Tampilkan postingan dengan label Chinese Movie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Chinese Movie. Tampilkan semua postingan

REVIEW - NE ZHA 2

Ne Zha 2 telah menggoyang hegemoni Hollywood, baik dari segi finansial maupun kualitas. Anggapan klasik berbunyi "cuma Amerika yang bisa" pun runtuh seketika di hadapan animasi yang sampai tulisan ini dibuat, sedang berupaya menggusur Titanic dari posisi ke-4 daftar film dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa. Sekarang kalimat yang tepat untuk didengungkan justru "Amerika tidak akan bisa".

Kuncinya tidak lain adalah budaya. Bukankah animasi Hollywood sedang gencar melakukan representasi budaya? Betul, tapi di hadapan "formula Hollywood", sentuhan kultural sekaya apa pun seolah terhalangi oleh dinding yang memaksa sineasnya bermain aman, tanpa mampu melakukan eksplorasi secara liar. 

Di Ne Zha 2, elemen budaya yang berasal dari cerita-cerita mitologi serta novel Investiture of the Gods karya Xu Zhonglin yang berasal dari abad 16, mampu begitu kreatif dieksplorasi oleh Jiaozi selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Ne Zha 2 merupakan film di mana salah satu karakternya memiliki senjata bernama "Cambuk Guntur Membelah Langit". Sama sekali tidak ada ketakutan untuk tampil hiperbolis dan melangkah sejauh mungkin dari realisme. 

Tengok juga visualisasi dunianya yang sungguh-sungguh mencerminkan dunia fantasi di luar batasan logika, selaku tempat para manusia hidup di tengah eksistensi dewa dan monster. Dunia yang Jiaozi bangun selalu memancarkan keajaiban di tiap sudutnya.  

Melanjutkan akhir film pertamanya, kali ini kita diajak mengikuti upaya Ne Zha menempuh ujian keabadian yang diadakan oleh sekte Chan di bawah pimpinan Wuliang. Tujuannya adalah mendapatkan pil untuk memperbaiki teratai suci kepunyaan Taiyi Zhenren yang hendak dipakai menyusun kembali tubuh Ne Zha dan Ao Bing yang hancur di akhir film sebelumnya. 

Di satu titik, Ne Zha yang tiba di istana megah milik Wuliang bersama Taiyi Zhenren, mendadak ingin buang air. Ne Zha tersesat, dan salah mengira guci penyimpanan minuman sebagai toilet. Air dalam guci tersebut kemudian diminum oleh Wuliang. Momen komedik tersebut bak wujud perlawanan filmnya, yang enggah sedikit pun menaruh hormat atas segala jenis pengultusan palsu. 

Sekte Chan yang dipandang sebagai figur suci nyatanya cuma sekumpulan individu arogan yang berlaku semena-mena, sedangkan nama-nama seperti Ne Zha atau Ao Guang si Raja Naga Laut Timur yang notabene adalah iblis justru lebih mementingkan cinta kasih biarpun perawakan mereka menyeramkan. Ada banyak situasi di Ne Zha 2 yang mendorong kita supaya tak "menilai buku dari sampulnya".

Gesekan dua pihak di atas menyulut terjadinya pertempuran epik penuh visual cantik nan megah di babak ketiga. Kuali raksasa yang bisa mengurung apa pun di hadapannya, ribuan pasukan yang berbaris begitu rapi hingga nampak seperti daun-daun di pepohonan, semuanya menampakkan pemandangan fantastis yang hanya bisa terwujud kala kreativitas dipertemukan dengan budaya. Jiaozi enggan memusingkan soal realisme. Sudah seharusnya pertempuran antara dewa dan iblis digambarkan secara megah nan serba berlebihan. 

Tapi Ne Zha 2 tak hanya parade pencapaian teknis, sebab ia pun memiliki banyak rasa. Humornya yang tampil konyol bukan sebatas amunisi hiburan, tapi cara untuk mendekatkan penonton dengan karakternya. Canda tawa yang kerap ia lontarkan membuat Ne Zha, yang begitu kuat hingga mampu merepotkan para dewa, terasa membumi. Sampai ketika filmnya tiba pada momen emosional antara Ne Zha dengan sang ibu, di situlah konflik ilahi dan humanis mencapai titik temunya. 

REVIEW - LOST IN THE STARS

Lost in the Stars bak film idaman penonton masa kini yang cenderung mengagungkan twist. Setiap pengungkapan fakta selalu diiringi kejutan, yang seiring waktu semakin melibatkan rencana-rencana kompleks nan absurd dari karakternya. Penggila twist bakal bergembira, sedangkan mereka yang mencari substansi mungkin akan garuk-garuk kepala. 

Di tengah liburan di sebuah resor di Asia Tenggara, pria asal Cina bernama He Fei (Zhu Yilong) melaporkan istrinya, Li Muzi, yang telah dua minggu hilang, namun tak mendapat respon memuaskan dari polisi. Sampai suatu pagi, He Fei mendapati seorang wanita (Janice Man) muncul dan mengaku sebagai Muzi. He Fei bersikeras wanita itu bukan istrinya, namun semua bukti berkata sebaliknya. 

Apakah He Fei jadi korban penipuan? Atau justru kondisi psikis yang terganggu membuat pernyataannya tak bisa dipercaya? Dibantu Chen Mai (Ni Ni) si pengacara tersohor yang selalu memenangkan kasus, He Fei berusaha mengungkap kebenaran sebelum visanya kedaluwarsa. 

Terdengar familiar? Wajar saja, sebab Lost in the Stars merupakan adaptasi naskah teater Trap for a Lonely Man karya Robert Thomas, yang sempat beberapa kali diangkat ke medium film, baik secara resmi (Vanishing Act) maupun tidak (Misteri Dilaila). Alfred Hitchcock sempat nyaris membuat versi layar lebarnya, namun urung dilakukan. 

Banyak pihak pun menyematkan status Hitchcockian bagi Lost in the Stars. Secara permukaan, sebutan itu tidak keliru mengingat alurnya mengandung beberapa elemen khas Hitchcockian (salah tuduh, misteri soal identitas, dll.). Tapi di ranah esensial film garapan duo sutradara Cui Rui dan Liu Xiang ini amat berbeda. 

Jika di tangan Hitchcock plot twist hanyalah satu dari sekian banyak amunisi pembangun intensitas, Lost in the Stars menjadikannya jualan utama. Seolah cerita bergulir, semata hanya sebagai jembatan antar twist, yang takkan terlalu sukar diraba arahnya oleh penonton dengan banyak referensi film misteri. 

Tidak perlu repot-repot melibatkan diri dalam misterinya. Cukup tunggu twist yang segera menyusul. Tidak perlu pula memikirkan logika milik barisan twist tersebut, yang semakin lama semakin diisi keabsurdan. Jika bersedia melakukan hal-hal di atas, niscaya kesan konyol filmnya bakal berubah jadi hiburan yang cukup menyenangkan. 

Lost in the Stars didesain sebagai hiburan over-the-top yang terasa "besar" di segala lini. Tidak hanya terkait twist. Di beberapa titik ia sempat menyelipkan kejar-kejaran mobil, yang sayangnya punya hasil setengah matang karena kerap berakhir prematur sekaligus mendadak. 

Setidaknya, meski tak seberapa sukses mengolah aksi, Cui Rui dan Liu Xiang mampu menjaga filmnya agar tak membosankan walau bergulir sampai 122 menit. Permainan temponya cepat, dinamis, tepat untuk membungkus gaya narasi Lost in the Stars yang mengandalkan twist. Visualnya juga memanjakan mata, khususnya berkat pemakaian The Starry Night sebagai motif visual, entah dengan memasangnya di beberapa properti, atau sebatas membuat warna biru dan kuning mendominasi layar. 

Jajaran pemainnya tampil sesuai kebutuhan, dari Zhu Yilong yang sanggup membuat penonton mempertanyakan kondisi psikisnya, hingga Ni Ni yang karismatik. Tidak spesial, tapi sekali lagi, sesuai kebutuhan. Begitu pula keseluruhan Lost in the Stars. Bukan Hitchcockian cerdas, namun sebagai "kompilasi kejutan" yang tak usah dipandang terlampau serius, ia tidaklah mengecewakan.

