Tampilkan postingan dengan label Niniek L. Karim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Niniek L. Karim. Tampilkan semua postingan

CALON BINI (2019)

Kadangkala sebuah film justru mencapai potensi terbaik saat hadir apa adanya. Keinginan untuk tampil “lebih” kerap jadi batu sandungan berbahaya. Demikian pula Calon Bini. Percintaan mustahil antara pembantu dan majikan entah sudah berapa kali dijadikan dasar jalinan kisah bertema “Cinderella story”, tapi pesonanya tak luntur, sebab sejak zaman nenek moyang, merupakan kewajaran jika seseorang mendambakan pasangan impian. Alih-alih mempertahankan kesederhanaan itu, Calon Bini memaksakan diri menyelipkan isu sosial tanpa dibarengi kualitas serta bekal pemahaman memadahi terhadapnya.  

Isu yang coba diangkat tak lain mengenai persepsi kolot masyarakat tentang kodrat wanita, khususnya wanita desa. Selepas lulus SMA, Ningsih (Michelle Ziudith) si gadis dari Bantul, berkeinginan melanjutkan kuliah hingga S2, walau perekonomian keluarganya pas-pasan. Kedua orang tuanya, Maryadi (Marwoto) dan Ngatinah (Cut Mini), hanya buruh tani. Sementara pakliknya, Agung (Ramzi) berhasrat menjodohkan Ningsih dengan Sapto (Dian Sidik) si putera Pak Kades (Butet Kartaredjasa), demi mengejar harta dan jabatan.

Tidak ada yang mempedulikan fakta bahwa Ningsih enggan menikah, apalagi dengan Sapto. Sebab, kebanyakan masyarakat di desa memang masih beranggapan bahwa paling tidak, pasangan kita wangun dijak njagong (pantas diajak menghadiri pesta pernikahan). Ucapan seperti itu sering saya dengar di lingkungan sekitar rumah sampai sekarang.

Tapi Ningsih kukuh pada pendirian, lalu memutuskan pergi ke Jakarta di hari lamaran. Tanpa memberi tahu keluarganya, ia bekerja sebagai pembantu di kediaman Pak Prawira (Slamet Rahardjo) dan Bu Andini (Minati Atmanegara). Dari sinilah paparan perihal “wanita berhak mengejar cita-cita” mulai bermasalah, tepatnya begitu Ningsih bertemu Oma ( Niniek L. Karim), yang telah lama mengurung diri, merasa kesepian setelah ditinggal si cucu tunggal, Satria Bagus (Rizky Nazar) berkuliah ke luar negeri.

Sebelum membahas masalah seputar naskahnya, izinkan saya mengutarakan perasaan janggal melihat Niniek L. Karim memerankan mertua Slamet Rahardjo yang notabene hanya lebih muda 7 hari, sekaligus ibunda Minati Atmanegara yang berselisih 10 tahun dengannya. Itu sama saja seperti Vanesha Prescilla menjadi mertua Iqbaal Ramadhan alih-alih kekasihnya.

Kembali ke alur, begitu terpikatnya Oma pada Ningsih, ia berkeinginan menjodohkannya dengan Satria. Di saat bersamaan, Ningsih sejatinya telah jatuh hati kepada sosok bernama Jejak Langkah yang menuliskan kalimat-kalimat pemberi semangat untuknya melalui Instagram, tatkala banyak orang kerap melontarkan komentar bernada miring terkait cita-cita Ningsih.

Kita tahu siapa Jejak Langkah sebenarnya. Kita tahu ia bukan si pria asing (Antonio Blanco Jr.) yang ditemui Ningsih di kereta. Tapi bukan itu masalah terbesarnya. Bukan pula ketidakwajaran jumlah cercaan di Instagram Ningsih (bukan meremehkan cyberbullying, tapi sungguh, pernahkah anda melihat akun berjumlah pengikut sekitar 100 menerima komentar negatif kejam sebanyak itu?), melainkan bagaimana Calon Bini mengkritisi soal “wanita yang penting menikah” dan perjodohan, hanya untuk menuntaskan permasalahan protagonisnya lewat pernikahan dan perjodohan pula.

