REVIEW - DESPICABLE ME 4
Despicable Me 4 menunjukkan bagaimana jadinya saat sebuah waralaba sinema tidak lagi tahu mesti berbuat apa untuk melanjutkan kisahnya. Bukan cuma kehabisan ide, para pembuatnya seperti enggan meluangkan usaha. Ironisnya, itu terjadi hanya dua tahun selepas Minions: The Rise of Gru tampil cukup kreatif lewat penghormatannya terhadap era film eksploitasi.
Gru dewasa (Steve Carell) kembali jadi sentral cerita, namun naskah buatan Mike White dan Ken Daurio nampak kebingungan mesti melangkah ke mana. Wajar saja, sebab kisah si mantan penjahat memang seharusnya telah tuntas. Kehidupan sebagai kriminal sudah ia tinggalkan untuk bergabung dengan AVL (Anti-Villain League) guna menjadi ayah dan suami yang baik.
Maka dipaksakanlah alurnya memperkenalkan Maxime Le Mal (Will Ferrell), mantan teman sekelas Gru di sekolah penjahat, yang menaruh dendam terhadapnya. Di sebuah reuni, Maxime begitu dipuja, dielu-elukan sebagai penjahat terbaik. Kenapa kita tak pernah mendengar eksistensinya selama ini? Maxime mempunyai istri bernama Valentina, dan suaranya diisi oleh Sofia Vergara yang merupakan salah satu sisi paling terang di film ini. Seperti biasa Sofia tahu cara memancing tawa lewat ocehannya.
Sayangnya Maxime bukan antagonis yang memorable. Sekali lagi, filmnya seperti enggan berusaha. Bagaimana mungkin seorang antagonis meninggalkan kesan bila sosoknya lenyap di mayoritas durasi?
Alurnya tidak memiliki konflik yang mengikat, ketegangan, atau sekadar petualangan menyenangkan. Despicable Me 4 pun terkesan ketinggalan zaman dalam upayanya menghibur. Saya pikir menarik perhatian penggemar K-pop lewat cara malas seperti pemakaian lagu atau aksesoris sebuah grup secara acak sudah ditinggalkan beberapa tahun lalu.
Demikian pula subplot mengenai pemberian kekuatan super kepada lima minions yang nantinya membentuk tim bernama Mega Minions. Draft awal film ini mulai ditulis tahun 2017 tatkala popularitas film pahlawan super mencapai puncaknya, sehingga saya bisa memahami jika subplot itu terasa ketinggalan zaman.
Tapi seperti Maxime, Mega Minions yang sejatinya menarik pun lebih banyak absen dari cerita. Selepas beberapa sketsa, mereka menghilang dan baru kembali sekilas di pertempuran puncak yang berakhir instan. Minions tidak lagi menggemaskan. Lebih tepatnya, tidak ada usaha memadai dari pembuat filmnya untuk memaksimalkan potensi makhluk-makhluk kuning ini sebagai tokoh pendukung yang mencuri perhatian. Padahal itulah alasan film pertamanya begitu populer.
REVIEW - SIKSA NERAKA
Di sampul belakangnya, komik Siksa Neraka buatan M.B. Rahimsyah menyapa para pembaca dengan sebutan "adik-adik". Dari situ nampak jelas kesesuaian antara gaya bercerita dan target pasarnya. Sebuah ceramah agama sederhana bernuansa fearmongering yang bakal ditelan bulat-bulat oleh anak-anak. Cocok.
Ketika diadaptasi ke layar lebar, muncul perubahan. Walau masih memakai teknik berceramah serupa, kadar gore tinggi memberinya rating 17 tahun ke atas. Jadilah Siksa Neraka versi film sebuah suguhan bagi penonton dewasa, yang tak mengindahkan pola pikir kompleks orang dewasa. Hasilnya kontradiktif.
Mari tengok perbedaan lainnya. Di komik, sosok yang menyaksikan siksaan neraka adalah Rasulullah, di tengah Isra Mikraj. Sebuah perjalanan sarat keajaiban di mana segalanya dapat terjadi. Di film, peran tersebut diemban oleh gadis remaja (indigo?) yang sejak kecil bisa melihat orang mati tengah mendapat siksaan neraka. Bagaimana mungkin fenomena itu terjadi bila siksa neraka baru terjadi pasca akhir dunia?
