Lutz. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lettie Lutz. Tampilkan semua postingan

THE GREATEST SHOWMAN (2017)

Silahkan buka Google, lalu ketik "Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus" di kolom pencarian gambar. Anda akan melihat penari dan badut memakai kostum aneka warna, hewan-hewan melakukan atraksi, panggung dengan tata artistik meriah. Sirkus itu berhenti beroperasi sejak 21 Mei 2017. Film debut sutradara Michael Gracey ini coba menghidupkan kemegahan serupa di layar lebar, melempar penonton ke 146 tahun lalu saat P. T. Barnum mendirikan Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus yang juga disebut "The Greatest Show on Earth". 

Daripada otentitas, pertunjukan Barnum (diperankan Hugh Jackman lewat karisma tanpa tanding) mengedepankan keajaiban supaya publik terperangah, terpukau, tertawa. "Penontonmu tampak lebih bahagia begitu keluar daripada saat masuk", demikian ungkap Phillip Carlyle (Zac Efron), penulis naskah teater yang kelak jadi partner Barnum. Festive and fun entertainment. Itu tujuannya, tak peduli meski sedikit trik perlu diterapkan: menyumpal perut pria tergemuk dengan bantal, memakaikan egrang di kaki pria tertinggi. Bukan sepenuhnya penipuan, hanya melebih-lebihkan atas nama hiburan.
The Greatest Showman mengusung tujuan yang sama, sehingga musikal adalah pilihan tepat, sebab biopic formulaik takkan sanggup mewakili pesta pora di panggung Barnum. Untuk mencapai tujuannya, Pasek & Paul menulis lagu-lagu bertempo menghentak, riuh oleh instrumen serta gemuruh vokal para cast. Film ini menyadari potensi menjadi hiburan meriah, membuatnya berusaha keras (selalu) mengejar kemeriahan itu sejak The Greatest Show selaku nomor pembuka berkumandang, ketimbang memilah berdasarkan ketepatan emosi. Deretan lagu yang bagai versi overproduced dari Fall Out Boy yang sukar dibedakan satu sama lain pun dipoles terlalu mulus di studio, berujung melucuti emosi asli aktor. 

Tidak bisa dipungkiri tata dekorasi yang melukiskan semarak sirkus di puncak popularitasnya mengundang decak kagum. Sinematografi arahan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers) punya imaji lebih dari cukup guna merealisasikan pertunjukan visioner P. T. Barnum. Jajaran pemain juga penuh totalitas menangani kompleksitas tiap koreografi. Zendaya sebagai Anne, seniman trapeze, mudah membuat jatuh hati, sementara Lettie Lutz si Wanita Berjenggot mengajak kita bersorak mendukung seruannya. Namun bayangkan menonton La La Land yang seluruhnya terdiri atas momen epilog. Fenomenal, namun sihirnya tak bekerja maksimal bila disajikan terus menerus. 
This Is Me dan Rewrite the Stars merupakan nomor musikal paling berhasil, karena mengandung lebih dari sekedar kemegahan: melawan segregasi dan ungkapan cinta. Adegan Barnum dan sang istri, Charity (Michelle Williams) turut bicara soal cinta, tetapi purnama di langit serta tarian Williams menembus lembar-lembar seprai putih tidak seintim maupun seromantis pertukaran rasa Anne dan Phillip. Anne melayang lincah di langit-langit, seolah ingin terbang meninggalkan Phillip, namun tatapannya sulit lepas dari sang pria kulit putih terpandang. Sedangkan Phillip terus berjuang menggapai cintanya. 

Naskah karya Jenny Bicks dan Bill Condon mungkin tidak memberi ruang guna meresapi jatuh-bangun kehidupan Barnum yang penuh gejolak pula kontroversi, tapi cukup untuk membuat penonton sebatas memahami. Dia mengumpulkan orang-orang terpinggirkan, menyediakan mereka kesempatan disorot layaknya bintang, karena dia sendiri dipandang sebelah mata. Dia berjuang karena enggan melihat puteri-puteri kesayangannya sengsara seperti dirinya dahulu, meski hal ini menyeret Barnum pada sisi gelap kesuksesannya. Barnum menyuguhkan hiburan, mengajak penonton tertawa, karena lelah mendapati keseharian yang terkekang oleh kesuraman.