Sampai filmnya berakhir, jangankan meneruskan S2 atau meniti karir, Ningsih sama sekali tak berkuliah. Naskah garapan Titien Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan 1990) dan Novia Faizal (Cinta tapi Beda, Something in Between) berdasarkan ide cerita Sukdev Singh (One Fine Day, Calon Bini) pun urung memperlihatkan kelebihan Ningsih selain dalam urusan domestik seperti memasak atau membuat teh jahe. Dan akhirnya segala kesulitan hidupnya tuntas begitu si “pangeran berkuda putih” menjemputnya, membawanya kembali ke “kerajaan”.

Itu bukan satu-satunya elemen problematis film ini. Saya juga terganggu akan penggambaran masyarakat Jawa (terlebih Jogja), yang lagi-lagi tampak kampungan, norak, sama sekali buta soal modernisasi, pula tidak tahu adat istiadat layaknya orang barbar. Realitanya, masyarakat desa justru bakal bersikap 180 derajat dari apa yang diperlihatkan Calon Bini (dan ratusan film lokal yang salah kaprah akibat malas riset lainnya). Saya memahami intensinya sebagai bumbu komedi, namun stereotip ngawur ini sudah jadi penyakit kronis perfilman kita, sehingga di titik ini, sudah tak pantas ditoleransi.

Padahal di luar humor stereotipikal miliknya, Calon Bini sebenarnya menyimpan beberapa banyolan menggelitik, yang cukup efektif memancing tawa berkat  pengadeganan dinamis Asep Kusdinar (Magic Hour, London Love Story) ditambah penyampaian mumpuni jajaran pemain. Marwoto sang komedian legendaris Jogja sudah tentu paling mencuri perhatian lewat celotehan-celotehan Bahasa Jawanya. Ya, untuk pemakaian bahasa, Calon Bini patut diapresiasi karena sebisa mungkin menghindari percampuran paksa Bahasa Jawa dan Indonesia sebagaimana dilakukan FTV kita.

Michelle Ziudith, biarpun belum sepenuhnya meyakinkan memerankan gadis Jawa dikarenakan gaya bicara yang sesekali masih terjebak logat “ndak gitu maaas...”, mampu menginjeksi energi supaya Calon Bini tak kehabisan daya hingga usai. Tapi jika ada aspek yang paling mencerminkan unsur pemberdayaan wanita, itu adalah akting Cut Mini. Tatapan Ngatinah kala melihat sang suami meluapkan amukannya kepada Agung, dipenuhi harga diri seorang wanita dari kalangan bawah yang tak rela kehilangan martabatnya. Andai Calon Bini juga memancarkan aura serupa.

MAMA MAMA JAGOAN (2018)

Tidak semua usaha “goes (more) mainstream” oleh sineas yang berangkat dari akar skena alternatif berujung kesuksesan. Ismail Basbeth melalui Talak 3 (2016, disutradarai bersama Hanung Bramantyo) dan Edwin melalui dua karya terakhirnya merupakan segelintir contoh keberhasilan. Sayangnya, Mama Mama Jagoan termasuk salah satu yang gagal. Bukan bencana besar, namun filmnya mempunyai dua wajah berbeda yang urung bersatu padu. Sementara bagi sutradara Sidi Saleh, pasca kegagalan Pai Kau (dari segi kualitas maupun perolehan penonton) pada Februari lalu, ini adalah lampu kuning.

Paruh pertamanya bagai usaha Sidi memindahkan drama panggung ke layar lebar. Mayoritas berlokasi di penjara tempat mendekamnya tiga mama: Dayu (Widyawati), Myrna (Niniek L. Karim), dan Hasnah (Ratna Riantiarno). Ketiganya ditangkap akibat kesalahpahman, disangka terlibat jual-beli narkoba sewaktu polisi menggerebek sebuah kelab malam di Bali, sewatu sedang mencari putera tunggul Myrna, Monang (Lolox), yang telah lama menolak pulang. Di dalam penjara, mereka terus bertengkar, memperdebatkan apa pun, yang oleh penulis naskah, Tian Pranyoto Gafar (Liburan Seru...!!) dijadikan sarana pembentukan karakter.

Serupa drama panggung, rangkaian dialog beserta akting pemain jadi suguhan terdepan. Kamera yang diarahkan Enggong Supardi (Alangkah Lucunya Negeri Ini, Kentut) jarang mengalami pergerakan dinamis, bahkan sering menerapkan shot statis, membiarkan penampilan tiga aktrisnya mengambil alih. Ketiga aktris legendaris ini memberi chemistry membara yang mampu mengubah baris kalimat mana pun terdengar menggelitik, walau kebanyakan materi humornya gampang ditebak sekaligus minim kreativitas. Khususnya Widyawati sebagai Dayu yang bengal, berlawanan dengan citra feminin atau keibuan yang lebih identik dengannya.