Mengadaptasi Siksa Neraka jelas memerlukan modifikasi, mengingat komiknya tak memiliki alur. Supaya muncul dampak emosi, naskah buatan Lele Laila mengajak kita menyelami hidup empat protagonisnya. Saleh (Rizky Fachrel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Safira Ratu Sofya), dan Azizah (Nayla D. Purnama), tumbuh dengan didikan agama yang cukup keras dari sang ayah, Ustaz Syakir (Ariyo Wahab). Kecuali Tyas yang penurut, tiga anak lain menyimpan rahasia penuh dosa.
Gagasan dasar modifikasinya patut diapresiasi, meski seringkali saya berharap naskahnya konsisten meletakkan fokus pada pembangunan karakter alih-alih menyibukkan diri dengan menyelipkan penampakan di sana-sini. Di satu titik, jenazah seorang remaja yang mati bunuh diri mendadak "hidup kembali" setelah didoakan, tanpa tujuan pasti, selain untuk mengisi durasi dan memenuhi kewajiban melempar jump scare.
Singkat cerita, keempat protagonis kita mengelabui orang tua mereka, diam-diam pergi dari rumah di tengah hujan badai. Sesampainya di sungai, dalam adegan konyol dengan eksekusi luar biasa canggung, mereka terbawa arus. Tiga di antaranya meninggal, menyisakan Tyas si bocah "berkemampuan khusus" sebagai satu-satunya korban selamat.
Bersama Tyas, kita pun dibawa menyaksikan siksaan demi siksaan yang dialami ketiga saudaranya. Jangan harapkan kuantitas tinggi, sebab siksa neraka yang jadi jualan utama cuma muncul sepotong-sepotong, diikuti oleh flashback guna menjelaskan dosa apa yang karakternya lakukan hingga layak menerima hukuman tersebut.
Di bawah pengarahan Anggy Umbara yang sepanjang karirnya tak pernah ragu mengumbar kekerasan, sajian gore milik Siksa Neraka memang nampak brutal sekaligus menyakitkan, dengan balutan efek CGI yang tidak seberapa buruk untuk ukuran horor lokal.
Di sela-sela kunjungan ke neraka, kita pun diajak mengobservasi duka Ustaz Syakir beserta istrinya, Rika (Astri Nurdin), yang lambat laun menyadari adanya cacat pada pola asuh mereka. Keputusan untuk tak menutup mata perihal dosa orang tua merupakan satu lagi poin positif di penceritaan Siksa Neraka, biarpun dalam prosesnya, timbul gangguan berupa deretan kekonyolan yang tidak disengaja. Sulit menahan tawa sewaktu melihat para warga, dengan suara keras, bergosip mengenai keempat anak Ustaz Syakir tepat di hadapan sang kepala keluarga.
Apakah Siksa Neraka terasa shocking? Ya, sayangnya secara negatif. Azizah si bungsu mencuri, lalu memfitnah teman sekelasnya sampai ia bunuh diri. Sungguh kesalahan besar, namun perlukah filmnya memperlihatkan wajah gadis semuda itu (diperankan oleh aktris 16 tahun) dipukul berkali-kali menggunakan gada hingga remuk?
Bukan perkara moral, tapi menyuguhkan kekerasan brutal terhadap anak, dalam film yang (katanya) ingin mengangkat nilai-nilai agama, justru terkesan kontradiktif. Bandingkan dengan komiknya yang menjadikan orang dewasa sebagai penerima hukuman di neraka. Ketika Siksa Neraka turut menunjukkan siksaan yang diterima teman Azizah yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan membuatnya gantung diri berkali-kali, saya makin yakin bahwa film dengan tingkat sensitivitas rendah ini tidak benar-benar menaruh kepedulian.
Kalau komik Siksa Neraka menyiksa para pendosa dewasa atas nama pendidikan agama bagi anak, versi filmnya menyiksa anak untuk membuat hiburan bagi orang dewasa.