REVIEW - RIDE ON

Jackie Chan baru saja menginjak 69 tahun pada 7 April lalu, bertepatan dengan perilisan Ride On di Cina. Fisiknya masih prima untuk ukuran pria setua itu, tapi jelas tak lagi selincah dan segila dulu dalam beraksi. Cepat atau lambat bakal ada film yang dibuat selaku penghormataan bagi perjalanan karirnya. Ride On adalah film tersebut. 

Tapi karya terbaru sutradara Larry Yang ini bukan saja surat cinta untuk sang aktor laga. Sekali lagi, cepat atau lambat akan ada yang memberi penghormatan terhadap Jackie Chan, entah dari Larry Yang atau sineas lain. Sosoknya begitu melegenda sebagai bintang. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak tersorot cahaya ketenaran?

Di sini Jackie Chan memerankan Lau Luo, seorang stuntperson yang era keemasannya telah lewat seiring pertambahan usia. Dia pun memelihara seekor stunt horse bernama Red Hare. Luo menganggap Red Hare bak anak, di saat hubungannya dengan sang puteri kandung, Xiao Bao (Liu Haocun), merenggang. Bao merasa ayahnya terlalu menenggelamkan diri dalam profesi sehingga lalai meluangkan waktu baginya. 

Naskah yang turut ditulis oleh Yang masih melangkah di formula drama keluarga, juga cerita soal hubungan manusia-hewan. Jangan harap menemukan banyak modifikasi. Pengadeganan sang sutradara pun mengikuti pakem standar melodrama. Karakternya menangis di momen dramatis, diiringi musik mendayu-dayu, dan terkadang ditambah gerak lambat. 

Klise? Ya. Buruk? Belum tentu. Sebuah gaya menjadi klise karena dirasa efektif sehingga terus-terusan diterapkan. Dramatisasi Ride On memang serba berlebihan, namun tak jarang pendekatan itu ampuh membangun rasa. Larry Yang pun cukup jeli menjembatani emosi penonton dengan Red Hare. Mustahil bagi orang awam memahami apa yang si kuda pikirkan dan rasakan, tapi melalui ketepatan pilihan shot, penonton bisa dibuat meyakini bahwa Red Mare merupakan karakter yang utuh, lengkap dengan emosi layaknya karakter manusia. 

Jackie Chan dan Liou Haocun turut tampil apik. Terutama saat dua protagonisnya menonton rekaman aksi Luo sebagai stuntperson di masa jayanya, yang tersusun atas kompilasi adegan-adegan ikonik dari film-film Jackie Chan. Rasa haru yang dimunculkan Chan nampak nyata di situ. Mungkin ia sendiri ikut mengenang memori-memori dari karirnya yang telah berjalan lebih dari enam dekade. 

Sebagai drama keluarga, Ride On memang formulaik. Penuturannya juga terbata-bata. Alur kerap melompat dengan kasar, begitu pula transisi rasa. Misal saat Luo dan Bao baru saja berbagi momen hangat di sebuah makan malam, lalu mendadak bertengkar. Sebuah pertengkaran besar tanpa gradasi emosi memadai. Amarah Bao tiba-tiba memuncak, Luo pun tiba-tiba menjadi sosok ayah yang berengsek. 

Tapi sebagai surat cinta kepada stunt performer, baik manusia atau kuda, filmnya mampu menawarkan sudut pandang menarik. Luo adalah stuntperson dengan pola pikir konservatif. Baginya, semua aksi harus dilakukan secara sungguhan. Luka parah bahkan kelumpuhan adalah takdir yang mau tidak mau harus dihadapi. Sebuah risiko pekerjaan. 

Ride On tidak menyalahkan perspektif di atas. Biar bagaimanapun, efek praktikal termasuk keterlibatan stuntperson memang membuat suatu film tampil imersif. Karir Jackie Chan adalah bukti nyata. Tapi di sisi lain, teknologi modern seperti CGI jangan pula dimusuhi. Ketergantungan terhadapnya memang membahayakan bagi kualitas film, namun bantuan komputer juga berguna mengurangi risiko yang bisa membahayakan keselamatan stuntperson (atau hewan). 

Larry Yang menerapkan prinsip serupa saat mengarahkan film ini. Laga yang disuguhkan menggabungkan stunt tradisional dan CGI. Secara garis besar, baku hantamnya masih "sangat Jackie Chan", di mana segala benda dapat dijadikan senjata, sarat gerakan akrobatik, serta dibumbui komedi. Hasilnya tentu tidak semulus karya-karya terbaik Jackie Chan. Trik penyuntingan lebih banyak dipakai. Tapi ketimbang penurunan, saya lebih suka memandangnya sebagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Kita tetap berkesempatan melihat Jackie Chan beraksi, sedangkan sang aktor yang mulai dimakan usia tak lagi harus bertaruh nyawa (senada dengan pesan filmnya). 

Ride On meninggalkan setumpuk kekurangan, tapi minimal ia berhasil mengingatkan penonton akan eksistensi stuntperson yang kerap terlupakan. Mereka takkan kita temui di karya-karya "berkelas" buatan Tarkovsky, Ozu, atau Kiarostami, tapi mereka adalah bagian ekosistem sinema dengan peranan luar biasa. 

REVIEW - THE WANDERING EARTH 2

Jika The Wandering Earth (2019) tampil dengan durasi yang wajar bagi sebuah blockbuster (125 menit), maka The Wandering Earth 2 yang berstatus prekuel bergulir hampir tiga jam (173 menit), dengan tujuan menambah porsi drama kemanusiaan serta politik. Kuantitas ceritanya memang meningkat. Sangat meningkat, sampai naskahnya sendiri kesulitan memadatkannya mestki telah diberi durasi begitu panjang. 

Kisahnya mundur ke masa sebelum proyek Wandering Earth berjalan (masih bernama Moving Mountain), yang bertujuan membawa bumi berpindah ke sistem bintang Alpha Centauri karena ancaman matahari yang semakin mendekat. Liu Peiqiang (Wu Jing), protagonis dari film pertama, bergabung di proyek itu bersama para teknisi lain, termasuk Han Duoduo (Wang Zhi) yang kelak menjadi istrinya. 

Protes membanjiri pelaksanaan Moving Mountain, khususnya dari para pendukung Digital Life Project, yang alih-alih memindahkan bumi, memilih mengunggah kesadaran mereka agar dapat hidup abadi dalam wujud digital. Tu Hengyu (Andy Lau), ilmuwan yang dahulu bekerja di proyek tersebut sebelum ditutup pemerintah, kini bertugas membangun komputer kuantum bernama 550W untuk Moving Mountain. Di waktu luangnya, Tu secara berkala mengembangkan simulasi canggih untuk menghidupkan kembali puterinya secara digital. 

Rumit? Percayalah, beberapa deskripsi di atas baru segelintir dari segala intrik yang dipaparkan The Wandering Earth 2. Saya belum membahas soal serangan teroris, gesekan politis berbagai negara di mana Cina muncul sebagai "simbol kebenaran", hingga berbagai permasalahan bersifat teknis yang mempersulit jalannya proyek. 

Naskah yang dibuat sang sutradara, Frant Gwo, bersama Gong Ge'er, sesungguhnya sadar kalau ada begitu banyak konflik yang takkan cukup dituturkan dalam waktu tiga jam. Tapi alih-alih berusaha merampingkan, mereka justru memaksakan diri memadatkannya. Tempo dipercepat, eksposisi terus dilemparkan tanpa jeda, transisi antar kisah ditiadakan sehingga memunculkan lompatan kasar. Hasilnya membingungkan. Apa tujuan suatu misi? Dampak apa yang dibawa sebuah masalah? Apa peran si karakter? Jangan harap bisa memahami poin-poin penting itu secara menyeluruh. Pasti akan ada yang terlewatkan. 