Sebagai bagian pembentukan karakter, kita turut disuguhi beberapa flashback seputar masa lalu para mama, termasuk awal mula persahabatan mereka. Ini bentuk kompromi Sidi. Dia bisa saja bertahan pada pendekatan drama panggung, menaruh seluruh eksposisi dalam dialog, tapi sang sutradara memilih pendekatan lebih ringan nan menghibur menggunakan visualiasi. Fase ini pun dipakai guna menekankan sisi “jagoan” ketiga mama, yang mampu menguasai” penjara, membuat semua pria patuh, dari sesama tahanan hingga polisi.Tidak bisa disangkal, ketiganya adalah wanita tangguh, namun bukan berarti masalah terkait pria dapat disingkirkan dari hidup mereka.

Myrna sempat terguncang jiwanya pasca sang suami (Cok Simbara) meninggal, belum lagi kerinduan akan sang putera yang tak kunjung pulang; Hasnah merupakan model bikini yang bangga akan fisiknya sewaktu muda, sebelum pernikahan memaksanya menjadi pelayan suami yang patuh; sementara Dayu menolak terikat pernikahan dengan alasan ingin bebas, meski kedua rekannya yakin, patah hati akibat ditinggal kawin oleh cintanya dahulu termasuk salah satu penyebab.

Mama Mama Jagoan berpotensi menghadirkan komedi relevan yang mengikat, tapi begitu trio mama jagoan keluar dari penjara, filmnya kehilangan daya. Setidaknya hiburan masih mampu diberikan, saat di luar performa para pemeran utama, Sidi dan Tian tahu cara menyajikan “situasi emak-emak”. Dari sentuhan kecil seperti menawari lemper di mobil (yang tak mendapat satu pun respon) hingga konflik besar kala mereka terlibat kekacauan, akan memancing penonton bergumam, “Wah, emak-emak banget nih”.

Paruh pertama dan kedua milik Mama Mama Jagoan bak berasal dari dua film berbeda. Paruh keduanya seperti usaha kompromi untuk tampil ringan yang berujung sebagai paparan roadtrip dangkal, tatkala pesan bermakna dikalahkan oleh kekonyolan, sementara aspek penceritaan dikesampingkan. Puncaknya adalah konklusi sarat simplifikasi berupa pemakaian elemen kebetulan. Mama Mama Jagoan diakhiri secara mendadak, menyisakan beberapa cabang cerita yang belum terselesaikan.

SUSAH SINYAL (2017)

Apakah Ernest Prakasa kelelahan? Atau ia belum menemukan formula mengolah kisah di luar sentilan kultur Cina yang kali ini hanya muncul sekelebat sebagai balutan humor sesaat? Masih menggunakan perpaduan drama keluarga dan komedi "acak" serupa Ngenest dan Cek Toko Sebelah, kedua unsur tersebut sesekali tersampaikan, namun tak jarang luput dari sasaran, kurang mulus pula dikawinkan. Koneksi dengan penonton timbul tenggelam, kadang lancar, kadang terganggu. Sepertinya film ini tengah mengalami susah sinyal. 

Seperti kebanyakan drama serupa, hubungan berjarak antara orang tua dan anak film ini disebabkan urusan pekerjaan. Ellen (Adinia Wirasti), pengacara sukses sekaligus ibu tunggal, jarang meluangkan waktu bersama puterinya, Kiara (Aurora Ribero), yang lebih terikat dengan kehidupan media sosial dan sang nenek, Agatha (Niniek L Karim). Di suatu malam, sepulang kerja, Ellen berusaha terlibat pembicaraan tentang film favorit Kiara, Moana, tapi justru menyebut Lilo & Stitch. Nenekmu lebih tahu film yang kamu cintai daripada ibumu, yang notabene jarang memberi perhatian. Tentu menyakitkan. 
Alhasil, wajar Kiara amat terpukul saat nenek meninggal. Mengetahui itu, Ellen mengabulkan keinginan Kiara berlibur ke Sumba, sembari berharap menemukan sinyal yang terputus di antara mereka. Tapi liburan ke tempat di mana Asri Welas, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Ge Pamungkas, sampai Chew Kin Wah yang menikahi Selfi KDI berkumpul, jelas takkan berlangsung normal. Ernest menyediakan panggung melucu seliar mungkin. Asri yang lebih kalem tetap mengocok perut kala memperagakan capoeira, pun Ge sebagai tokoh penuh trauma yang memfasilitasi gaya ekspresifnya. 