REVIEW - PARA BETINA PENGIKUT IBLIS
Semua pernak-pernik tentang film ini terkesan sensasional. Baik kata "betina" di judul yang memancing perdebatan, maupun rating usia 21+ yang alih-alih coba dihindari justru jadi materi promosi. Seluruhnya sensasional, kecuali satu hal: filmnya sendiri.
Para Betina Pengikut Iblis ingin tampil gila. Darah ditumpahkan, isi perut bertebaran, tapi Rako Prijanto, yang baru bulan lalu mengawali debutnya menyutradarai horor lewat Bayi Ajaib, melupakan hal penting. Keseruan film gore (entah slasher, torture porn, atau subgenre eksploitasi lain) berasal dari proses penjagalannya, bukan sebatas jeroan yang dipamerkan bak di etalase toko daging.
Belum apa-apa filmnya langsung ngebut saat memperlihatkan Sumi (Mawar de Jongh) yang meminta dokter Freedman (Hans de Kraker) memeriksa luka di kaki Karto (Derry Oktami), ayahnya. Belum sampai lima menit durasi berjalan, Para Betina Pengikut Iblis sudah berusaha menepati janji yang dibawa rating usianya, dengan mengamputasi kaki Karto.
Kemudian ada Sari (Hanggini), mantan dukun santet yang ingin mencari dalang di balik kematian tragis adiknya. Siapa Sumi? Kenapa kaki ayahnya terluka sedemikian parah? Apa alasan Sari berhenti menjadi dukun? Film ini seolah memotong banyak porsi first act yang umumnya jadi sarana penonton mengenali tokoh-tokohnya.
Perlu waktu agar terbiasa dengan cara tuturnya, sebagaimana kita perlu waktu untuk membiasakan diri pada gaya akting jajaran pemainnya. Mawar sebagai Sumi yang canggung, juga Hanggini sebagai Sari yang penuh amarah, tampil over-the-top. Serba berlebih, tanpa menyisakan ruang bagi kesubtilan. Bukan berarti buruk, karena memang suatu kesengajaan.
Para Betina Pengikut Iblis didesain sebagai tontonan yang mereplikasi estetika horor lokal lawas, termasuk di pemilihan latar dan departemen akting. Mawar dan Hanggini cocok dengan tujuan itu. Terutama Hanggini yang mengingatkan ke barisan karakter dukun antagonis dari era 80-an.
Jika kedua aktrisnya berakting over-the-top namun tetap sesuai dengan nuansa serius filmnya, lain cerita dengan Adipati Dolken selaku pemeran sosok iblis. Dia konyol. Seperti mahasiswa tahun pertama yang iseng-iseng menjajal kegiatan teater di kampusnya. Ketimbang tawa maniak ala antagonis b-movie, Adipati membawa interpretasi lain yang terdengar seperti pengidap asma akut. Tawa yang juga membuat seisi studio ikut tertawa. Penampilannya semakin menonjol (in a bad way) sebab tiap kemunculannya diiringi tempo yang berlarut-larut. Baik tempo Adipati melafalkan kalimat, atau pengadeganan Rako.
Kembali soal replikasi estetika masa lalu, filmnya banyak dihiasi oleh pemandangan ganjil. Sebutlah keberadaan mesin pendingin di area tanpa listrik. Tentu bahasa filmis beda dengan realita. Sineas bebas bereksplorasi khususnya di film tanpa kepastian latar tempat dan waktu seperti Para Betina Pengikut Iblis. Ketidaksesuaian era maupun logika bisa dijustifikasi asalkan mengatrol sebuah elemen, misal mempercantik visual. Tapi keganjilan film ini tak memberi dampak apa pun. Bahkan semakin ganjil bila menilik niatan filmnya mereplikasi era 80-an.
Bagaimana dengan gore yang jadi jualan utamanya? Seperti telah saya sebutkan, barisan kekerasannya seperti etalase belaka. Walau darah bisa kita lihat, aksi kekerasan (sayatan parang, tusukan pisau, dll.) yang menumpahkannya lebih banyak terjadi secara off-screen. Pengadeganan Rako pun terlampau datar untuk bisa memunculkan keseruan. Dia bagai asal merekam darah mengalir dan tumpukan organ. Sekali lagi, seperti video etalase toko daging.