Penyuntingannya pun buruk. Terasa betul didesain supaya menyingkat waktu. The Wandering Earth 2 tak ubahnya rekap. Ditambah beberapa teks plus hitung mundur mengenai peristiwa yang segera hadir, filmnya bak kaleidoskop yang mungkin ditonton oleh tokoh-tokohnya tiap tahun di televisi sebagai peringatan langkah bersejarah mereka. 

Padahal ada banyak kisah kemanusiaan potensial tersimpan di sana. Romansa Liu Peiqiang dan Han Duoduo yang kita tahu bakal berujung bittersweet, duka menyakitkan Tu Hengyu yang berhasil dihidupkan oleh penampilan kuat Andy Lau, juga elemen pengorbanan yang melanjutkan "tradisi" film pertamanya. Sewaktu berpusat di hal-hal tersebut, film ini menemukan hatinya. Saya tersentuh menyaksikan pengorbanan para generasi tua bagi generasi muda penerus masa depan dunia dalam klimaksnya. 

Tapi kalau kalian datang bukan demi cerita, melainkan parade efek spesial megah, The Wandering Earth 2 yang menampilkan beragam teknologi canggih (lift luar angkasa sepanjang 90 ribu km jadi contoh kreativitas naskahnya mengolah teknologi) bakal memuaskan. Visualnya luar biasa. Bukan semata karena kualitas CGI yang meningkat dibanding pendahulunya, tapi selaku sutradara, Frant Gwo juga memiliki insting visual kuat. Gwo adalah jagonya menciptakan panorama epik, baik yang memperlihatkan keindahan maupun kehancuran. Lihat bagaimana ia "menangani" bulan di babak ketiga, atau sekuen serbuan drone penuh kekacauan masif di paruh awal, yang bahkan bisa membuat seorang Michael Bay sekalipun merasa iri.  

Tentu The Wandering Earth bakal terus berlanjut. Pendapatannya masih menghasilkan untung besar, dan dari sisi penceritaan pun rasanya tanggung jika kita tak berkesempatan melihat umat manusia mencapai Alpha Centauri. Tinggal bagaimana Gwo dan tim menyeimbangkan spektakel epik dengan penceritaan intim mengenai kemanusiaan dan kehidupan. Biarpun kalau menilik pilihan konklusi film ini, kelak narasinya cenderung mengarah pada keabsurdan kompleks fiksi ilmiah, yang bahkan sulit ditangani oleh kapasitas penulisan mereka.

REVIEW - DETECTIVE CHINATOWN 3

"Such a grand opening!", seru Tang Ren (Wang Baoqiang), merujuk pada perkelahian di bandara, yang membuka Detective Chinatown 3 dengan kerusuhan menyenangkan berlatar lagu Welcome to Tokyo milik J Soul Brothers. Tapi mendengarnya sekarang, tepatnya hampir dua minggu selepas filmnya tayang perdana di Cina, kalimat tersebut turut mengingatkan pada keberhasilan film ini memecahkan rekor Avengers: Endgame, untuk "The biggest opening weekends in a single territory". Jaraknya tidak main-main. Sekitar $67 juta. Such a grand opening indeed. 

Setelah Bangkok dan New York di dua film pertama, kini giliran Tokyo yang disambangi oleh Qin Feng (Liu Haoran) dan Tang Ren (rencananya film keempat bakal bertempat di London). Mereka datang atas undangan Hiroshi Noda (Satoshi Tsumabuki), rival sekaligus rekan Qin Feng. Tentunya bukan undangan berwisata, melainkan memecahkan sebuah kasus pembunuhan. Watanabe (Tomokazu Miura) telah dituduh membunuh sesama bos mafia, Su Chaiwit (Hirayama Motokazu), kala keduanya bertemu untuk merundingkan kerja sama sekaligus gencatan senjata. 

Ketika para saksi memasuki TKP karena mendengar suara teriakan, selain mayat korban, hanya ada Watanabe yang memegang senjata pembunuhan. Pun cuma terdapat satu jalan untuk keluar dan masuk, yang mana dijaga ketat. Artinya, jika Watanabe bukan pelaku sesungguhnya, maka telah terjadi pembunuhan di ruang tertutup. Ketiga detektif kita pun melintasi berbagai area di Tokyo guna mencari petunjuk. Jelas tidak mudah. Kerap mengganggu jalannya penyelidikan adalah Tanaka Noki (Tadanobu Asano) si polisi ternama, juga Jack Jaa (Tony Jaa), anak buah Su Chaiwit sekaligus sesama detektif papan atas di aplikasi Crimaster, serupa Qin Feng dan Noda. 

Seperti biasa, jangan mengharapkan investigasi cerdas dalam seri Detective Chinatown. Naskahnya memperlakukan penyelidikan para detektif sebagai alat untuk terus menggerakkan petualangannya. Tidak ada petunjuk yang disebar agar penonton bisa turut serta memutar otak. Semua muncul secara acak dan mendadak, yang bahkan membuat installment pertamanya bak "film detektif sungguhan". Cukup duduk manis, ikuti arus, pasrah saja ke mana pun petualangan berskala besar penuh kerusuhan ini bakal membawa kita.

Kalau bisa melakukan itu, Detective Chinatown 3 bakal jadi hiburan menyenangkan. Sutradara Chen Sicheng yang menggerakkan filmnya dengan tenaga tinggi pun cukup berhasil memanfaatkan kehadiran Tony Jaa, baik selaku aktor laga seperti bisa melalui beberapa baku hantam solid, maupun selaku aktor komedi, yang merupakan pengalaman perdananya. Kapan lagi anda melihat seorang Tony Jaa ber-cosplay sebagai Maruko dari Chibi Maruko-chan

Chen masih mempertahankan kombinasi slapstick dan humor situasi absurd sebagai senjata mengocok perut penonton. Puncak kelucuannya tentu sekuen "kamar mayat", yang merupakan pengembangan dari sekuen "petak umpet" dari film pertama. Sementara Wang Baoqiang tampil tidak semenyebalkan sebelumnya (bagi beberapa penonton, mungkin malah perangai itulah elemen paling menghibur dari seri Detective Chinatown). Masih kerap melontarkan selorohan bodoh, namun dalam kadar normal. 

Selama 136 menit, terasa betul ambisi Chen untuk membuat karyanya ini sebesar mungkin. Skala produksinya tidak jauh dari blockbuster Hollywood, pun kemunculan tokoh-tokoh dari serialnya (bisa ditonton di iQiyi) merupakan perwujudan mimpi Chen membangun dunia layaknya MCU. Sayangnya, karena ambisi itu pula Chen merasa perlu menambah kuantitas elemen melodrama yang membuat babak ketiganya berlangsung berlarut-larut, sehingga kehilangan intensitas. Belum lagi momen cringey tatkala lagu Heal the World mengiringi festival kembang api di penghujung durasi. Chen perlu memperbaiki metode dramatisasinya. Setidaknya cameo seorang bintang besar di ending sebagai "the real big bad guy", membangkitkan ketertarikan saya menanti kelanjutan ambisi sang sineas.

REVIEW - DOUBLE WORLD

Belum sempat mengecek materi-materi promosi maupun ulasannya, saya pikir, Double World— selaku adaptasi permainan MMORPG berjudul sama —merupakan film perang berlatarkan kerajaan Cina masa lampau biasa. Sampai sekuen aksi pembukanya menampilkan gore, monster, juga desain set yang nampak sedikit lebih modern. Menarik! Daya tarik yang sayangnya perlahan memudar seiring eksekusi yang gagal memenuhi potensi.

Kisahnya mengambil latar negeri fiktif bernama Zhao Selatan, yang sejak lama bersitegang dengan Yu Utara. Selepas upaya pembunuhan terhadap Raja Zhao Selatan oleh mata-mata Yu Utara, Grand Tutor Guan (Hu Ming) berencana menyelenggarakan turnamen beladiri guna mengumpulkan para petarung-petarung terhebat dari seantero negeri. Tujuannya? Mempersiapkan Zhao Selatan menghadapi perang. Tapi Guan diam-diam punya niatan lain.

