Tampilkan postingan dengan label Seamus McGarvey. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seamus McGarvey. Tampilkan semua postingan

BAD TIMES AT THE EL ROYALE (2018)

Banyak film bermasalah akibat menjadikan “kebetulan” sebagai jalan pintas malas. Karakter-karakter kebetulan bertemu, terlibat masalah yang dipicu serta diakhiri oleh kebetulan. Tapi melalui Bad Times at the El Royale, Drew Goddard (The Cabin in the Woods) selaku sutradara merangkap penulis naskah, justru sengaja memainkan kondisi tersebut. Bagaimana jika kebetulan (atau nasib sial) membawa sekelompok orang yang masing-masing menyimpan intensi rahasia, saling bersilangan jalan di saat yang kurang tepat? As the title suggests, what a bad time indeed at the El Royale.

El Royale merupakan hotel yang terletak di perbatasan, di mana sebelah sisi berada di California, sementara sisi lainnya di Nevada (terinspirasi Cal Neva Resort & Casino). Empat tamu: Seymour Sullivan (Jon Hamm) si salesman rasis, Daniel Flynn (Jeff Bridges) si Pendeta Katolik, Darlene Sweet (Cynthia Erivo) si penyanyi  berbakat, dan gadis hippie bernama Emily (Dakota Johnson); plus seorang karyawan hotel bernama Miles Miller (Lewis Pullman). Mereka menyimpan niatan terselubung juga masa lalu kelam, yang satu demi satu terungkap di antara title cards bertuliskan nomor kamar tempat masing-masing tokoh menginap (atau nama atau lokasi bagi tokoh tanpa kamar).

Kisahnya mulai menyusuri arah tak terduga tatkala rahasia El Royale terbongkar, yang akhirnya turut membongkar rahasia karakternya. Saya takkan menyebut rahasia seperti apa (trailer-nya telah membongkar beberapa poin), namun satu hal yang bisa saya beri tahu, bahwa titik balik alurnya ditandai momen pembuktian Goddard terkait kapasitas penyutradaraannya. Momen tersebut berupa single take melibatkan mise-en-scène memikat yang memperlihatkan situasi dalam 2 ruangan terpisah, disusun dengan intensitas ketat, sinematografi memukau garapan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers, Nocturnal Animals) di mana pemakaian pantulan cermin jadi highlight, pula cerdiknya pemakaian musik Goddard. Bicara soal musik, pilihan lagu-lagu Goddard plus iringan scoring gubahan Michael Giacchino (Up, Spider-Man: Homecoming, War for the Planet of the Apes) bakal membuatmu tanpa sadar menghentakkan kaki, terhipnotis oleh alunan musik dari era 1950-1960an.

Tapi Bad Times at the El Royale bukan sebatas gaya. Beberapa penonton mungkin bakal menganggapnya sekedar sajian Tarantino-esque berdurasi sama panjang (141 menit) namun dengan dialog kalah tajam untuk menjaga atensi penonton mengarungi perjalanan nyaris 2,5 jam. Tidak sepenuhnya keliru. Durasinya bisa saja dipangkas, meski sejatinya, perjalanan panjang itu memang harga yang harus dibayar dalam upaya menghadirkan kekayaan penokohan. Dan sungguh harga yang setimpal.

Pemakaian flashback menghasilkan kejelasan pemahaman bagi motivasi tiap individu, sekaligus memberi mereka karakterisasi unik yang saling berlainan. Bahkan peran kecil juga memiliki pengaruh, contohnya Buddy Sunday (Xavier Dolan) si produser musik, yang berfungsi membangun kecurigaan serta ketidaknyamanan Darlene kepada pria, khususnya pria pemilik kuasa dan pemegang otoritas. Elemen tersebut berguna pula menciptakan pertarungan psikologis di paruh akhir, yang menghantarkan Bad Times at the El Royale menuju konklusi.

Selama 141 menit, Goddard senantiasa punya cara mempertahankan antusiasme penonton. Misalnya saat muncul flashback di tengah klimaks, yang otomatis memangkas intensitas, sebelum Goddard berhasil membawanya kembali dengan memberi salah satu karakter momen paling badass sepanjang film. Pun menyaksikan jajaran penampilnya saling mengolah peran terasa amat menyenangkan. Bridges seperti biasa menjadi pria tua bersuara growly yang lelah oleh kehidupan; Erivo sebagai penyanyi bersuara emas yang sulit mempercayai dunia; Johnson si wanita tangguh yang tak segan memberantas semua penghalang; Hamm sang mesin kharisma; dan Chris Hemsworth sebagai Billy Lee, pemimpin cult kejam sarat pesona yang gemar memamerkan perut six pack guna memikat para pengikut wanitanya.