Naskah yang ditulis Rako bersama Anggoro Saronto punya satu poin positif. Film ini nihil pijakan moral. Semua karakternya, entah menjadi pengikut iblis atau tidak, sama-sama buruk. Mereka melakukan bentuk kekejaman yang berbeda-beda. Sayangnya secercah harapan itu seketika musnah saat di paruh akhir, naskahnya menjelaskan twist yang sejatinya sederhana dengan sangat semrawut, sebelum tiba-tiba menutup film dengan kalimat sakti "TO BE CONTINUED".
Penderitaan masih akan berlanjut.
REVIEW - ADAGIUM
Lupakan trailer yang menjanjikan banyak keseruan seputar pertempuran sarat teknologi antara militer melawan teroris. Hanya untuk aksi tidak sampai 10 menit, Adagium mengharuskan penonton menunggu lebih dari 100 menit. Mestinya saya sadar ada yang tidak beres ketika prolognya diisi kalimat yang dibuka dengan kata "Benarkah", namun tidak ditutup oleh tanda tanya.
Alkisah ada tiga sahabat: Arga (Angga Asyafriena), Alenda (Jihane Almira), dan Bian (Pangeran Lantang). Arga seorang mahasiswa yang terlilit utang pinjol demi membiayai operasi sang ibu (Dayu Wijanto), Bian tengah meniti karir sebagai pelukis, sedangkan Alenda punya kemampuan hacking tingkat tinggi. Hubungan ketiganya amat erat, sampai Alenda dan Bian melanggar janji untuk tak menjalin asmara dalam persahabatan mereka.
Arga yang menyukai Alenda merasa terkhianati, lalu memutuskan ikut pelatihan Komcad (Komponen Cadangan), yakni pasukan militer yang terdiri atas warga sipil. Setelah lebih dari 30 menit akhirnya Adagium beralih dari cinta segitiga klise membosankan, dan memulai keseruannya. Bukankah begitu? Jawabnnya "tidak".
Durasi film ini mencapai hampir dua jam (118 menit) bukan karena kisahnya penuh, melainkan penuturan draggy dari Rizal Mantovani selaku sutradara. Dunia Adagium bak bergulir dalam gerak lambat. Apalagi naskah hasil tulisan Rizal bersama Titien Wattimena pun sangat bertele-tele, tampil layaknya individu yang terlalu ragu untuk melangkah.
Konflik memanas saat Alenda diculik oleh kelompok teroris bernama Organisasi X (tidak adakah nama fiktif yang lebih kreatif?) yang terpikat pada kemampuannya sebagai peretas. Sejago apa Alenda? Intinya ia berhasil meretas sistem pinjol tempat Arga meminjam uang. Kita tidak menyaksikan aksinya. Sewaktu peretasan diperlihatkan pun, Adagium masih terjebak keklisean. Adegan "hacking" sebatas diisi karakternya mengetik secepat kilat, kemudian tulisan "system hacked" muncul di layar komputer. Rizal tak meluangkan usaha lebih untuk membuat momen itu tampil intens.
Organisasi X dipimpin oleh Nosluc (Mike Lucock). Entah dari mana asal pria ini. Kepada Alenda ia mengaku belum lancar berbahasa Indonesia, tapi sejurus kemudian berbicara semulus warga lokal. Tanpa aksen, tidak pula terbata-bata. Sungguh konyol.
Di lain pihak, pelatihan Arga berjalan lancar. Rapor menembaknya luar biasa positif. Apakah berarti Adagium beralih menjadi film sniper seru? Sekali lagi jawabannya "tidak". Karena Adagium merupakan film "iklan", maka ia wajib mengikuti prosedur. Arga dan Bian melaporkan penculikan Alenda, yang selanjutnya diusut oleh tim siber TNI. Dari sanalah terungkap bahwa Organisasi X berniat melancarkan serangan EMP berbahaya yang dapat melumpuhkan Indonesia!
Sewaktu akhirnya dieksekusi, serangan super berbahaya itu rupanya cuma berlangsung beberapa menit. Saya paham adanya tujuan menggambarkan kehebatan tim siber TNI, tapi setelah pembangunan sedemikian lama, bukankah seharusnya ada payoff sepadan? Ketimbang membuat tim siber nampak jago, Adagium justru mengesankan betapa remehnya potensi serangan EMP.
