REVIEW - NE ZHA 2
Ne Zha 2 telah menggoyang hegemoni Hollywood, baik dari segi finansial maupun kualitas. Anggapan klasik berbunyi "cuma Amerika yang bisa" pun runtuh seketika di hadapan animasi yang sampai tulisan ini dibuat, sedang berupaya menggusur Titanic dari posisi ke-4 daftar film dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa. Sekarang kalimat yang tepat untuk didengungkan justru "Amerika tidak akan bisa".
Kuncinya tidak lain adalah budaya. Bukankah animasi Hollywood sedang gencar melakukan representasi budaya? Betul, tapi di hadapan "formula Hollywood", sentuhan kultural sekaya apa pun seolah terhalangi oleh dinding yang memaksa sineasnya bermain aman, tanpa mampu melakukan eksplorasi secara liar.
Di Ne Zha 2, elemen budaya yang berasal dari cerita-cerita mitologi serta novel Investiture of the Gods karya Xu Zhonglin yang berasal dari abad 16, mampu begitu kreatif dieksplorasi oleh Jiaozi selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Ne Zha 2 merupakan film di mana salah satu karakternya memiliki senjata bernama "Cambuk Guntur Membelah Langit". Sama sekali tidak ada ketakutan untuk tampil hiperbolis dan melangkah sejauh mungkin dari realisme.
Tengok juga visualisasi dunianya yang sungguh-sungguh mencerminkan dunia fantasi di luar batasan logika, selaku tempat para manusia hidup di tengah eksistensi dewa dan monster. Dunia yang Jiaozi bangun selalu memancarkan keajaiban di tiap sudutnya.
Melanjutkan akhir film pertamanya, kali ini kita diajak mengikuti upaya Ne Zha menempuh ujian keabadian yang diadakan oleh sekte Chan di bawah pimpinan Wuliang. Tujuannya adalah mendapatkan pil untuk memperbaiki teratai suci kepunyaan Taiyi Zhenren yang hendak dipakai menyusun kembali tubuh Ne Zha dan Ao Bing yang hancur di akhir film sebelumnya.
Di satu titik, Ne Zha yang tiba di istana megah milik Wuliang bersama Taiyi Zhenren, mendadak ingin buang air. Ne Zha tersesat, dan salah mengira guci penyimpanan minuman sebagai toilet. Air dalam guci tersebut kemudian diminum oleh Wuliang. Momen komedik tersebut bak wujud perlawanan filmnya, yang enggah sedikit pun menaruh hormat atas segala jenis pengultusan palsu.
Sekte Chan yang dipandang sebagai figur suci nyatanya cuma sekumpulan individu arogan yang berlaku semena-mena, sedangkan nama-nama seperti Ne Zha atau Ao Guang si Raja Naga Laut Timur yang notabene adalah iblis justru lebih mementingkan cinta kasih biarpun perawakan mereka menyeramkan. Ada banyak situasi di Ne Zha 2 yang mendorong kita supaya tak "menilai buku dari sampulnya".
Gesekan dua pihak di atas menyulut terjadinya pertempuran epik penuh visual cantik nan megah di babak ketiga. Kuali raksasa yang bisa mengurung apa pun di hadapannya, ribuan pasukan yang berbaris begitu rapi hingga nampak seperti daun-daun di pepohonan, semuanya menampakkan pemandangan fantastis yang hanya bisa terwujud kala kreativitas dipertemukan dengan budaya. Jiaozi enggan memusingkan soal realisme. Sudah seharusnya pertempuran antara dewa dan iblis digambarkan secara megah nan serba berlebihan.
Tapi Ne Zha 2 tak hanya parade pencapaian teknis, sebab ia pun memiliki banyak rasa. Humornya yang tampil konyol bukan sebatas amunisi hiburan, tapi cara untuk mendekatkan penonton dengan karakternya. Canda tawa yang kerap ia lontarkan membuat Ne Zha, yang begitu kuat hingga mampu merepotkan para dewa, terasa membumi. Sampai ketika filmnya tiba pada momen emosional antara Ne Zha dengan sang ibu, di situlah konflik ilahi dan humanis mencapai titik temunya.
