Tampilkan postingan dengan label Amanda Rigby. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amanda Rigby. Tampilkan semua postingan

REVIEW - 'I, WILL, SURVIVE' TRILOGY

Hampir bersamaan dengan trilogi Fear Street, Indonesia juga menelurkan konsep yang serupa meski tak sama. Tiga film, I, Will, dan Survive karya Anggy Umbara dirilis dalam satu hari. Kisah dan karakternya saling terhubung, walau beberapa tidak secara langsung, dan ketiga judul punya subgenre berbeda. I adalah aksi-thriller soal vigilante, Will mengusung tema survival, sedangkan Survive merupakan torture porn. 

I - Film pertama mengisahkan tentang keputusasaan Sanjaya (Omar Daniel), dalam mencari sang istri, Mila (Amanda Rigby), yang telah menghilang selama enam bulan. Apakah ia diculik, kabur, atau malah sudah meninggal? Tiada kejelasan. Di sisi lain, kita turut melihat bagaimana Sanjaya membenci ayahnya, Bisma (Arswendy Beningswara), yang ia yakini, bertanggung jawab menghilangkan banyak nyawa tak bersalah kala masih bertugas sebagai tentara dulu. 

Tidak mengejutkan rasanya, saat saya menyebut Arswendy merupakan penampil terbaik di sini. Satu adegan di meja makan jadi contoh. Mendengar sindiran pedas si putera sulung untuk kesekian kali, hati Bisma hancur. Mata sang aktor berkaca-kaca, tapi ia menahan letupan emosi, menciptakan rasa sesak, seolah ditelannya seluruh air mata yang hendak jatuh.

Lalu hal yang ditakutkan Sanjaya sungguh terjadi. Mila ditemukan tidak bernyawa. Tubuhnya dimutilasi, dibuang di tengah kebun kosong. Dikuasai dendam, Sanjaya pun teringat obrolan dengan rekan-rekannya tentang petrus (film ini menyebut petrus sebagai vigilante, yang mana keliru). Berbekal senapan milik ayahnya, Sanjaya nekat menghakimi para pelaku kriminal, dari preman kelas teri hingga koruptor, yang menurutnya, gagal diadili oleh negara.  

Naskah yang juga ditulis oleh Anggy, mengambil keputusan ganjil dengan membuat Sanjaya dan Bisma berbaikan di awal durasi. Secara psikis, perdamaian itu semestinya mengangkat salah satu beban terberat di pundak Sanjaya. Bakal lebih masuk akal jika keduanya masih bertikai, sehingga batin Sanjaya makin bergejolak. Sebab di satu sisi ia membenci perbuatan ayahnya, namun di sisi lain, amarah semakin sulit ditahan. Keputusan nekat dalam kondisi pikiran keruh macam itu, lebih bisa dipahami. 

Bagaimana modus operandi Sanjaya? Dia menembak dari dalam mobil, yang diparkir di atas jembatan layang. Ya, aksi super berbahaya tersebut dijalankan di tengah keramaian, kala banyak kendaraan melintas. Bahkan Sanjaya tidak menunggu situasi sepi. Sekadar tengok kanan-kiri pun tidak. Alasan "Wajar, karena Sanjaya amatir" tidak bisa diterima, karena itu adalah logika dasar. Untungnya, setelah membeli senapan baru dari luar negeri, Sanjaya memindahkan posisinya ke puncak gedung yang lebih tersembunyi. 

Anggy memakai tempo cepat, yang sayangnya tak berdampak signifikan, akibat tanpa dibarengi penulisan kreatif. Aksi Sanjaya repetitif. Tiba di lokasi, bidik, tembak, selesai. Tidak ada variasi, intensitas, maupun bobot emosi. Naskah urung menggali perihal vigilante secara mendalam, sehingga gagal memancing penonton agar ikut merenungkan isu tersebut. Semua berlangsung datar. 

Berbeda dari biasanya, pengarahan Anggy miskin gaya. I memerlukan gaya khas Anggy, agar minimal, bukan cuma menampilkan adegan sniping ala kadarnya. Membosankan. Setidaknya sampai kemunculan twist yang memberi sedikit angin segar, sekaligus menyiratkan gagasan menarik soal bagaimana trilogi ini saling terhubung (2,5/5)

WILLJika I (begitu juga Survive nantinya) langsung tancap gas sejak awal, Will merupakan installment paling sabar. Selama 30 menit pertama, narasi dibangun secara layak, mengisahkan retaknya pernikahan Andra (Morgan Oey) dan Vina (Anggika Bolsterli). Andra kesal atas sikap Vina yang selalu mendiamkannya. Kelak terungkap, ada alasan menyakitkan di balik kerenggangan hubungan keduanya.