Memasuki 15 menit terakhir, barulah pasukan khusus dikerahkan untuk menyerbu markas Organisasi X. Sekuen aksinya berlangsung 10 menit, minim intensitas, sebab lagi-lagi Rizal seolah tidak berusaha. Momen dramatis ketika Arga memamerkan kemampuan menembaknya pun berlalu begitu saja. Antiklimaks bak orgasme yang batal.
Satu-satunya poin positif di babak ketiga adalah keberhasilan Jihane Almira menuturkan emotional speech soal penolakan Alenda mengkhianati bangsa. Tidak spesial, tapi di antara keburukan-keburukan filmnya, penampilan Jihane memberi sedikit angin segar.
Sebenarnya film macam apa Adagium ini? Aksinya terlalu minim untuk bisa disebut "film action", sementara dramanya, baik mengenai pencarian jati diri maupun romansa berakhir setengah matang. Bahkan ia bukan iklan yang baik akibat gagal menjabarkan program Komcad secara jelas. Apakah Komcad hanya pelatihan sekali waktu? Ataukah pesertanya akan terus dipanggil guna menjalankan misi-misi berikutnya bak agen rahasia? Pastinya, Adagium dipenuhi banyak janji yang tak pernah dipenuhi.
REVIEW - ALENA ANAK RATU IBLIS
Apakah dalam debut penyutradaraannya, Sonu Samtani (lebih dikenal sebagai produser eksekutif) sengaja mengincar parodi saat membuat Alena Anak Ratu Iblis? Jika jawabannya "ya", maka ia dan Maruska Bath (The Origin of Santet, Ritual) selaku penulis naskah adalah duo jenius. Jika "tidak", maka anggapan bahwa tidak semua hal dapat dibeli dengan uang terbukti tepat. Gelontoran biaya belasan miliar tetap tak bisa secara ajaib memunculkan talenta dalam diri mereka.
Mayoritas uang tadi dicurahkan demi memenuhi ambisi melahirkan horor mewah. Jujur, untuk poin tersebut, hasilnya lumayan. Cakupan kisahnya luas. Kita dibawa mengunjungi beragam lokasi, termasuk dunia antah berantah di mana es dan lava eksis berdampingan.
Kualitas CGI pun solid. Tengok klimaksnya yang melempar skenario "Apa jadinya kalau dalam The Omen, Damien si bocah setan menebar teror dalam pesawat yang mengudara?". Demikian pula sekuen pembuka brutal berisi banyak pembantaian miliknya. Sonu bahkan menghancurkan dua mobil sebagai pembuktian totalitas.
Pertanyaannya, berapa persen dari biaya itu dialokasikan untuk membayar si penulis? Saya penasaran, sebab naskahnya seperti dihasilkan oleh karyawan yang sudah berbulan-bulan mengalami penunggakan gaji.
Buruknya naskah turut memunculkan kedangkalan penokohan. Karenina kembali berakting setelah enam tahun guna memerankan Ratu Iblis, yang hendak menghancurkan dunia sebelum berhasil dikurung oleh sesosok makhluk misterius. Jangan tanya identitas makhluk itu. Penulisnya saja mungkin tidak tahu.
Bagaimana interpretasi Karenina terhadap karakter dengan gelar "Ratu Iblis"? Dia tertawa, tertawa, dan tertawa. Sewaktu akhirnya dibebaskan oleh jajaran pengikutnya, hal pertama yang ia lakukan adalah melenguh. Pun walau dikelilingi es, sang ratu cukup percaya diri mengenakan gaun terbuka yang mengumbar perut, sembari berjalan layaknya model di atas panggung pertunjukan busana.
Pengarahan Sonu sebenarnya juga berkontribusi dalam terciptanya situasi absurd tersebut. Sonu ingin filmnya tampak seksi. Tapi apa daya, cuma kemesuman malu-malu yang mampu ditampilkan. Contohnya saat ia memakai slide show berisi pose-pose kamasutra untuk menggambarkan hubungan seks antara Ratu Iblis dengan sesosok siluman ular.