REVIEW - LOST IN THE STARS
Lost in the Stars bak film idaman penonton masa kini yang cenderung mengagungkan twist. Setiap pengungkapan fakta selalu diiringi kejutan, yang seiring waktu semakin melibatkan rencana-rencana kompleks nan absurd dari karakternya. Penggila twist bakal bergembira, sedangkan mereka yang mencari substansi mungkin akan garuk-garuk kepala.
Di tengah liburan di sebuah resor di Asia Tenggara, pria asal Cina bernama He Fei (Zhu Yilong) melaporkan istrinya, Li Muzi, yang telah dua minggu hilang, namun tak mendapat respon memuaskan dari polisi. Sampai suatu pagi, He Fei mendapati seorang wanita (Janice Man) muncul dan mengaku sebagai Muzi. He Fei bersikeras wanita itu bukan istrinya, namun semua bukti berkata sebaliknya.
Apakah He Fei jadi korban penipuan? Atau justru kondisi psikis yang terganggu membuat pernyataannya tak bisa dipercaya? Dibantu Chen Mai (Ni Ni) si pengacara tersohor yang selalu memenangkan kasus, He Fei berusaha mengungkap kebenaran sebelum visanya kedaluwarsa.
Terdengar familiar? Wajar saja, sebab Lost in the Stars merupakan adaptasi naskah teater Trap for a Lonely Man karya Robert Thomas, yang sempat beberapa kali diangkat ke medium film, baik secara resmi (Vanishing Act) maupun tidak (Misteri Dilaila). Alfred Hitchcock sempat nyaris membuat versi layar lebarnya, namun urung dilakukan.
Banyak pihak pun menyematkan status Hitchcockian bagi Lost in the Stars. Secara permukaan, sebutan itu tidak keliru mengingat alurnya mengandung beberapa elemen khas Hitchcockian (salah tuduh, misteri soal identitas, dll.). Tapi di ranah esensial film garapan duo sutradara Cui Rui dan Liu Xiang ini amat berbeda.
Jika di tangan Hitchcock plot twist hanyalah satu dari sekian banyak amunisi pembangun intensitas, Lost in the Stars menjadikannya jualan utama. Seolah cerita bergulir, semata hanya sebagai jembatan antar twist, yang takkan terlalu sukar diraba arahnya oleh penonton dengan banyak referensi film misteri.
Tidak perlu repot-repot melibatkan diri dalam misterinya. Cukup tunggu twist yang segera menyusul. Tidak perlu pula memikirkan logika milik barisan twist tersebut, yang semakin lama semakin diisi keabsurdan. Jika bersedia melakukan hal-hal di atas, niscaya kesan konyol filmnya bakal berubah jadi hiburan yang cukup menyenangkan.
Lost in the Stars didesain sebagai hiburan over-the-top yang terasa "besar" di segala lini. Tidak hanya terkait twist. Di beberapa titik ia sempat menyelipkan kejar-kejaran mobil, yang sayangnya punya hasil setengah matang karena kerap berakhir prematur sekaligus mendadak.
Setidaknya, meski tak seberapa sukses mengolah aksi, Cui Rui dan Liu Xiang mampu menjaga filmnya agar tak membosankan walau bergulir sampai 122 menit. Permainan temponya cepat, dinamis, tepat untuk membungkus gaya narasi Lost in the Stars yang mengandalkan twist. Visualnya juga memanjakan mata, khususnya berkat pemakaian The Starry Night sebagai motif visual, entah dengan memasangnya di beberapa properti, atau sebatas membuat warna biru dan kuning mendominasi layar.
