Tampilkan postingan dengan label Beanie Feldstein. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Beanie Feldstein. Tampilkan semua postingan

LADY BIRD (2017)


Ketika akhir tahun lalu meninggalkan Jogja, di malam terakhir saya berkeliling kota, melewati tempat-tempat yang rutin dilewati. Berbagai titik yang selama 7 tahun terkesan biasa, mendadak memancing haru karena keping-keping memori berseliweran. Begitu juga saat mengosongkan barang-barang di kamar. Lady Bird memiliki dua momen tersebut, membuktikan bahwa Greta Gerwig—dalam debut penyutradaraan—mengerti serta mampu memvisualisasikan seperti apa memori akan tempat yang kita cintai. Dalam Lady Bird, adegan mengecat kamar, menutup coretan-coretan lama (masa lalu) dengan warna baru (masa depan), terasa sentimentil.

Bahkan sinematografi garapan Sam Levy dengan tekstur warna grainy-nya terlihat bagai reka ulang memori, impresi yang tak sebegitu menonjol saat menyaksikan filmnya di layar kecil laptop. Mengunjungi Lady Bird untuk kedua kali di layar lebar, baik aspek visual, pacing, baris dialog, emosi, maupun akting, kualitasnya melonjak drastis. Sekitar tiga atau empat kali saya dibuat meneteskan air mata oleh peristiwa-peristiwa yang telah disaksikan sebelumnya, yang mana menegaskan dua poin: 1) Selalu ada hal baru untuk diserap dalam sebuah film, 2) Semua film semestinya ditonton di bioskop, walau bukan blockbuster bombastis.
Walau film itu “cuma” menceritakan gadis SMA dari Sacramento bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang tidak puas dengan kehidupannya. Dia menganggap Sacramento menjemukan dan bermimpi melanjutkan kuliah di New York selaku “tempat di mana kebudayaan berada”. Meski sang ibu (Laurie Metcalf) melarang keras karena mengkhawatirkan terorisme pasca tragedi 9/11 (filmnya berlatar tahun 2002) ditambah faktor ekonomi, sang gadis tidak peduli.  Bukan saja soal tempat tinggal, ia pun tidak puas terhadap kedua orang tuanya. Merasa ibunya selalu menentang keinginannya, pula menolak diantar sampai ke sekolah oleh sang ayah (Tracy Letts) karena malu.

Mungkin itu sebabnya ia bersikeras dipanggil Lady Bird. “I gave it to myself. It’s given to me, by me”, demikian ungkapnya. Nama yang aneh, tapi jelas menonjol dan terdengar spesial. Lady Bird memang ingin seluruhnya spesial, termasuk pergaulan, hubungan romansa, juga seks. Kapan pun masanya, begitulah remaja apalagi sewaktu SMA. Ingin jadi yang terkeren, terdepan, pusat segalanya, meski membuatnya harus bersikap egois dan konformis. Lady Bird sempat mendepak sahabatnya, Julie (Beanie Feldstein), demi bergaul bersama Jenna (Odeya Rush), siswi paling populer di sekolah. Pola pikir, kegemaran, hingga cara memandang suster di SMA Katholik tempatnya bersekolah pun ia ubah agar sesuai dengan Jenna.
Gerwig tak hanya memahami memori, juga perilaku remaja di masa pencarian jati diri. Pemahaman itu nampak jelas di naskahnya yang konon bersifat semi-autobiografi. Gerwig pun cerdas merangkai rentetan kalimat menggelitik di antara alurnya yang bergerak dinamis tanpa pernah berlama-lama tertahan di satu titik, tetapi cukup memberi penonton waktu guna mencernanya. Sangat dinamis kombinasi penyutradaraan Gerwig dan penyuntingan gambar Nick Houy, sebagaimana emosi dan sikap tokoh-tokohnya yang kerap berubah cepat, apalagi terkait interaksi Lady Bird dan ibunya. Sekali waktu keduanya bisa bertengkar soal “cara jalan menyeret”, lalu sejurus kemudian kompak mengagumi keindahan sebuah gaun. Atau tiba-tiba melompat dari mobil yang tengah berjalan pasca beradu mulut mengenai mendengarkan lagu.

Gerwig menaruh atensi besar terhadap momen kekeluargaan, mencurahkan segenap rasa guna menyalurkannya pada penonton. Usahanya berhasil, tentu tanpa melupakan jasa jajaran pemain khususnya Saoirse Ronan dan Laurie Metcalf. Alasan saya menyarankan agar mengunjungi Lady Bird lagi di layar lebar salah satunya demi Ronan. Detail aktingnya dapat teramati secara menyeluruh. Caranya berteriak, menatap kagum, berlari, tertawa, bahkan sekedar mengunyah makanan ringan, amat memikat, lucu, namun otentik. Tidak perlu panjang lebar menjabarkan betapa hebat Metcalf. Cukup lihat ekspresinya tatkala menyetir jelang akhir, dan cobalah menahan tangis.