REVIEW - MISSING

12 komentar

Sekilas Missing bagai cuma membalik cerita film pertama. Jika Searching (2018) tentang upaya orang tua mencari anaknya, kini giliran si orang tua yang hilang. Tapi bukan sekadar pertukaran peran nihil kreativitas. Karena di saat tidak semua individu merupakan orang tua, kita semua adalah anak seseorang. Alhasil kisahnya punya jangkauan lebih luas. Lebih relatable. 

Ditulis naskahnya oleh duo sutradara Nick Johnson dan Will Merrick yang menjadi editor film pertama, Missing membicarakan salah satu ketakutan terbesar anak. Bagaimana jika tanpa disadari, sebuah interaksi dengan orang tua jadi momen terakhir kita bersama mereka? Lebih buruk lagi, bagaimana kalau interaksi itu meninggalkan kenangan pahit?

Sebagaimana banyak remaja, June (Storm Reid) kurang akrab dengan ibunya, Grace (Nia Long), yang dianggapnya terlalu cerewet. Tapi June merindukan ayahnya, James (Tim Griffin), yang meninggal sewaktu ia kecil akibat tumor otak. Ketika Grace berlibur ke Kolombia bersama kekasihnya, Kevin (Ken Leung), June berbahagia. "Selamat datang kebebasan", mungkin begitu pikir si gadis remaja. 

Tapi saat hari kepulangan sang ibu tiba, June tak menemukan Grace. Dia hilang tanpa jejak, dan selama lebih dari 90 menit ke depan, kita diajak melihat segala upaya June melacak keberadaan Grace. Tentunya masih dalam format screenlife yang membuat Searching memperoleh reputasi tingginya. 

Meski posisi sutradara berpindah, Johnson dan Merrick terbukti tahu cara mereplikasi bangunan intensitas milik Aneesh Chaganty di film pertama. Bukan hal mengejutkan, mengingat sebagai editor, keduanya paham betul metode Chaganty menyusun sekuen dan memainkan tempo. Kita dibawa mengamati investigasi bekecepatan tinggi yang penuh lika-liku serta titik balik mengejutkan. Ditambah ketepatan dramatisasi, tiap progres yang karakternya capai selalu jadi momen uplifting yang ikut penonton rayakan.

Layar memegang peranan penting. Entah layar komputer, smatphone, atau tayangan berita di televisi, selalu dipenuhi detail yang merangsang insting observasi kita. Sesekali bukan petunjuk terkait alurnya yang didapat, melainkan easter eggs untuk dua judul lain dalam semestanya, yakni Searching dan Run (2021). 

Jangan harap filmnya mau menyuapi. Missing menjawab setiap tanya, seluruh penjelasan muncul di layar, namun bagaimana titik-titik itu disusun, sepenuhnya diserahkan pada penonton. Berbeda dengan June, kita tidak bisa mencatat setumpuk informasi yang ditemukan. Perhatian total saat menonton amat diperlukan, atau kalian bakal melewatkan poin-poin seperti "Metode penyelidikan apa yang sedang dilakukan? Apa tujuannya? Bagaimana hasilnya? Kenapa karakter A melakukan Z?", dan lain-lain. Misterinya rumit, berlapis, tapi terpenting, tidak menganggap penontonnya malas memutar otak. 

June bukanlah David Kim (John Cho). Dia remaja yang akrab dengan teknologi dan media sosial, pula tumbuh bersama tontonan true crime di Netflix. Alhasil dibutuhkan kesulitan lebih berat agar ia mendapatkan tantangan berarti, yang mana sejalan dengan ambisi Missing untuk memperbesar cakupan. 

Jika bujet Searching hanya 880 ribu dollar, maka Missing hampir 10 kali lipatnya (7 juta dollar). Dibantu beberapa karakter pendukung seperti sahabatnya, Veena (Megan Suri), Elijah Park (Daniel Henney) si agen FBI, Heather (Amy Landecker) selaku teman sang ibu sekaligus seorang pengacara, hingga Javier (Joaquim de Almeida) sang gig worker asal Kolombia, June menghadapi rintangan dengan skala yang membuat Searching nampak kerdil.

Hasilnya tidak selalu lebih baik. Memasuki separuh kedua, Missing mulai terasa terlalu penuh, terlalu besar, juga dilengkapi berbagai twist yang mendorong suspension of disbelief penonton sampai ke titik ekstrim. Jika paruh pertamanya piawai mengatur dinamika sembari membolak-balik persepsi penonton akan kasusnya, paruh kedua bak dibebani kewajiban untuk tampil lebih liar, lebih mengejutkan, dan sekali lagi, lebih besar sebagai sebuah sekuel. 

Tapi kelemahan di atas hanya bakal menonjol bila kita menyandingkan Missing dengan pendahulunya. Apabila dipandang sebagai thriller yang berdiri sendiri, ia tetap suguhan luar biasa intens sekaligus emosional. Fenomena era media sosial, misalnya ketiadaan empati para pembuat konten dalam menyikapi kasus sempat disinggung, namun secara lebih mendasar, Missing membicarakan satu nilai kekeluargaan penting: kecerewetan ibu adalah wujud kasih sayang tiada banding.

12 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

tunggu tunggu....ini film keren, apakah penonton mau datang ke layar bioskop untuk cuan...kalau saya, yes...sudah nonton 👍👍👍👍👍 skor 4.5/5 95%

Om2 jualan gudeg mengatakan...

Bang Rasyid ntn slamdunk jg?kalo mo ajak istri better ntn missing atau slamdunk ya?

Anonim mengatakan...

film jejak rekam digital emang nggak ada duanya yang satu ini

Anonim mengatakan...

Searching udah...
Missing Udah...
Next sequel LOADING....!

Anonim mengatakan...

Film pertama: Ibunya meninggal, anaknya hilang, bapaknya yg nyariin
Film kedua: Bapaknya "meninggal", ibunya hilang, anaknya yg nyariin
Film ketiga (kayaknya 😂): Anaknya meninggal, bapaknya hilang, ibunya yg nyariin

Abhiem mengatakan...

Apakah nonton ini, harus nonton prekuelnya dulu yang Searching? pls answer. many thanks.

Albert mengatakan...

Tidak perlu kok

agoesinema mengatakan...

Filmnya bagus, bisa disejajarkan dgn film pertama.

Anonim mengatakan...

Searching. Missing. Finding

Anonim mengatakan...

Searching - Missing - Googling

Anonim mengatakan...

Searching.Missing.Crying

Anonim mengatakan...

Searching - Missing - Tripping