Tiap klan di Zhao Selatan diperintahkan mengirim tiga wakil. Protagonis kita, Dong Yilong (Henry Lau), yang terkenal sering bikin onar dan dipanggil “Berandal” oleh warga, secara mengejutkan menyatakan keinginan ikut serta. Yilong berharap dapat mengetahui asal-usulnya (sang ibu meninggal setelah melahirkannya, sang ayah tak diketahui identitasnya). Walau kerap memancing keributan, sejatinya Yilong anak baik. Lebih tepatnya naif. Kelak di turnamen, dia menolak membunuh lawan, bahkan bersedia menolong The Beast King, sesosok ular raksasa buas yang kepalanya terus mengalirkan darah akibat helm perang yang ditancapkan paksa oleh prajurit Zhao Selatan, guna membuatnya terlihat makin mengerikan di tengah medan perang.  

Bergabung bersama Yilong adalah Chu Hun (Peter Ho), desertir yang menyimpan hasrat balas dendam pada Guan, juga gadis bernama Jingang (Lin Chenhan), yang punya kemampuan beladiri tinggi meski masih remaja. Double World menjanjikan turnamen mematikan yang diikuti puluhan jagoan. Turnamen itu sendiri, yang dibagi menjadi tiga babak, baru dimulai setelah 40 menit. Pada babak pertama, tiap anggota tim diikat satu sama lain, kemudian adu kecepatan meniti di atas rantai, sembari menghindari batu-batu besar. Jatuh berarti mati, karena di bawah, paku-paku besi telah menanti.

Set piece menarik, namun bukan penebusan yang setara untuk penantian 40 menit karena bergulir terlalu singkat, pula dibungkus koreografi medioker. Keluhan serupa layak disematkan bagi babak-babak berikutnya. Sementara begitu terjun ke pertempuran, para jagoan yang tampak memiliki kemampuan beragam itu hanya hadir untuk mati. Jeda antara aksi yang lumayan lama, dijembatani oleh cerita setengah matang dari naskah garapan Fendou Liu dan Ning Wen. Subplot balas dendamnya miskin emosi akibat penokohan tipis, sementara pembangunan mitologi dunianya, yang menyertakan elemen fantasi, konsep “double world”, serta rahasia terkait jati diri Dong Yilong, rupanya sebatas tempelan belaka? Disimpan untuk sekuel mungkin?

Ada pula subplot balas dendam lain, kali ini melibatkan budak asal Yu Utara (Luxia Jiang) yang berhasrat membunuh Chu Hun. Apa esensi cabang cerita ini? Alat menyadarkan Chu Hun agar tak hidup dipenuhi dendam? Tidak juga, sebab akhirnya sang desertir tetap menuntaskan misi tersebut. Si budak (saya lupa namanya) sempat menghilang, sebelum mendadak muncul di klimaks, sebelum kemudian tewas. Coba jawab pertanyaan saya: Bisakah kalian menemukan karakter wanita yang tak berujung meregang nyawa atau bernasib tragis di film ini?

Setidaknya departemen akting cukup membantu. Henry makin matang sebagai aktor lewat penampilan solid sebagai pemuda naif yang dipaksa menatap kekejaman dunia. Lin Chenhan tak kalah apik. Berkatnya, Double World terasa lebih playful. Sedangkan cast lain sekadar menjalankan pekerjaan mereka, sama halnya dengan sang sutradara, Teddy Chan.

Teddy begitu menggantungkan nasib pada CGI, yang mayoritas berfungsi menghidupkan unsur fantasi, yang walau (sedikit) menambah warna melalui monster-monster seperti kalajengking raksasa, ular raksasa, dan lain-lain, tampil kurang maksimal akibat inkonsistensi kualitas CGI. Tatkala sesaat beralih dari efek komputer, aksi baku hantamnya juga jauh dari kesan impresif. Beberapa gore yang menambah tingkat kebrutalan pertarungan nyatanya tak sanggup menolong, sebab sekali lagi, Teddy cuma menjalankan pekerjaan. Sulit dipercaya kalau film ini ditangani oleh sineas di balik Bodyguards and Assassins (2009) dan Kung Fu Jungle (2014).


Available on NETFLIX

ENTER THE FAT DRAGON (2020)

Setelah kesuksesan Ip Man 4: The Finale baik secara komersial maupun critical, Donnie Yen kembali dengan Enter the Fat Dragon, selaku remake film Sammo Hung rilisan tahun 1978, walau sebenarnya kedua film ini sekadar berbagi judul tanpa memiliki kesamaan plot. Kalau Sammo Hung memerankan peternak babi pengagum Bruce Lee, maka Donnie Yen adalah Fallon Zhu, polisi Hong Kong jago bela diri yang badannya menggemuk selepas ditinggalkan tunangannya dan dimutasi akibat kerap merusak fasilitas umum tiap mengejar penjahat.

Jackass of the century”. Demikian julukan yang disematkan kepada Fallon. Kontrol dirinya kala beraksi memang buruk, dan karena itu, dalam satu hari ia kehilangan segalanya. Setelah menggagalkan aksi perampokan yang berujung kehancuran di mana-mana, Fallon dipindahkan ke departemen penyimpanan barang bukti. Bukan itu saja, dia pun ditinggalkan oleh tunangannya, Chloe (Niki Chow), akibat telat menghadiri sesi pemotretan pre-wedding. Chloe merasa selalu dinomorduakan, pun menganggap Fallon kurang mendukung karirnya sebagai aktris yang kerap menuai kritikan karena akting buruknya.

Kini hanya duduk seharian di balik meja, Fallon pun menenggelamkan diri dalam makanan sehingga berat badannya melonjak dua kali lipat hingga melebihi 100 kg. Kesempatan untuk mengembalikan hidupnya seperti sedia kala datang sewaktu Fallon ditugaskan ke Jepang guna mengawal seorang tahanan. Misi sederhana itu berubah runyam karena keterlibatan geng Yakuza, yang secara kebetulan sedang menyewa jasa Chloe di sebuah acara.

Ditulis naskahnya oleh Wong Jing—sutradara produktif yang telah menggarap sekitar 115 judul—yang turut mengarahkan filmnya bersama Kenji Tanigaki, Enter the Fat Dragon sedikit menaburkan gaya mo lei tau (bentuk komedi yang dipopulerkan Stephen Chow pada 90-an) dalam humornya yang mengandalkan slapstick, terutama di paruh awal, misalnya saat dua reporter televisi mendadak menyiarkan secara langsung perkelahian Fallon melawan para perampok bank. Kadarnya tidak begitu kental, tapi jejaknya jelas kentara, apalagi melihat keterlibatan Sandra Ng, salah satu aktris yang identik dengan mo lei tau.

Teknik melucu itu bukan diperuntukkan bagi semua orang khususnya penonton modern (salah satu alasan mengapa Chow sendiri mulai meninggalkannya). Wong Jing kentara berusaha membatasi kadarnya, yang justru mengakibatkan kesan setengah-setengah, sebelum akhirnya total beralih ke slapstick monoton yang penghantarannya enggan memedulikan timing, seolah asal terjang dengan deretan punchline lemah. Hasilnya hit-and-miss, dengan persentase meleset lebih tinggi. Lain cerita saat Wong Jing lebih memeras absurditas kreatifnya. Di situ, humornya efektif, semisal kala ia memparodikan beberapa adegan ikonik dalam film-film aksi Donnie Yen.

Tapi kelemahan terbesar Enter the Fat Dragon adalah kegagalan menangkap poin utama film aslinya. Menampilkan Donnie Yen dalam balutan fat suit, ketanggulan, kelincahan, dan kelenturan Fallon saat berkelahi tidak ada bedanya dibanding ketika masih prima. Pada versi 1978, menarik melihat Sammo Hung mengejutkan orang-orang yang meremehkannya sewaktu menghajar lawan-lawannya meski tubuhnya gemuk. Sedangkan di sini, sejak awal kita sudah mengetahui kehebatan Fallon, yang tak terkikis sama sekali begitu ia menjadi gemuk. Hal ini menghilangkan elemen kejutan dan humor yang semestinya timbul, padahal sang aktor sudah berusaha semaksimal mungkin bertingkah konyol.