Morgan dan Anggika ibarat jaminan mutu departemen akting sebuah film, dan itu terbukti, khususnya kala Will mencapai titik balik, di mana keduanya mengobrak-abrik perasaan satu sama lain, juga penonton. Alhasil, saat selepas pertengkaran dengan sang istri Andra nekat memacu sepeda gunungnya melintasi rintangan berbahaya, saya bisa memahami kenekatan itu sebagai wujud pelampiasan rasa sakit. Mungkin di hati kecilnya, Andra berharap bisa melukai diri sendiri. 

Hal itu benar terjadi, namun tidak dengan cara yang ia harapkan. Andra mengalami kecelakaan, tubuhnya terluka parah, membuatnya terjebak seorang diri di tengah hutan. Setelah prolog menjanjikan, Will justru terjun bebas kala memasuki babak utama. Jika 30 menit pertama adalah proses penuh kesabaran dalam membangun pondasi narasi, satu jam berikutnya adalah ujian kesabaran bagi penonton.

Tugas penulisan berpindah ke tangan Bounty Umbara, namun kekurangan Will masih seperti pendahulunya, yakni terkait kreatvitias eksplorasi. Daya tarik sekaligus sumber ketegangan utama film survival terletak pada perjuangan protagonisnya bertahan hidup. Kadang ia harus bertaruh nyawa, kadang pula otaknya dituntut untuk bekerja lebih keras dari biasa. 

Apa yang Andra lakukan di sini? Merekam video, minum air dari daun, merekam video, minum lagi, merekam lagi, lalu bermimpi. Apa isi mimpi itu? Tentu saja minum. Bedanya, kali ini ia minum di sungai. Tapi jangan khawatir, interaksi Andra dengan daun bakal kembali, ketika ia lapar, lalu mengunyah daun lain yang ada di sekitarnya. 

Begitu akhirnya lepas dari rutinitas minum, bisa menebak elemen apa lagi yang filmnya pakai? Ya, halusinasi tentu saja. Terjadi dua halusinasi. Peristiwa pertama, biarpun presentasinya agak konyol, mampu memberi pemaknaan heartbreaking, yang mampu sejenak menghilangkan kantuk. Lain cerita soal halusinasi kedua. Muncul jelang akhir, momen ini berjalan terlalu lama, pula overly dramatic, cenderung manipulatif. 

Will adalah film survival yang sangat sedikit mengandung usaha bertahan hidup. Naskahnya bak ditulis oleh orang yang jarang menonton film serupa, sementara penyutradaraan Anggy (kali ini Bounty juga menjadi co-director) bagai tidak bertenaga. Kosong. Bahkan Morgan terlihat bosan di layar. 

This movie lacks desperation too. Tangan kiri serta kaki kanan Andra terluka, namun ia masih bisa bergerak. Setidaknya bila dibanding James Franco di 127 Hours, opsi yang tersedia bagi Andra jauh lebih banyak. Tapi dengan alasan "khawatir lukanya jauh lebih parah", ia cuma berbaring. In a movie like this, we want to see the characters tried their best. Dan begitu melihat bagaimana cara Andra selamat, saya hanya bisa mengelus dada (1,5/5)

SURVIVEDi Will, kita melihat Vina diculik oleh Dani si psikopat bertopeng (Onadio Leonardo), dan Survive langsung memperlihatkan istri Andra itu disekap dalam suatu ruangan. Akibat buruknya tata suara, gabungan teriakan Vina ditambah suara rantai terasa menyakitkan bagi telinga. Untuk kondisi tersebut tidak terlalu sering terulang di sepanjang film.