Jajaran pemainnya tampil sesuai kebutuhan, dari Zhu Yilong yang sanggup membuat penonton mempertanyakan kondisi psikisnya, hingga Ni Ni yang karismatik. Tidak spesial, tapi sekali lagi, sesuai kebutuhan. Begitu pula keseluruhan Lost in the Stars. Bukan Hitchcockian cerdas, namun sebagai "kompilasi kejutan" yang tak usah dipandang terlampau serius, ia tidaklah mengecewakan.
REVIEW - RIDE ON
Jackie Chan baru saja menginjak 69 tahun pada 7 April lalu, bertepatan dengan perilisan Ride On di Cina. Fisiknya masih prima untuk ukuran pria setua itu, tapi jelas tak lagi selincah dan segila dulu dalam beraksi. Cepat atau lambat bakal ada film yang dibuat selaku penghormataan bagi perjalanan karirnya. Ride On adalah film tersebut.
Tapi karya terbaru sutradara Larry Yang ini bukan saja surat cinta untuk sang aktor laga. Sekali lagi, cepat atau lambat akan ada yang memberi penghormatan terhadap Jackie Chan, entah dari Larry Yang atau sineas lain. Sosoknya begitu melegenda sebagai bintang. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak tersorot cahaya ketenaran?
Di sini Jackie Chan memerankan Lau Luo, seorang stuntperson yang era keemasannya telah lewat seiring pertambahan usia. Dia pun memelihara seekor stunt horse bernama Red Hare. Luo menganggap Red Hare bak anak, di saat hubungannya dengan sang puteri kandung, Xiao Bao (Liu Haocun), merenggang. Bao merasa ayahnya terlalu menenggelamkan diri dalam profesi sehingga lalai meluangkan waktu baginya.
Naskah yang turut ditulis oleh Yang masih melangkah di formula drama keluarga, juga cerita soal hubungan manusia-hewan. Jangan harap menemukan banyak modifikasi. Pengadeganan sang sutradara pun mengikuti pakem standar melodrama. Karakternya menangis di momen dramatis, diiringi musik mendayu-dayu, dan terkadang ditambah gerak lambat.
Klise? Ya. Buruk? Belum tentu. Sebuah gaya menjadi klise karena dirasa efektif sehingga terus-terusan diterapkan. Dramatisasi Ride On memang serba berlebihan, namun tak jarang pendekatan itu ampuh membangun rasa. Larry Yang pun cukup jeli menjembatani emosi penonton dengan Red Hare. Mustahil bagi orang awam memahami apa yang si kuda pikirkan dan rasakan, tapi melalui ketepatan pilihan shot, penonton bisa dibuat meyakini bahwa Red Mare merupakan karakter yang utuh, lengkap dengan emosi layaknya karakter manusia.
Jackie Chan dan Liou Haocun turut tampil apik. Terutama saat dua protagonisnya menonton rekaman aksi Luo sebagai stuntperson di masa jayanya, yang tersusun atas kompilasi adegan-adegan ikonik dari film-film Jackie Chan. Rasa haru yang dimunculkan Chan nampak nyata di situ. Mungkin ia sendiri ikut mengenang memori-memori dari karirnya yang telah berjalan lebih dari enam dekade.
Sebagai drama keluarga, Ride On memang formulaik. Penuturannya juga terbata-bata. Alur kerap melompat dengan kasar, begitu pula transisi rasa. Misal saat Luo dan Bao baru saja berbagi momen hangat di sebuah makan malam, lalu mendadak bertengkar. Sebuah pertengkaran besar tanpa gradasi emosi memadai. Amarah Bao tiba-tiba memuncak, Luo pun tiba-tiba menjadi sosok ayah yang berengsek.