Paling tidak, seperti biasa menyaksikan Donnie Yen beraksi merupakan hiburan tersendiri. Asumsi saya, Wong Jing bertugas menangani aspek komedi, sedangkan aksi diserahkan kepada Kenji Tanigaki yang pernah terlibat sebagai stunt di film-film Hollywood seperti Mortal Kombat: Annihilation (1997) dan Blade II (2002). Kenji menggabungkan teknik bertarung raw milik Donnie Yen dengan spectacle berbumbu slapstick ala Jackie Chan, dibungkus koreografi serta gerak kamera yang cukup dinamis.

Puncaknya adalah klimaks seru di Menara Tokyo, yang makin memuaskan berkat ikut sertanya Chloe, sebab pada film aksi, tidak ada cara yang lebih baik untuk menyatukan sepasang kekasih dibandingkan membuat mereka menyatukan kekuatan dalam baku hantam. Apalagi sepanjang durasi, Niki Chow sudah berhasil menjadi salah satu penampil paling mencuri perhatian lewat kelucuannya. Selalu menyenangkan melihat seorang aktris cantik yang berani melakoni adegan-adegan memalukan demi memunculkan efek komedik. Sayang, di samping menit-menit awal dan akhir, Enter the Fat Dragon tak lebih dari tontonan monoton yang menyia-nyiakan potensinya.

IP MAN 4: THE FINALE (2019)

Sejak film perdananya pada 2008 lalu hingga Ip Man 4: The Finale selaku penutup, Ip Man (Donnie Yen) bak manusia sempurna. Tidak terkalahkan dalam pertarungan, berhati mulia, sosoknya pun mendekati deus ex machina yang kehadirannya bagai jaminan terselesaikannya masalah apa saja. Tapi dalam film seri garapan Wilson Yip ini, elemen yang biasanya dianggap kekurangan tersebut malah disulap jadi keunggulan. Ip Man adalah jagoan yang mampu membuat penonton berdiri di belakangnya, sebab perjuangannya selalu didasari kepedulian, baik kepada orang-orang terdekat yang ia cintai maupun para korban ketidakadilan.

Semenjak kematian sang istri yang selalu jadi alasan perjuangannya, Ip Man didiagnosis menderita kanker tenggorokan. Di tengah keterbatasan waktunya, Ip masih harus mengurusi putera keduanya, Ip Ching (Ye He), yang memberontak, dikeluarkan dari sekolah, dan melawan segala perintah sang ayah. Dia menolak bersekolah, ingin total menekuni martial arts. Ip Man menentang itu, lalu memilih mencarikan sekolah baru di San Francisco, Amerika Serikat, dengan bantuan Bruce Lee (Danny Chan), muridnya yang mempopulerkan Wing Chun di sana.

Sejak menampilkan Mike Tyson di Ip Man 3, kita tahu seri ini sudah semakin gamblang menanggalkan sampul biografi untuk berkonsentrasi menyajikan laga-laga bela diri segila mungkin. Pola itu dilanjutkan, di mana film keempatnya bahkan berani menyentuh ranah fan service guna memuaskan ekspektasi penonton, dengan memberi porsi lebih besar kepada Bruce Lee. Danny Chan mampu mereproduksi berbagai ciri sang legenda, mulai dari arogansi, teriakan khas, hingga gestur sewaktu beradu jurus, termasuk one inch punch yang terlihat meyakinkan.

Ditulis naskahnya oleh empat nama, termasuk Edmond Wong dan Tai-lee Chan yang terlibat sejak film perdana, Ip Man 4: The Finale sejatinya memiliki alur sarat simplifikasi, bahkan cenderung konyol yang mengingatkan akan film-film kelas b. Agar puteranya bisa bersekolah di San Francisco, Ip mesti mendapat surat rekomendasi dari ketua Chinese Consolidated Benevolent Association (CCBA), Wan Zong Hua (Wu Yue). Wan bersedia, dengan syarat Ip bisa membuat Bruce menutup sekolah Wing Chun yang ia dirikan. Menurut Wan dan anggota CCBA lain, tidak seharusnya Bruce mengajarkan seni bela diri Cina kepada orang Amerika yang telah berlaku rasis terhadap mereka.

Menyusul berikutnya adalah rangkaian konflik yang melibatkan masalah puteri Wan, Yonah (Vanda Margraf), di sekolah, yang memicu perseteruan CCBA dengan pihak imigrasi, sampai usaha Hartman Wu (Vanness Wu), anggota marinir sekaligus murid Bruce Lee, menerapkan Wing Chun sebagai kurikulum pelatihan yang memancing perselisihan dengan Barton Geddes (Scott Adkins), atasannya yang rasis.

Seluruh elemen di atas nantinya saling bersinggungan secara begitu menggelikan. Fokus naskahnya cuma mempertemukan satu petarung dengan petarung lain, melupakan benih masalah rumit seputar rasisme yang ditabur di awal. Masyarakat Amerika memang merendahkan masyarakat Cina, namun bukankah sakit hati Wan dan kawan-kawan berujung melahirkan sikap serupa, termasuk saat melarang Bruce mengajarkan Wing Chun? Tiada resolusi pasti atas hal ini, meski Ip Man 4: The Finale jelas menggambarkan masyarakat Cina lebih terhormat ketimbang Amerika.

Di satu titik, tangan kiri Ip mengalami cedera. Mengetahui itu, di tengah pertarungan keduanya, Wan memilih hanya memakai satu tangan. Sebaliknya, Barton malah sengaja mengeksploitasi kelemahan tersebut. Apalagi jajaran aktor Baratnya memberikan performa menyedihkan layaknya pemain-pemain amatir dalam film-film pelajar. Hanya Scott Adkins yang sanggup meninggalkan kesan. Bukan lewat aktingnya tentu saja, melainkan fisik prima serta kemampuan bela diri luar biasa, yang menjadikan Barton salah satu musuh paling berbahaya di franchise ini, yang bisa membuat si master Wing Chun berdarah-darah.

Lain cerita kalau membicarakan adegan laga. Wilson Yip sudah khatam urusan mengkreasi baku hantam over-the-top beroktan tinggi yang mampu menangkap keseluruhan detail koreografi. Bahkan aksi saling dorong meja kaca bundar saja menciptakan pemandangan menegangkan. Saya dibuat menahan napas menyaksikannya, apalagi ketika musik bombastis gubahan Kenji Kawai yang telah menduduki posisi composer sejak film pertama, memperkuat intensitas masing-masing adegan, ditambah lagi efek suara pukulan dan tendangan yang membuat dampak dari tiap serangan terasa nyata.

Ip Man 4: The Finale merupakan perpisahan yang layak terhadap peran paling ikonik Donnie Yen, yang berbekal kharisma luar biasa, dapat memancing gemuruh seisi studio hanya dengan menampakkan diri di tengah medan pertempuran. Yen tidak pernah kehilangan wibawa, sekalipun saat menerima pukulan. Satu kelebihan Donnie Yen yang jarang dimiliki aktor laga lain adalah aura hangat dan kelembutan yang menjadikan sosok Ip Man bukan hanya soal otot, tapi juga hati.

FALL IN LOVE AT FIRST KISS (2019)

Lupakan “Jatuh cinta pada pandangan pertama”. Seperti sudah kita tahu dari judulnya, tokoh utama kita, Yuan Xiang Qin (Yun Lin alias Jelly Lin), jatuh cinta pada ciuman pertama, yang sebenarnya terjadi tidak sengaja. Di hari pertama sekolah, ia dan Jiang Zhi Shu (Talu Wang) bertabrakan. Zhi Shu menangkap Xiang Qin, menariknya agar tak terjatuh, lalu bibir mereka bertemu. Secepat dan semudah itu. Tapi tidak demikian dengan jalan yang Xiang Qin tempuh agar hati keduanya bisa bertemu.