Singkat cerita, Ratu Iblis hamil. Bukan di perut, bukan pula di punggung layaknya Bayi Ajaib, namun di pantat. Tampilannya seperti bisul. Dari bisul pantat itu lahir Alena (Ciara Brosnan), yang dititipkan oleh sang ratu kepada Ratna (Wulan Guritno), pengikut setianya. Kenapa Alena tiba-tiba muncul di hadapan adik Ratna, Maya (Ririn Ekawati), beserta suaminya, Hendra (Temmy Rahardi)? Ratna bahkan terkejut mengetahui itu. Kalau demikian, apa tugas Ratna?
Percuma mempertanyakan logika dalam film yang enggan repot-repot memastikan koneksi internet tersambung saat karakternya menulis surel. Kita pun diperkenalkan pada Aslan (Ali Zainal), yang atas titah kakeknya, ditugasi memburu Alena alias Dajjal. Aslan melakukan investigasi yang cuma melibatkan kegiatan menempel foto di dinding, sembari bergulat dengan bipolar. Saya yakin riset sang penulis tentang bipolar hanya dilakukan via googling selama beberapa jam.
Masih banyak keajaiban lain dalam Alena Anak Ratu Iblis. Rentetan dialog konyol tanpa signifikansi, akting sekelas sinetron Indosiar, sampai tendensi "unik" Sonu menampilkan obrolan di foreground dan background secara bersamaan. Saya tidak berhak menghalangi kalian menontonnya, tapi jika memutuskan untuk meluangkan waktu dan uang bagi Alena Anak Ratu Iblis, anggaplah ini versi horor dari Azrax. Mungkin kalian bakal terhibur.
REVIEW - POTRET MIMPI BURUK
Di tengah malam, Bayu (Cornelio Sunny) melihat gadis bernama Hujan (Salvita Decorte) menangis, duduk meringkuk di samping kandang ayam. Sebelum mendekat, Bayu perlahan menaruh rokok yang tengah ia hisap ke tanah. Tidak ada perokok yang membuang rokoknya dengan cara demikian.
Sinema memiliki bahasanya sendiri. Logika boleh dikesampingkan demi pencapaian estetika, atau simbolisme bila ada. Cara Bayu menaruh rokok tidak menyuntikkan nilai apa pun. Tidak mempercantik adegan, tidak pula membawa pesan. Ismail Basbeth bak hanya ingin memperlambat tempo, sebagaimana yang ia lakukan selama 84 menit Potret Mimpi Buruk. Slow cinema yang berusaha terlalu keras menjadi slow cinema.
Pasca sekuen pembuka creepy di mana Hujan, yang dalam kondisi hamil, dikejar oleh sosok wanita berpakaian hitam (namanya pun "Hitam") dengan tawa mengerikan (Annisa Hertami), kita diajak melihat rutinitas dua manusia. Bayu memberi Hujan tempat tinggal, menyediakan kasur, membelikan makanan juga pakaian. Sesekali Hujan mengalami mimpi buruk yang membawanya ke tengah hutan tempat ia sebelumnya dihantui oleh Hitam.
Basbeth termasuk salah satu sineas lokal yang paling piawai mengolah penuturan lambat. Another Trip to the Moon (2015) dan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran (2017) jadi bukti nyata. Tempo lambat ia pakai untuk merangkai keindahan, memfasilitasi proses observasi penonton, sekaligus membangun atmosfer. Tidak jarang kengerian muncul dalam judul-judul di atas, yang notabene bukanlah horor. Sehingga "post-horror karya Ismail Basbeth" terdengar bak skenario sempurna.
Tapi ketimbang pameran kemampuan, di Potret Mimpi Buruk, Basbeth malah seperti menyajikan self-parody. Tempo lambat hanya sekadar lambat, sedangkan kekosongan tak melahirkan perenungan. Hanya rasa bosan. Seusai pemutaran, Basbeth bercanda tentang bagaimana proses pengambilan gambar di malam hari amat melelahkan sampai ia tertidur. Mungkin dia ingin menyalurkan perasaan tersebut dengan membuat penonton tertidur dalam studio.