Tapi sebagai surat cinta kepada stunt performer, baik manusia atau kuda, filmnya mampu menawarkan sudut pandang menarik. Luo adalah stuntperson dengan pola pikir konservatif. Baginya, semua aksi harus dilakukan secara sungguhan. Luka parah bahkan kelumpuhan adalah takdir yang mau tidak mau harus dihadapi. Sebuah risiko pekerjaan.
Ride On tidak menyalahkan perspektif di atas. Biar bagaimanapun, efek praktikal termasuk keterlibatan stuntperson memang membuat suatu film tampil imersif. Karir Jackie Chan adalah bukti nyata. Tapi di sisi lain, teknologi modern seperti CGI jangan pula dimusuhi. Ketergantungan terhadapnya memang membahayakan bagi kualitas film, namun bantuan komputer juga berguna mengurangi risiko yang bisa membahayakan keselamatan stuntperson (atau hewan).
Larry Yang menerapkan prinsip serupa saat mengarahkan film ini. Laga yang disuguhkan menggabungkan stunt tradisional dan CGI. Secara garis besar, baku hantamnya masih "sangat Jackie Chan", di mana segala benda dapat dijadikan senjata, sarat gerakan akrobatik, serta dibumbui komedi. Hasilnya tentu tidak semulus karya-karya terbaik Jackie Chan. Trik penyuntingan lebih banyak dipakai. Tapi ketimbang penurunan, saya lebih suka memandangnya sebagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Kita tetap berkesempatan melihat Jackie Chan beraksi, sedangkan sang aktor yang mulai dimakan usia tak lagi harus bertaruh nyawa (senada dengan pesan filmnya).
Ride On meninggalkan setumpuk kekurangan, tapi minimal ia berhasil mengingatkan penonton akan eksistensi stuntperson yang kerap terlupakan. Mereka takkan kita temui di karya-karya "berkelas" buatan Tarkovsky, Ozu, atau Kiarostami, tapi mereka adalah bagian ekosistem sinema dengan peranan luar biasa.
REVIEW - THE WANDERING EARTH 2
Jika The Wandering Earth (2019) tampil dengan durasi yang wajar bagi sebuah blockbuster (125 menit), maka The Wandering Earth 2 yang berstatus prekuel bergulir hampir tiga jam (173 menit), dengan tujuan menambah porsi drama kemanusiaan serta politik. Kuantitas ceritanya memang meningkat. Sangat meningkat, sampai naskahnya sendiri kesulitan memadatkannya mestki telah diberi durasi begitu panjang.
Kisahnya mundur ke masa sebelum proyek Wandering Earth berjalan (masih bernama Moving Mountain), yang bertujuan membawa bumi berpindah ke sistem bintang Alpha Centauri karena ancaman matahari yang semakin mendekat. Liu Peiqiang (Wu Jing), protagonis dari film pertama, bergabung di proyek itu bersama para teknisi lain, termasuk Han Duoduo (Wang Zhi) yang kelak menjadi istrinya.
Protes membanjiri pelaksanaan Moving Mountain, khususnya dari para pendukung Digital Life Project, yang alih-alih memindahkan bumi, memilih mengunggah kesadaran mereka agar dapat hidup abadi dalam wujud digital. Tu Hengyu (Andy Lau), ilmuwan yang dahulu bekerja di proyek tersebut sebelum ditutup pemerintah, kini bertugas membangun komputer kuantum bernama 550W untuk Moving Mountain. Di waktu luangnya, Tu secara berkala mengembangkan simulasi canggih untuk menghidupkan kembali puterinya secara digital.
Rumit? Percayalah, beberapa deskripsi di atas baru segelintir dari segala intrik yang dipaparkan The Wandering Earth 2. Saya belum membahas soal serangan teroris, gesekan politis berbagai negara di mana Cina muncul sebagai "simbol kebenaran", hingga berbagai permasalahan bersifat teknis yang mempersulit jalannya proyek.