Sebab mereka amat berseberangan. Xiang Qin tergabung dalam kelas F yang berisi murid-murid biang onar bernilai jeblok di mana membersihkan sarang lebah jadi rutinitas sehari-hari, sedangkan Zhi Shu adalah jenius dengan IQ 200 yang bahkan tampak menonjol di antara siswa-siswi kelas A. Ketika Zhi Shu berasal dari keluarga kaya pemilik perusahaan ternama, wajah Xiang Qin menghiasi berita televisi setelah rumah reyotnya roboh.

Begitu tergila-gila, Xiang Qin mengoleksi semua benda yang memajang wajah Zhi Shu. Kegilaan itu bukan menjangkit ia seorang. Seluruh siswi di sekolah bersikap serupa, semakin mengecilkan peluangnya merebut hati si pria idaman. Hingga suatu hari, kawan lama sang ayah mengajak mereka tinggal di rumahnya sampai semua masalah selesai. Bisa ditebak, kawan lama tersebut adalah ayah Zhi Shu. Ya, keduanya kini tinggal satu atap.

Fall in Love at First Kiss bukan romansa di mana karakter utamanya terpikat pada lawan jenis populer, hanya untuk akhirnya menyadari, sosok yang tulus mencintainya (dan juga ia cintai) adalah seorang biasa yang selalu ada di dekatnya. Seorang murid dari kelas F (Kenji Chen) selalu mengejar Xiang Qin, tapi elemen itu hanya berperan menambah kadar humor. Fall in Love at First Kiss adalah sepenuhnya cerita mengenai kepercayaan diri, berusaha keras mendapatkan cinta meski ditentang seluruh dunia.

Mungkin beberapa pihak bakal berpendapat kandungan kisah film ini merupakan kemunduran representasi terhadap  wanita di layar lebar. Tapi anggapan itu terasa seperti sebuah penggambangan. Sebab apa yang Xiang Qin lakukan adalah mengejar impian, dan tidak masalah bila mimpi itu berbentuk cinta kepada lawan jenis. Lagipula dia tak sampai menyia-nyiakan hidup lalu berakhir sebagai budak cinta tanpa nyawa. Xiang Qin bahkan termotivasi memperbaiki diri, belajar keras demi meningkatkan nilai ujian, hingga akhirnya meraih pekerjaan yang diinginkan.

Masalah sebenarnya dari film ini justru dipicu perilaku Zhi Shu. Dia merupakan pria dingin yang enggan menunjukkan perasaan sesungguhnya, sehingga tak jarang ia tampak seolah begitu membenci Xiang Qin. Tapi perbuatannya seringkali terlalu kejam, sampai mengancam peluang tercurahnya dukungan penonton bagi cinta mereka. Untunglah ada Yun Lin lewat kepiawaian menampilkan keluguan dan kekonyolan (wajar, mengingat ia mengawali karir lewat The Mermaid-nya Stephen Chow), menjadikan Xiang Qin karakter likeable. Cuma penonton tanpa hati yang berharap Xiang Qin gagal, apalagi setelah melihat tangisan sang gadis.

Karena hanya melihat poster tanpa menyaksikan trailer, saya terkejut mendapati fakta bahwa Fall in Love at First Kiss rupanya sebuah komedi absurd. Penggambaran situasi sekolah serta penokohan mayoritas karakternya dikemas amat komikal. Pemilihan gaya itu dapat dipahami, sebab filmnya sendiri merupakan adaptasi manga Itazura na Kiss karya mendiang Kaoru Tada, yang sebelumnya sudah menjadi materi adaptasi bagi 8 judul serial televisi dari 4 negara (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand), 25 episode anime, dan 3 film layar lebar. Wajar saat sutradara Yu Shan Chen (Our Times) ingin mempertahankan gaya tersebut, termasuk visual penuh warna cerah yang memanjakan mata.

Tidak semua humornya bekerja efektif, karena duo penulis naskahnya, Chi-Jou Huang dan Yung-Ting Tseng (Our Times), memilih mengedepankan kuantitas ketimbang kualitas, mendorong saya berharap filmnya mau beristirahat sejenak dalam upayanya memancing tawa dan menambah fokus di paparan drama untuk membangun rasa. Menekan kadar humor bukan saja berguna memberi penonton waktu mengambil napas, pula memberi alurnya ruang  mempresentasikan kebersamaan dua tokoh utama.

Akhirnya tersisa setumpuk aspek yang berpeluang menyetir emosi namun urung terjadi akibat minimnya eksplorasi. Contohnya saat ibu Zhi Shu (Christy Chung) berkata bahwa setelah kehadiran Xiang Qin di rumah, puteranya mulai berubah. Perubahan yang tak pernah benar-benar penonton saksikan (ingat, konteks pernyataan sang ibu adalah Zhi Shu di rumah, bukan di luar). Pun Fall in Love at First Kiss tak mampu total memaksimalkan ide menempatkan dua tokoh utama di satu rumah tatkala interaksi keduanya di sana terhitung minim.

Tapi seiring waktu bergulir, filmnya mulai membayar lunas hal-hal yang terbuang percuma. Akhirnya kita disuguhi beberapa interaksi Xiang Qin dan Zhi Shu. Hadir sedikit terlambat, namun efeknya tidak main-main. Berkebalikan dengan humornya, momen romantis dua protagonis memang rendah soal kuantitas, tapi berkualitas tinggi berkat sensibilitas sang sutradara memainkan suasana sarat asmara. Puncaknya adalah 5-10 menit terakhir yang membuat kelemahan filmnya (juga kesalahan Zhi Shu) termaafkan sekaligus mampu melelehkan hati.

MONSTER HUNT 2 (2018)


Suatu ketika pacar saya pernah berkata bahwa ibunya suka menonton film di bioskop, tapi hanya sebagai media hiburan. “Yang penting gambarnya enak dilihat”, sebutnya. Saya percaya itu bukan cuma mewakili penonton dari kalangan ibu-ibu, tapi secara umum. Beramai-ramai, entah bersama kawan atau keluarga, mereka datang mencari eskapisme. Kebanyakan enggan melihat pemandangan sehari-hari di layar. Mereka ingin dihibur, tertawa, terpana, dan kalau bisa, sedikit disentuh perasaannya. Blockbuster Cina belakangan makin ahli melakukan itu sehingga menghasilkan iklim industri yang makin positif.

Monster Hunt 2, selaku sekuel film terlaris keempat sepanjang masa di Cina, sanggup melakukannya. Hebatnya, pencapaian tersebut berlaku ke semua umur. Penonton dewasa akan menyukai tingkah konyol tokoh-tokohnya, Wuba yang menggemaskan, juga tata artistik megah dari penataan setting hingga kostum, sementara anak tentu menyukai pertarungan monster-monster berpenampilan bagai karakter kartun. Monster Hunt 2 memang memposisikan diri sebagai tontonan keluarga. An entertaining one.
Tidak ada usaha untuk menjadi suguhan cerdas dalam naskah buatan Jack Ng, Sunny Chan, dan Su Liang. Bahkan cenderung memaksa untuk melanjutkan kisah yang telah ditutup manis. Bila film pertamanya ditutup saat Song Tianyin (Jing Boran) dan Huo Xiaolan (Bai Baihe) merelakan anak monster mereka, Wuba, tinggal di dunia monster, maka kali ini keduanya menyadari bahwa hidup terpisah dengan keluarga bukan hal terbaik bagi Wuba. Dua cerita terpisah yang merupakan satu rangkaian proses dan sejatinya dapat dirangkum dalam satu film.