Selain Vina, Mila (istri Sanjaya dari film pertama) rupanya juga jadi korban Dani. Apa alasan Dani melakukan semua ini? Di sela-sela siksaan yang ia berikan pada dua wanita tersebut, terdapat flashback, tentang masa kecil Dani. Dani kecil (Fatir Tan Malaka) diajari oleh ayahnya (Teuku Rifnu Wikana), bahwa laki-laki harus kuat. "Kuat" di sini berarti, tidak ragu menyiksa wanita yang dianggap membangkang. Karena begitulah perbuatan ayah Dani terhadap ibu tirinya, Surti (Cindy Nirmala). 

Survive berusaha menjabarkan proses terbentuknya sosok psikopat kejam. Banyak film melakukan itu, dan andai dieksekusi dengan baik, berpotensi melahirkan thriller psikologis kompleks. Naskah buatan Anggy terasa bermasalah, akibat terkesan bersimpati kepada si psikopat, sambil menggambarkan para korban sebagai individu yang pantas dihabisi. 

Narasi semacam itu berhasil, andai antagonis bersikap "objektif", alias percaya bahwa perbuatannya bertujuan memperbaiki dunia. John Kramer di Saw misalnya. Sedangkan Dani, walau dicekoki hal serupa mengenai "menjaga peradaban" oleh ayahnya, melakukan aksinya juga didasari pemenuhan nafsu. 

(SPOILER STARTS) Kelak terungkap, Dani akhirnya membunuh sang ayah, karena menyadari ibunya tidak bersalah. Poin ini mengganggu. Wajar bila ajaran soal "menghukum para pendosa" tetap bertahan hingga ia dewasa, tapi jika ia tak menyalahkan sang ibu, mengapa orang-orang yang Dani hukum cuma wanita yang menurutnya "berdosa"? Artinya, sebagaimana telah disebut, kejahatan Dani memang didorong hasrat pribadi, sehingga tuturan perihal kompleksitas moral ala Saw pun gagal diterapkan. (SPOILER ENDS)

Kita tahu bagaimana Survive berakhir, termasuk cara Vina lolos. Sehingga intensitas sekaligus rasa penasaran tidak terlalu tinggi. Sebagai gantinya, Anggy menunjukkan berbagai kejadian "sakit". KDRT, pembunuhan, mutilasi, pemerkosaan, hingga yang paling ekstrim, elemen incestuous, yang meski tidak gamblang, cukup mencengangkan karena muncul dalam film Indonesia. 

Tapi jangan harap kegilaan-kegilaan di atas mendominasi. Ada beberapa, namun hanya mengisi sebagian kecil durasi. Sisanya, serupa dua film pertama, Survive cenderung repetitif dan melelahkan, biarpun cast-nya tidak mengecewakan. Anggika berusaha sekuat tenaga mencurahkan rasa sakit fisik dan mental, Teuku Rifnu Wikana mampu menghidupkan sosok sampah masyarakat yang mudah untuk dibenci, sementara Onadio, walau tak bisa disebut "bagus", minimal ia (berusaha) menjauhi keklisean "Oh-I'm-So-Crazy", yang jadi stereotip kala ada aktor memerankan psikopat. (2/5)

Available on KLIK FILM

SARA & FEI: STADHUIS SCHANDAAL (2018)

Jika diibaratkan masakan, Sara & Fei: Stadhuis Schandaal berasal dari gagasan ambisius seorang koki untuk menciptakan nasi goreng ternikmat dengan cara mengumpulkan seluruh bahan dan bumbu yang bisa ia temukan di pasar. “Kalau semua bahan baku kucampur, tentu bakal menciptakan kekayaan cita rasa”, begitu pikirnya. Apa daya, ia malah kerepotan, kebingungan, dan akhirnya justru kwetiau yang tercipta, setengah matang pula. Bukan saja tidak enak, esensi dasar nasi goreng, yaitu “NASI”, turut lenyap. Jadilah bencana. Bencana yang ajaib. Seberapa ajaib? Simak kutipan dialog berikut, yang melibatkan polisi dan komandannya.

Lapor Komandan, Abimanyu berhasil ditangkap, namun tersangka Chiko BERHASIL MELARIKAN DIRI.”
Kenapa bisa begitu?”
Karena di saat bersamaan pelaku BERHASIL MELARIKAN DIRI!