Naskah yang dibuat sang sutradara, Frant Gwo, bersama Gong Ge'er, sesungguhnya sadar kalau ada begitu banyak konflik yang takkan cukup dituturkan dalam waktu tiga jam. Tapi alih-alih berusaha merampingkan, mereka justru memaksakan diri memadatkannya. Tempo dipercepat, eksposisi terus dilemparkan tanpa jeda, transisi antar kisah ditiadakan sehingga memunculkan lompatan kasar. Hasilnya membingungkan. Apa tujuan suatu misi? Dampak apa yang dibawa sebuah masalah? Apa peran si karakter? Jangan harap bisa memahami poin-poin penting itu secara menyeluruh. Pasti akan ada yang terlewatkan.
Penyuntingannya pun buruk. Terasa betul didesain supaya menyingkat waktu. The Wandering Earth 2 tak ubahnya rekap. Ditambah beberapa teks plus hitung mundur mengenai peristiwa yang segera hadir, filmnya bak kaleidoskop yang mungkin ditonton oleh tokoh-tokohnya tiap tahun di televisi sebagai peringatan langkah bersejarah mereka.
Padahal ada banyak kisah kemanusiaan potensial tersimpan di sana. Romansa Liu Peiqiang dan Han Duoduo yang kita tahu bakal berujung bittersweet, duka menyakitkan Tu Hengyu yang berhasil dihidupkan oleh penampilan kuat Andy Lau, juga elemen pengorbanan yang melanjutkan "tradisi" film pertamanya. Sewaktu berpusat di hal-hal tersebut, film ini menemukan hatinya. Saya tersentuh menyaksikan pengorbanan para generasi tua bagi generasi muda penerus masa depan dunia dalam klimaksnya.
Tapi kalau kalian datang bukan demi cerita, melainkan parade efek spesial megah, The Wandering Earth 2 yang menampilkan beragam teknologi canggih (lift luar angkasa sepanjang 90 ribu km jadi contoh kreativitas naskahnya mengolah teknologi) bakal memuaskan. Visualnya luar biasa. Bukan semata karena kualitas CGI yang meningkat dibanding pendahulunya, tapi selaku sutradara, Frant Gwo juga memiliki insting visual kuat. Gwo adalah jagonya menciptakan panorama epik, baik yang memperlihatkan keindahan maupun kehancuran. Lihat bagaimana ia "menangani" bulan di babak ketiga, atau sekuen serbuan drone penuh kekacauan masif di paruh awal, yang bahkan bisa membuat seorang Michael Bay sekalipun merasa iri.
Tentu The Wandering Earth bakal terus berlanjut. Pendapatannya masih menghasilkan untung besar, dan dari sisi penceritaan pun rasanya tanggung jika kita tak berkesempatan melihat umat manusia mencapai Alpha Centauri. Tinggal bagaimana Gwo dan tim menyeimbangkan spektakel epik dengan penceritaan intim mengenai kemanusiaan dan kehidupan. Biarpun kalau menilik pilihan konklusi film ini, kelak narasinya cenderung mengarah pada keabsurdan kompleks fiksi ilmiah, yang bahkan sulit ditangani oleh kapasitas penulisan mereka.
REVIEW - DETECTIVE CHINATOWN 3
"Such a grand opening!", seru Tang Ren (Wang Baoqiang), merujuk pada perkelahian di bandara, yang membuka Detective Chinatown 3 dengan kerusuhan menyenangkan berlatar lagu Welcome to Tokyo milik J Soul Brothers. Tapi mendengarnya sekarang, tepatnya hampir dua minggu selepas filmnya tayang perdana di Cina, kalimat tersebut turut mengingatkan pada keberhasilan film ini memecahkan rekor Avengers: Endgame, untuk "The biggest opening weekends in a single territory". Jaraknya tidak main-main. Sekitar $67 juta. Such a grand opening indeed.