Seperti Wuba yang sulit diam dan berlarian semaunya tak tentu arah, alurnya bergerak cepat hanya guna melayani satu aksi menuju aksi berikutnya, melompat dari kekacauan satu ke kekacauan lain, tanpa tertarik memaparkan narasi runtut yang solid. Namun seperti Wuba pula, alurnya memang hanya ingin bersenang-senang. Pertemuan Wuba dengan Tu Sigu (Tony Leung), seorang penjudi dan penipu beserta asistennya, monster tambun bernama BenBen, membuka gerbang petualangan menyenangkan tersebut.
Bersama Tu Sigu lah kita bertemu Zhu Jinzhen (Li Yuchun) dengan metode hukuman uniknya, kegaduhan di kasino, pula kekonyolan sebuah pertunjukan sulap. Kata kuncinya adalah “imajinatif”. Monster Hunt 2 berbeda dengan suguhan Hollywood yang kerap mengasosiasikan hiburan ringan dengan minimnya kreativitas. Karena bukan “film serius”, Monster Hunt 2 bebas bermain-main dan bereksplorasi tanpa peduli logika, menghasilkan bumbu komedi yang tidak berhenti di tataran slapstick, hingga beragam cara terkait eksekusi aksi, termasuk dalam klimaks yang enggan asal besar. Walau ada satu momen di klimaks yang mungkin terlampau mengerikan, bahkan bagi orang dewasa sekalipun.

CGI para monster jelas belum setingkat Hollywood, dan meski penokohannya tidak kompleks, sosok-sosok seperti Wuba yang menggemaskan dan BenBen yang lembut mampu merebut hati penonton. Untuk karakter manusia, Bai Baihe mengasyikkan disimak, tetapi Tony Leung  paling menyedot atensi tiap kali  Tu Sigu mengisi layar. Dia lancar menangani porsi komedi juga (tentu saja) drama. Tu Sigu menjadi tokoh terbaik, sebab ia paling banyak mengalami proses dibanding karakter lain di sini, hingga akhirnya bertransformasi. Andai franchise Monster Hunt hendak bergerak ke haluan berbeda, Leung jelas lebih dari cukup mengisi slot protagonis utama.

HAUNTED HOTEL (2017)


Pengalaman menonton paling menyenangkan adalah ketika mendapati sebuah film yang jauh melampaui ekspektasi. Rasanya seperti menemukan berlian terpendam. Kalimat tersebut bukan saya tujukan bagi Haunted House, walau seperti apa pun ekspektasi anda pasti akan dimentahkan oleh produksi bersama Cina-Thailand-Malaysia ini. Bahkan film yang dirilis dengan judul Haunted Road 2 di Cina ini sejatinya tak bercerita mengenai hotel berhantu. Tapi itu bagian twist-nya (oops!). Sebelum sampai ke sana, teror horor formulaik meski kita lewati terlebih dahulu.

Bai Ling (Aom Sushar) dan Wei Jun (Li Chuan) tengah berlibur ke Genting Highland, Malaysia. Selepas menang besar di casino, mereka menginap di Amber Court yang terkenal sebagai salah satu hotel angker di Asia. Tidak butuh waktu lama hingga teror menghampiri keduanya, tepatnya sejak menit pertama tatkala Bai Ling telah melihat bayangan hitam. Berikutnya giliran mimpi buruk bertingkat, pantulan mengerikan di cermin, karakter yang nekat menghampiri sosok misterius meski kita tahu pasti itu adalah hantu, menyusul satu demi satu. Silahkan buat checklist keklisean horor untuk film ini. Pasti semuanya terpenuhi.
Tapi masalah terbesar Haunted House tidak berhenti pada soal keklisean (yang mana bisa dimaafkan asal efektif). Filmnya bergerak mengikuti pakem, namun eksekusi sutradara Ryon Lee ada di bawah standar pakem tersebut.  Jump scare yang praktis mendominasi paruh pertama misanya, dikemas lewat timing seenaknya plus gempuran musik asal berisik tidak pada tempatnya. Kadang terlambat masuk, kadang terlalu cepat, kadang tepat tetapi dalam volume super kencang yang menyebalkan. Momen paling mengerikan malah terjadi saat hantu nenek dan cucunya masuk ke lift. Sosok mereka kabur, di luar fokus kamera, pun tanpa iringan musik berlebihan. Atmosferik.
Untunglah Bai Ling dan Wei Jun masih punya akal sehat. Keduanya memilih kabur dari hotel. Usaha itu tak berjalan mulus, sebab sudah pasti GPS tidak bekerja, sinyal telepon genggam hilang, dan bensin mobil habis. Inilah akhir fase pertama. Selanjutnya muncul twist yang membelokkan arah Haunted Hotel, menyuntikkan sedikit daya tarik melalui sentuhan misteri pasca setengah awal perjalanan yang cuma diisi jump scare tanpa plot. Menarik, sampai tiba waktunya misteri itu terjawab.

Memasuki babak akhir, tiba-tiba saya teringat pesugihan. Tidak, tidak ada plot sampingan mengenai mencari kekayaan lewat pemujaan makhluk gaib. Pesugihan adalah jalan pintas menimbun harta dengan memanfaatkan cara mistis. Sedangkan di film, aspek mistis (dan gangguan psikis yang memancing halusinasi) juga menjadi jalan pintas guna menampilkan keanehan-keanehan tanpa perlu repot-repot memikirkan penjelasan masuk akal. Banyak orang gemar menonton horor bersama-sama karena seru. Haunted Hotel niscaya memancing keseruan serupa. Setidaknya anda dan teman-teman akan menertawakan kebodohannya. Tawa yang akan bertahan seusai film, namun makin jauh dari bioskop, tawa itu perlahan jadi senyum miris mengingat uang yang terbuang. Penyesalan memang hadir belakangan. Ya, seperti pesugihan.

JOURNEY TO THE WEST: THE DEMONS STRIKE BACK (2017)

Sekuel bagi "Journey to the West: Conquering the Demons"  film terlaris China tahun 2013 sekaligus salah satu yang terbaik  ini mempertemukan Tsui Hark si "Raja Wuxia" dan "Raja Komedi", Stephen Chow. Sebelumnya, Hark sempat muncul selaku cameo di "The Mermaid" buatan Chow yang juga merupakan film berpendapatan terbesar sepanjang masa di "Negeri Bambu" tersebut. Kelihaian Hark mengkreasi adegan aksi dipadukan absurditas komedi Chow yang kali ini sendirian menulis naskahnya tentu menjadi magnet kuat. Terbukti lewat keberhasilan melampaui pendapatan film pertama. It's definitely bigger, but is it better?

Kisahnya melanjutkan perjalanan Tang Seng (Kris Wu) mencari kitab suci ke India bersama ketiga muridnya, Sun Wukong si Raja Kera (Lin Gengxin), siluman babi Zhu Bajie (Yang Yiwei) dan siluman air Sha Wujing (Mengke Bateer). Guna bertahan hidup mereka menawarkan jasa mengusir siluman dan memamerkan atraksi di kelompok sirkus. Namun perselisihan antara Wukong dan Tang Seng kerap menyulitkan perjalanan. Wukong jengah atas perlakuan seenaknya dari sang guru (memanggilnya "kera nakal", mencambuk dan menyanyikan lagu anak sebagai hukuman). Tang Seng pun kewalahan menghadapi kenakalan Wukong, dan masih menyimpan amarah akibat murid pertamanya itu membunuh Duan (Shu Qi), cinta sejati Tang.
Meneruskan jejak "Conquering the Demons", "The Demons Strike Back" walau kental komedi merupakan presentasi versi kelam "Journey to the West". Unsur kekerasan dan kematian tidak sekental film pertama, namun ada kompleksitas soal hubungan guru-murid khususnya Tang Seng dan Sun Wukong. Sebagai bekas siluman kejam, tentu logikanya mereka takkan semudah itu patuh. Chow menekankan itu ketika Wukong benar-benar membenci Tang, bahkan sekali waktu berniat membunuhnya dengan Bajie dan Wujing memberi dukungan. Layaknya proses alamiah, ketika "Conquering the Demons" adalah pertemuan, maka sekuelnya ini berfungsi menyatukan keempat protagonis, hingga apabila kelak ada installment ketiga, kita akan bertemu dengan tim yang telah solid. 