Keliaran komedi, yang acap kali tak terkait alur utama, berhasil sebagai bumbu penyedap dalam Cek Toko Sebelah. Susah Sinyal memunculkan kesan berbeda. Menulis naskahnya bersama sang istri, Meira Anastasia, Ernest bagai menabur bumbu terlalu banyak demi menutupi kekurangan di bahan pokok, alias alur yang tipis. Kelakar Arie dan Abdur misalnya. Menggelitik, namun seketika kehilangan daya bunuh sewaktu hadir berkepanjangan. Titik tertinggi komedi film ini terletak pada guyonan sekilas dengan kesempurnaan timing, seperti Asri Welas yang cenderung serius sehingga dampaknya berlipat ganda saat celotehan yang dinanti tiba, atau absurditas Dodit Mulyanto yang mengisi sesuai kebutuhan, tak dieksploitasi.
Ellen berharap perjalanan ke Sumba merekatkan hubungannya dengan Kiara. Kita menghabiskan sepertiga durasi di sana, melewati berbagai peristiwa, termasuk ketertarikan Kiara pada karyawan hotel bernama Abe (Refal Hady), sayangnya itu semua bukan quality time. Terlampau sering distraksi hadir, keduanya telah menemukan kembali sinyal yang terputus sebelum penonton sempat direnggut oleh gesekan yang terjadi. Film ini membawa karakternya ke Sumba, lalu seolah bingung mesti berbuat apa pada mereka. Aspek teknis pun gagal membantu, baik pilihan shot ala kadarnya (Ernest pernah melahirkan gambar luar biasa kuat berupa Chew Kin Wah bersandar di tiang toko kosong dalam Cek Toko Sebelah) maupun transisi kasar musik selaku cue emosi. 

Untungnya Susah Sinyal punya Adinia Wirasti, seorang aktris langka yang sanggup menyulap obrolan kasual jadi menarik. Bersama debut memikat Aurora Ribero dalam gaya sinis yang menjadikan ketakutan Ellen mendekatinya terasa masuk akal, Adinia menghembuskan nyawa, menghindarkan filmnya dari kehampaan total. Susah Sinyal is a step back. Tapi bukan kemunduran jauh, apalagi suguhan buruk. Ernest selalu belajar, dan itu membuat kepercayaan saya padanya tidak luntur. 

SWEET 20 (2017)

Lebaran bukan melulu soal agama, juga momen berharga di mana bagi sebagian orang jadi kesempatan langka bertemu keluarga besar. Mereka bercengkerama, bertukar cerita, tertawa bahagia. Lebaran adalah liburan. Liburan yang (semestinya) hangat dan menyenangkan. Sehingga "film lebaran" menjadi sempurna apabila mampu menimbulkan rasa-rasa tersebut sekaligus bisa ditonton bersama orang-orang tercinta. Sambutlah Sweet 20, satu dari lima remake (ada tiga lagi sedang dipersiapkan) drama-komedi asal Korea Selatan, Miss Granny, yang niscaya bakal melambungkan Tatjana Saphira ke jajaran lead actress papan atas.

Adaptasi naskah oleh Upi tak sekedar melakukan alih bahasa, juga budaya termasuk menempatkan adat sungkeman keluarga kala lebaran yang dilakukan tokoh Fatmawati (Niniek L. Karim) beserta anak tunggal kesayangannya yang kini sukses menjadi dosen, Aditya (Lukman Sardi), Salma (Cut Mini) si menantu yang gemar ia kritisi, juga kedua cucunya, Juna (Kevin Julio) dan Luna (Alexa Key). Kecerewetan Fatmawati rupanya acap menghadirkan kesulitan, yang akhirnya menyulut wacana memasukkan sang nenek ke panti jompo.
First act mengenai ujian terhadap ikatan kasih keluarga kemudian berpindah menyinggung ranah fantasi (genre yang sulit dieksekusi baik dalam perfilman kita) pada second act ketika Fatmawati yang terpukul mendengar niat anak-cucunya tadi menemukan studio foto milik seorang pria tua (Henky Solaiman). Harapan mendapat foto cantik untuk pemakaman malah memberi keajaiban. Fatmawati kembali bak gadis berusia 20 tahun (diperankan Tatjana Saphira). Mengadopsi nama aktris favoritnya (Mieke Wijaya), Fatmawati berharap menggapai mimpi masa mudanya yang dahulu urung tercapai akibat jerat kemiskinan.