Setelah Bangkok dan New York di dua film pertama, kini giliran Tokyo yang disambangi oleh Qin Feng (Liu Haoran) dan Tang Ren (rencananya film keempat bakal bertempat di London). Mereka datang atas undangan Hiroshi Noda (Satoshi Tsumabuki), rival sekaligus rekan Qin Feng. Tentunya bukan undangan berwisata, melainkan memecahkan sebuah kasus pembunuhan. Watanabe (Tomokazu Miura) telah dituduh membunuh sesama bos mafia, Su Chaiwit (Hirayama Motokazu), kala keduanya bertemu untuk merundingkan kerja sama sekaligus gencatan senjata.
Ketika para saksi memasuki TKP karena mendengar suara teriakan, selain mayat korban, hanya ada Watanabe yang memegang senjata pembunuhan. Pun cuma terdapat satu jalan untuk keluar dan masuk, yang mana dijaga ketat. Artinya, jika Watanabe bukan pelaku sesungguhnya, maka telah terjadi pembunuhan di ruang tertutup. Ketiga detektif kita pun melintasi berbagai area di Tokyo guna mencari petunjuk. Jelas tidak mudah. Kerap mengganggu jalannya penyelidikan adalah Tanaka Noki (Tadanobu Asano) si polisi ternama, juga Jack Jaa (Tony Jaa), anak buah Su Chaiwit sekaligus sesama detektif papan atas di aplikasi Crimaster, serupa Qin Feng dan Noda.
Seperti biasa, jangan mengharapkan investigasi cerdas dalam seri Detective Chinatown. Naskahnya memperlakukan penyelidikan para detektif sebagai alat untuk terus menggerakkan petualangannya. Tidak ada petunjuk yang disebar agar penonton bisa turut serta memutar otak. Semua muncul secara acak dan mendadak, yang bahkan membuat installment pertamanya bak "film detektif sungguhan". Cukup duduk manis, ikuti arus, pasrah saja ke mana pun petualangan berskala besar penuh kerusuhan ini bakal membawa kita.
Kalau bisa melakukan itu, Detective Chinatown 3 bakal jadi hiburan menyenangkan. Sutradara Chen Sicheng yang menggerakkan filmnya dengan tenaga tinggi pun cukup berhasil memanfaatkan kehadiran Tony Jaa, baik selaku aktor laga seperti bisa melalui beberapa baku hantam solid, maupun selaku aktor komedi, yang merupakan pengalaman perdananya. Kapan lagi anda melihat seorang Tony Jaa ber-cosplay sebagai Maruko dari Chibi Maruko-chan?
Chen masih mempertahankan kombinasi slapstick dan humor situasi absurd sebagai senjata mengocok perut penonton. Puncak kelucuannya tentu sekuen "kamar mayat", yang merupakan pengembangan dari sekuen "petak umpet" dari film pertama. Sementara Wang Baoqiang tampil tidak semenyebalkan sebelumnya (bagi beberapa penonton, mungkin malah perangai itulah elemen paling menghibur dari seri Detective Chinatown). Masih kerap melontarkan selorohan bodoh, namun dalam kadar normal.
Selama 136 menit, terasa betul ambisi Chen untuk membuat karyanya ini sebesar mungkin. Skala produksinya tidak jauh dari blockbuster Hollywood, pun kemunculan tokoh-tokoh dari serialnya (bisa ditonton di iQiyi) merupakan perwujudan mimpi Chen membangun dunia layaknya MCU. Sayangnya, karena ambisi itu pula Chen merasa perlu menambah kuantitas elemen melodrama yang membuat babak ketiganya berlangsung berlarut-larut, sehingga kehilangan intensitas. Belum lagi momen cringey tatkala lagu Heal the World mengiringi festival kembang api di penghujung durasi. Chen perlu memperbaiki metode dramatisasinya. Setidaknya cameo seorang bintang besar di ending sebagai "the real big bad guy", membangkitkan ketertarikan saya menanti kelanjutan ambisi sang sineas.