Sekitar 45 menit pertamanya adalah ujian kesabaran tingkat tinggi. Ketika karakternya makan mereka hanya makan, ketika tidur hanya tidur, ketika mandi hanya mandi, dan seterusnya. Tanpa intensitas, tanpa perenungan untuk direnungkan. Salvita Decorte tampil meyakinkan sebagai wanita dengan kekalutan psikis, namun Cornelio Sunny muncul dengan akting ala siswa SD yang sedang belajar membaca puisi.
Lewat separuh perjalanan, naskah yang juga ditulis oleh Basbeth mulai coba membangun misteri. Mengapa Bayu punya banyak lukisan bergambar Hujan? Kenapa nantinya wajah di lukisan-lukisan itu berubah? Berbagai petunjuk tersebar secara subtil, tapi Potret Mimpi Buruk dengan gaya pretensius miliknya, gagal memancing ketertarikan agar penonton mau repot-repot memecahkan petunjuk tersebut.
Di sesi tanya jawab, Basbeth sempat khawatir filmnya kental dengan male gaze kala menuturkan soal kisah karakter wanita. Pertemuan Bayu dan Hujan dengan Awan (Karina Salim) si peramal akhirnya mengungkap identitas Hitam, pula rahasia ketiga manusia tersebut. Rahasia yang seolah berkata bahwa wanita korban perkosaan pun tidak semestinya melakukan aborsi. Potret Mimpi Buruk bukan sekadar male gaze. Dia lebih parah dari itu.
Third act-nya membawa sedikit perbaikan lewat beberapa momen yang cukup efektif menggedor jantung meski cuma sepersekian detik (shot kebakaran khas folk horror, penampakan tak terduga), juga penampilan kuat Karina Salim yang membuat konklusi nyaris tampil disturbing. Nyaris, sebab filmnya ditutup begitu mendadak. Pilihan ini sebenarnya dapat berhasil andai proses yang mendahuluinya tampil maksimal. Tidak ada mimpi yang lebih buruk dibanding menyaksikan salah satu sutradara paling berbakat di tanah air melahirkan karya seburuk ini.
(JAFF 2022)
REVIEW - JAGAT ARWAH
Bayangkan orang mabuk. Tubuh sempoyongan, kurang bertenaga, mata terasa berat, tapi mulutnya nyerocos tidak karuan sambil merasa omongannya pintar, padahal kelakuannya bodoh. Begitulah Jagat Arwah.
Entah apakah perumpamaan di atas tepat. Sebenarnya saya tidak terlalu peduli. Karena filmnya sendiri, terutama di departemen naskah, terkesan tak memedulikan kesejahteraan jiwa dan raga penontonnya. Berlebihan? Mungkin, tapi sekali lagi saya tidak peduli.
Pasca sekuen pembuka menjanjikan, yang tampak masif berkat visualisasi mumpuni, ditambah narasi menarik seputar mitologi dunianya, Jagat Arwah bak berjalan sambil tidur. Penonton pun bisa tertidur dibuatnya. Bisa jadi filmnya sengaja melakukan itu sebagai cara mempraktikkan ilmu rogo sukmo ke penontonnya.
Raga (Ari Irham) nama protagonis kita. Impiannya berkarir di jalur musik terbentur restu bapaknya, Sukmo (Kiki Narendra). Nah, betul kan? Nama karakternya saja "Raga" dan "Sukmo". Pasti ini subliminal message.
Tanpa Raga tahu, di balik profesi utama sebagai penjual obat, sang ayah adalah Aditya ke-6. Gelar "Aditya" disematkan secara turun temurun pada mereka yang bertugas menjaga keseimbangan jagat arwah dan jagat manusia. Sederhananya, DUKUN. Sukmo kerap dipanggil untuk mengusut kasus kesurupan. Apa namanya kalau bukan dukun?
Singkat cerita, Sukmo tewas dibunuh arwah jahat yang bersemayam di sebuah guillotine. Sejak itulah tugas sebagai Aditya otomatis turun ke Raga. Dibantu pamannya, Jaya (Oka Antara dengan dandanan ala Clint Eastwood di Dollars Trilogy), Raga mesti belajar memakai kekuatan Aditya melalui berbagai pelatihan yang.....well, tidak jelas. Sungguh. Apa tujuan suatu sesi latihan, ilmu apa yang tengah dilatih Raga, tidak pernah jelas. Tahu-tahu Jaya melempar pujian, "Hebat juga kamu". Saya pun menjawab "Matamu Jay!".