Chow menempatkan banyak pertengkaran sebagai rintangan, alat memaparkan konflik. Masalahnya, pemaknaan Chow pada istilah "konflik" terlampau dangkal, yaitu saling berteriak, mengeluh, dan dilakukan berulang kali, berujung repetitif pula menyebalkan ketimbang menghasilkan cengkeraman kuat drama seputar love/hate relationship. Biksu Tang versi Chow adalah sosok kompleks. Penyebar ajaran Buddha, tetapi bodoh dan terjebak dalam duka duniawi akibat cinta. Berbeda dibanding Wen Zhang pada film pertama yang simpatik, akting Kris Wu membuatnya bagai pemuda manja, hanya bisa merengek, tak berguna, seperti minta dihajar habis-habisan. The relatable, more human version of Tang Sen from the previous movie is gone, replaced by this spoiled brat
Tidak biasanya pula Chow miskin ide merangkai narasi ringan. "The Demons Strike Back" ibarat gabungan kasar dari berbagai story arc perjalanan Biksu Tang ketimbang satu skema besar yang saling berkaitan meski bagi penonton yang familiar terhadap kisahnya, kemunculan Siluman Laba-Laba dan Siluman Tengkorak dapat memunculkan nostalgia. Chow nampak memaksakan diri memanjangkan cerita dengan setumpuk filler tak substansial dan membosankan seperti beberapa sekuen pasca pertempuran di istana. Tapi bukan semata-mata kesalahan naskah, sebab penyutradaraan Tsui Hark turut berpengaruh. 

Penonton masih disuguhi kekonyolan komedi khas Stephen Chow dan beberapa momen sanggup memproduksi tawa, hanya saja urung mencapai titik tertinggi serta banyak humor berakhir datar. Lagi-lagi kegagalan tersebut disebabkan interpretasi dangkal. Hark sekedar mengundang kekacauan dan keramaian sebanyak mungkin dalam menangani komedi, tanpa ketepatan timing atau pilihan shot mendukung. Tidak seperti Chow, Hark kurang pandai bermain komedi visual, alhasil yang penonton dapatkan tak lebih dari slapstick konyol yang mudah terlupakan. 
Battle sequence-nya didominasi CGI yang mengemas seluruh aspek, mulai karakter sampai setting. Pertempuran di istana dan klimaks hampir 100% memakai CGI. Kesan cartoonish akibat kualitas tak seberapa bisa dimaklumi mengingat ini bukan produksi Hollywood, walau pilihan full CGI mengundang dipertanyakan mengingat bujet film ini setara pendahulunya ($64 juta dollar). Di sini barulah Tsui Hark unjuk gigi mempertontonkan kepiawaian merangkai hiburan penuh warna. Dibantu desain produksi mumpuni, Hark sukses mewujudkan visi menghadirkan visual spectacle berisi kostum pula tata set dan properti meriah sebagaimana diperlihatkan opening dan setting istana, bak membawa keramaian produksi Bollywood berskala besar. 

Skala pertarungan pun lebih besar dan pengemasan Hark terbukti kreatif. Berbagai adegan aksi khususnya klimaks memiliki apa yang jarang kita temui pada Hollywood blockbuster, yakni imajinasi. Bayangkan pertempuran Wukong dan Tang Seng melawan "tiga Buddha" di tengah samudera itu didukung efek visual mahal Hollywood. Epic. Sayangnya rangkaian action sequence-nya terasa artificial karena Hark sekedar menaruh fokus pada menumpahkan visual semeriah mungkin tanpa membangun ketegangan atau meyakinkan penonton bahwa yang tersaji di layar adalah makhluk hidup, bukan saling serang antar tokoh kartun. It looks cool, but nothing at stake there, no life. 

JOGJA-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL - KNIFE IN THE CLEAR WATER (2016)

Berdasarkan survei tahun 2010, penganut Islam di China sebesar 1,7%, hanya lebih tinggi dari Taoism (0,8%). Tidak mengherankan apabila media film masih jarang menjadikannya sentral cerita, sehingga debut penyutradaraan Wang Xuebo ini terasa menyegarkan, menyoroti sudut Negeri Tirai Bambu yang jarang diangkat ke permukaan. Bertempat di kawasan pegunungan di Provinsi Ningxia, "Knife in the Clear Water" berkisah mengenai Ma Zishan (Yang Shengcang), seorang pria tua yang istrinya baru meninggal dunia. Tentu ia berduka, namun ada alasan lain di balik kegamangan hati Ma Zishan, yakni persiapan peringatan 40 hari meninggalnya sang istri.

Bukan masalah ekonomi yang mengganggu Ma Zishan, melainkan kehendak anaknya (Yang Shengcang, aktor berbeda) menyembelih kerbau kesayangannya sebagai suguhan untuk para tamu. Setelahnya penonton diajak mengamati sang tokoh utama menenggelamkan diri dalam kesendirian, merenungi situasi. Naskah hasil tulisan Shi Shuqing, Wang Xuebo, Ma Jinlian, dan Ma Yue selaku adaptasi novel karya Shi Shuqing tak hanya menampilkan kesendirian karakter secara literal, tapi juga di tataran batin, sewaktu interaksinya dengan orang-orang di sekitar selalu berisi pertanyaan perihal acara peringatan. Tidak heran hati Ma Zishan makin tak menentu.
"Knife in the Clear Water" bukan ingin menggugat tradisi keagamaan, tapi memancing pertanyaan melalui ironi. Putra Ma Zishan begitu sibuk menyiapkan peringatan 40 hari, mencurahkan segala daya upaya bahkan meluangkan uang cukup banyak meski bukan tergolong keluarga berada. Kondisi kampung pun digambarkan tengah dilanda kekeringan. Timbul tanda tanya soal mereka yang hidup dan yang telah mati. Tepatkah segala pengorbanan bagi almarhumah dilakukan kala kehidupan sendiri sedang sulit? Pertanyaan lembut tapi tajam yang pantas direnungkan. 

Sayang, gagasan tentang hidup-mati tersebut  yang semestinya jadi poin utama  dituangkan terlampau minim, mendangkalkan eksplorasi. Filmnya justru lebih sering mengetengahkan kesendirian Ma Zishan, berusaha menyatukan penonton dengan rasa itu lewat penyampaian kesehariannya seperti mandi, berjalan seorang diri, atau sesekali merawat kerbau. Namun kedekatan sang protagonis dengan peliharaan kesayangannya itu hadir ala kadarnya, tidak cukup membuat penonton percaya apalagi turut merasakan ikatan keduanya. Kita hanya dibuat yakin Ma Zishan tengah dirundung kemuraman.
Wang Xuebo bertutur menggunakan gaya khas arthouse. Alur bergerak dalam tempo sangat pelan, penuh keheningan minim dialog, kamera statis, serta emosi "tertahan" nihil dramatisasi. Selain melelahkan, gaya ini adalah klise bagi sinema sidestream. Wang bagai terjebak klise, bahwa paparan "film seni" harus lambat dan berisi kontemplasi mengenai kesepian. That kind of treatment is getting repetitive and predictable. Untung konklusinya kuat berkat semburat emosi yang terpancar kuat dari mata berkaca-kaca Yang Shengcang saat karakternya membaca Al Qur'an di tengah kegelapan, semalam sebelum penyembelihan. Suatu momen sederhana yang intim sekaligus lebih efektif mempresentasikan isi hati sang tokoh ketimbang kehampaan sepanjang film.

Setting bukan sekedar panorama menghibur mata, melainkan serupa karakter yang ikut menyokong keseluruhan penceritaan. Sinematografi garapan Wang Weihua merangkum dua jenis setting. Indoor memaksimalkan pencahayaan ala pertunjukkan panggung lewat spotlight, menempatkan fokus di tengah layar, membiarkan sekelilingnya gelap supaya penonton memahami kesan terisolir Ma Zishan. Sedangkan outdoor banyak memunculkan kabut dan lahan kering guna memvisualisasikan buruknya kondisi tempat tinggal mereka yang masih hidup.