Kejutan terbesar dalam Bad Times at the El Royale adalah keberadaan alegori keagamaan. Sejak kemunculan pertama Billy Lee yang terlihat bak kedatangan sesosok messiah, hingga bagaimana filmnya memasang perspetif mengenai Tuhan yang tidak mengenal Pendeta palsu atau Nabi palsu. Hanya ada manusia baik dan buruk, dan Tuhan akan dengan senang hati mengulurkan bantuan bagi sisi baik, meski bantuan itu hadir melalui jalan yang misterius.

THE GREATEST SHOWMAN (2017)

Silahkan buka Google, lalu ketik "Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus" di kolom pencarian gambar. Anda akan melihat penari dan badut memakai kostum aneka warna, hewan-hewan melakukan atraksi, panggung dengan tata artistik meriah. Sirkus itu berhenti beroperasi sejak 21 Mei 2017. Film debut sutradara Michael Gracey ini coba menghidupkan kemegahan serupa di layar lebar, melempar penonton ke 146 tahun lalu saat P. T. Barnum mendirikan Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus yang juga disebut "The Greatest Show on Earth". 

Daripada otentitas, pertunjukan Barnum (diperankan Hugh Jackman lewat karisma tanpa tanding) mengedepankan keajaiban supaya publik terperangah, terpukau, tertawa. "Penontonmu tampak lebih bahagia begitu keluar daripada saat masuk", demikian ungkap Phillip Carlyle (Zac Efron), penulis naskah teater yang kelak jadi partner Barnum. Festive and fun entertainment. Itu tujuannya, tak peduli meski sedikit trik perlu diterapkan: menyumpal perut pria tergemuk dengan bantal, memakaikan egrang di kaki pria tertinggi. Bukan sepenuhnya penipuan, hanya melebih-lebihkan atas nama hiburan.
The Greatest Showman mengusung tujuan yang sama, sehingga musikal adalah pilihan tepat, sebab biopic formulaik takkan sanggup mewakili pesta pora di panggung Barnum. Untuk mencapai tujuannya, Pasek & Paul menulis lagu-lagu bertempo menghentak, riuh oleh instrumen serta gemuruh vokal para cast. Film ini menyadari potensi menjadi hiburan meriah, membuatnya berusaha keras (selalu) mengejar kemeriahan itu sejak The Greatest Show selaku nomor pembuka berkumandang, ketimbang memilah berdasarkan ketepatan emosi. Deretan lagu yang bagai versi overproduced dari Fall Out Boy yang sukar dibedakan satu sama lain pun dipoles terlalu mulus di studio, berujung melucuti emosi asli aktor. 

Tidak bisa dipungkiri tata dekorasi yang melukiskan semarak sirkus di puncak popularitasnya mengundang decak kagum. Sinematografi arahan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers) punya imaji lebih dari cukup guna merealisasikan pertunjukan visioner P. T. Barnum. Jajaran pemain juga penuh totalitas menangani kompleksitas tiap koreografi. Zendaya sebagai Anne, seniman trapeze, mudah membuat jatuh hati, sementara Lettie Lutz si Wanita Berjenggot mengajak kita bersorak mendukung seruannya. Namun bayangkan menonton La La Land yang seluruhnya terdiri atas momen epilog. Fenomenal, namun sihirnya tak bekerja maksimal bila disajikan terus menerus. 
This Is Me dan Rewrite the Stars merupakan nomor musikal paling berhasil, karena mengandung lebih dari sekedar kemegahan: melawan segregasi dan ungkapan cinta. Adegan Barnum dan sang istri, Charity (Michelle Williams) turut bicara soal cinta, tetapi purnama di langit serta tarian Williams menembus lembar-lembar seprai putih tidak seintim maupun seromantis pertukaran rasa Anne dan Phillip. Anne melayang lincah di langit-langit, seolah ingin terbang meninggalkan Phillip, namun tatapannya sulit lepas dari sang pria kulit putih terpandang. Sedangkan Phillip terus berjuang menggapai cintanya. 

Naskah karya Jenny Bicks dan Bill Condon mungkin tidak memberi ruang guna meresapi jatuh-bangun kehidupan Barnum yang penuh gejolak pula kontroversi, tapi cukup untuk membuat penonton sebatas memahami. Dia mengumpulkan orang-orang terpinggirkan, menyediakan mereka kesempatan disorot layaknya bintang, karena dia sendiri dipandang sebelah mata. Dia berjuang karena enggan melihat puteri-puteri kesayangannya sengsara seperti dirinya dahulu, meski hal ini menyeret Barnum pada sisi gelap kesuksesannya. Barnum menyuguhkan hiburan, mengajak penonton tertawa, karena lelah mendapati keseharian yang terkekang oleh kesuraman.