Itu sama saja dengan situasi ketika seorang ibu bertanya pada anaknya, “Bagaimana bisa nilai ujian kamu jelek?!”, yang dijawab oleh sang anak, “Karena nilai ujian saya jelek”. Apabila pembicaraan di atas terdengar bodoh, asal, konyol, dan inkonklusif, itu karena keseluruhan filmnya pun begitu. Premisnya menarik, mengenai Fei (Amanda Rigby), mahasiswi yang di tengah risetnya seputar sejarah kota tua Batavia, didatangi sosok misterius dari masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, seorang wanita bernama Sara (Tara Adia). Pertemuan itu membuat Fei terlempar ke masa lalu, menyaksikan langsung skandal perintaan Sara si wanita terhormat dengan Peter (Mikey Lie) si prajurit rendahan.

Terdapat cukup modal untuk mengawinkan unsur sejarah dengan fiksi dengan sampul fantasi. Tapi, layaknya koki pada cerita tadi, naskah buatan Irfan Wijaya bersama Adisurya Abdy (Roman Picisan, Asmara) yang juga merangkap sutradara, berantakan, tanpa tujuan pasti. Perjalanan menembus lorong waktu baru terjadi pasca film menginjak 30 menit. Itu pun cuma sejenak, dan dikemas layaknya video presentasi role play murid-murid SMP, diiringi voice over Sara yang terdengar bak guru sejarah paruh waktu membacakan buku pegangan plus data-data riset dari internet. Petualangan trio Ustaz Addin-Zidan-Haji Husin di lorong waktu jauh lebih menghibur meski penuh ceramah.

Sudah begitu, volume suaranya selirih bisikan manja seekor semut pemalu yang masih bocah. Musik yang sejatinya dimainkan dalam volume normal pun membabat habis dialog “keilmuwan” yang diucapkan para pemain dengan tingkat semangat mendekati nol. Jangan buat saya membahas pilihan musik “eksentrik” dari Adisurya Abdy, yang bagai diambil dari katalog tembang nostalgia. Juga jangan buat saya mempertanyakan alasan Danny (Volland Volt)—pria yang disukai Fei meski merupakan rekan kerja ayahnya—menyanyikan Naik Kereta Api kala sedang menggendong Fei.

Padahal, di suatu wawancara, sang sutradara menyebut film ini diharapkan mampu menggaet ketertarikan generasa millenial, tapi selera estetikanya jelas berlawanan dari tujuan tersebut. Senjata lain guna memikat penonton masa kini adalah pemakaian CGI. Ada CGI untuk salju, CGI untuk meriam, CGI untuk benteng, CGI untuk jendela benteng, bahkan sebagai bentuk totalitas, ruang sederhana yang hanya diisi meja, kursi, serta rak berisi buku-buku pun CGI. Mengapa tidak semua lokasi, bahkan karakternya dibuat memakai CGI? James Cameron pasti bangga.

Sara & Fei: Stadhuis Schandaal sanggup melanglang buana mengambil gambar sampai ke Cina, namun membangun set sederhana untuk halaman benteng beserta sebagian kecil isinya saja tak bersedia. Tunggu? Kenapa film ini turut menyertakan latar Cina? Sebab di situlah Fei dan Danny bertemu. Jika merasa itu membuat fokus kisahnya melebar, tunggu sampai anda bertemu Chiko (Haniv Hawakin), mantan kekasih Fei yang dipekerjakan pebisnis kotor, Abimanyu (Anwar Fuady), untuk meretas sistem perusahaan saingannya. Apa yang diretas menjadi tanda tanya, mengingat ketika Chicko beraksi, kita hanya melihat layar komputer berisi angka serta grafis acak, dan sebuah screen saver bergambar Matrix Digital Rain.

Kisah sejarah, fantasi, romansa, cerita kriminal, drama keluarga, tak heran kalau adonan film ini berantakan. Belum lagi penyuntingan gambar Bimmo DJ (Miss Call, Nyai Ahmad Dahlan) kerap semaunya, di mana adegan acap kali berpindahh meski kalimat atau gerakan karakternya belum tuntas. Kasar dan asal. Jujur saya sedih sekaligus geli melihat Sara & Fei: Stadhuis Schandaal. Rasanya seperti melihat bapak-bapak paruh baya, sedang berusaha terlihat modern dan asyik dengan aktif mengirim gambar atau video di grup WhatsApp keluarga. Akhirnya, saat konsumen nasi goreng yang disuguhi kwetiau tadi bertanya “Nasinya mana???”, saya pun berujar, “Mana unsur sejarah yang bisa dipelajari?”.