Jujur saja, sebelum ini saya cenderung meragukan kapasitas Tatjana akibat ekspresi maupun luapan emosi tanggung dalam berakting. Peran sebagai Fatmawati/Mieke membawanya naik kelas, dari aktris muda berparas ayu menuju pemeran utama kompeten. Aksinya penuh semangat, jago menangani momen komedik entah melalui raut wajah menggelitik sampai gaya bicara bagai wanita tua sembari tetap solid melakoni porsi dramatik. Tatjana tidak terjebak untuk berlebihan tampil konyol supaya nampak lucu. Sebaliknya, kelincahan berenergi miliknya menguatkan penokohan selaku tingkah wajar Fatmawati kala mendapat lagi gelora dan tenaga yang telah lama hilang. Fatmawati is excited to chase her old dream and we can easily feel that excitement.
Bukan sang aktris saja, sutradara Ody C. Harahap (Me vs. Mami, Kapan Kawin?, Skakmat) dan Upi sebagai penulis naskah pun saling melengkapi, berujung pencapaian terbaik sepanjang karir masing-masing. Ramuan komedi Upi sempurna divisualisasikan oleh Ody melalui pendekatan “makin kacau makin baik” semisal saat Hamzah (Slamet Rahardjo), si kakek yang terpikat pada Fatmawati berteriak ketakutan setengah mati menaiki wahana Dunia Fantasi, hingga gemasnya Hamzah bersama Mieke menonton sinetron di televisi. Demikian pula paparan drama. Upi konsisten memberi latar (kenangan, kasih sayang keluarga, persahabatan tak terucapkan) dalam tiap kesedihan atau haru, bukan dramatisasi asal guna memaksa mengucurkan air mata penonton.

Di sinilah Ody melakukan hal yang sutradara kelas satu pun belum tentu sanggup: memuluskan perpindahan tone. Lompatannya tak tergesa-gesa berkat keberadaan transisi memadahi, pandai juga ia mengatur dinamika melalui kecermatan menaikturunkan intensitas rasa. Sang sutradara paham kapan pembangunan emosi dilakukan, kapan hook dilemparkan, kapan mesti menetap di satu momen, kapan waktunya berpindah ke momen lain. Alhasil baik tawa atau tangis tersaji total, urung terkikis kekuatannya.
Kembali ke naskah, Upi berhasil memaksimalkan karakter pendukung yang tidak sedikit. Secara natural semua diberi porsi mencuri perhatian berkat penempatan tepat di mana seorang tokoh mendapat fokus karena memang sudah tiba waktunya hadir mengisi sentral. Kelebihan ini mendukung fakta Sweet 20 diisi ensemble cast yang bermain apik. Slamet Rahardjo terlihat bersenang-senang menjadi kakek centil sambil mempertahankan bobot akting, Widyawati Sophiaan yang “menggila” dan tidak kalah centil, Lukman Sardi yang menyentuh hati dalam klimaks emosi film, sampai sejumlah memorable cameo sebutlah Joe P Project dan Karina Nadila. Bakal terlampau panjang membahas kualitas para penampil sebab nama-nama seperti Cut Mini, Morgan Oey, Kevin Julio, hingga Tika Panggabean tak kalah memikat.

Sisi artistik Sweet 20 juga ikut melengkapi, memuaskan mata dan telinga melalui nuansa retro yang cakap ditunjukkan lewat kostum serta tata rias yang dikenakan Tatjana, pemilihan warna-warni indoor setting, juga penggunaan lagu-lagu klasik macam Payung Fantasi dan Bing. Memikat luar-dalam di segala aspek, Sweet 20 akan mengobrak-abrik tembok perasaan anda, jadi apabila sepanjang liburan lebaran hanya satu film sempat ditonton, pastikan pilihan jatuh pada film ini. The best Indonesian movie of the year by far