Begitu pun perihal mitologinya. Naskah yang ditulis Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) bersama sang sutradara, Ruben Adrian, berdasarkan cerita buatan Mike Wiluan (Buffalo Boys), melupakan berbagai detail penjelas. Mereka seperti asyik sendiri melempar beraneka ragam istilah sambil sesekali memakai diksi puitis, namun lalai melengkapi mitologi itu sendiri.
Filmnya diisi gagasan unik lewat peleburan mistisisme Jawa dengan fantasi. Ide membentuk "tim demit super" beranggotakan Genderuwo (Ganindra Bimo), Nonik (Cinta Laura Kiehl), dan Kunti (Sheila Dara) juga menarik. Sayang, pacing dalam pengadeganan Ruben Adrian membuat Jagat Arwah seperti berjalan sambil tidur. Bukan lambat, bukan pula kontemplatif, tapi draggy. Seperti orang mabuk yang blackout lalu diseret pulang secara paksa.
Aksinya tidak kalah melelahkan. Minim energi, bahkan acap kali berakhir terlalu cepat. CGI-nya tidak buruk. Jauh dari itu. Tapi sebagus apa pun CGI, jadi percuma jika pemakaiannya kurang pas. Berikan smartphone ke orang mabuk, berubahlah ia menjadi idiotic-phone. Maafkan kalau kali ini saya terlalu banyak memakai kiasan mabuk-mabukan. Karena menonton Jagat Arwah memberi sensasi serupa. Keluar dari studio, hangover seketika menyerang. Pusing. Pening. Bingung membedakan pagi, siang, atau malam. Oh, atau mungkin filmnya berhasil melakukan rogo sukmo?
REVIEW - THE SACRED RIANA 2: BLOODY MARY
The Sacred Riana 2: Bloody Mary dibuka oleh rekap film pertama, seolah pembuatnya mengakui bahwa penonton bakal melupakan ceritanya. Dan memang betul, karena selepas rekap pun saya tak mampu mengingatnya secara utuh. Tapi di luar penceritaan, The Sacred Riana: Beginning (2019) punya estetika memikat mata, serta terselip beberapa ide kreatif dalam caranya menakut-nakuti.
Selama ini horor-horor buatan Billy Christian cenderung jatuh ke area "tanggung". Potensial, menyimpan beberapa keunggulan, namun berujung tak maksimal. Bukannya membaik Billy justru merilis karya terburuknya sejauh ini. Jika saya melupakan alur Beginning bukan karena mau, namun sungguh saya berharap bisa melupakan pengalaman bernama The Sacred Riana 2: Bloody Mary.
Melanjutkan akhir film pertama, Riana mendapati boneka Riani miliknya kini berada di tangan siswi penghuni asrama Elodia. Dia pun pindah ke asrama yang dikelola Bu Martha (Roweina Umboh) tersebut. Boneka Riani rupanya disimpan oleh Elsa (Elina Joerg), yang bersama Merry (Shenina Cinnamon), Asia (Anindhita Asmarani), Rika (Helene Kamga), dan Anna (Sharon Sahertian), tergabung dalam kelompok perundung.
Demi mendapatkan Riani lagi, Riana meminta bergabung ke kelompok Elsa, dan sebagai syaratnya ia harus melakukan permainan bloody mary. Caranya sama seperti yang kita sering baca di internet, yakni menyebut nama Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Bisa ditebak, Bloody Mary (Carolina Passoni Fattori) benar-benar hadir menebar teror.
Teror macam apa? Sepanjang film Bloody Mary bakal muncul, kemudian menarik satu per satu korbannya ke dalam dunia cermin. That's it. Hanya itu yang ditawarkan naskah buatan Billy dan Andy Oesman selama kurang lebih 103 menit durasinya. Bloody Mary menampakkan diri, menculik korban, satu siswi hilang, karakter lain kebingungan, lalu Bloody Mary menampakkan diri lagi, menculik korban lagi, satu siswi hilang lagi.....you got the point.
Repetitif, tanpa upaya menawarkan misteri, atau mengeksplorasi hal apa pun. Persahabatan Riana-Anna tampil dangkal, sedangkan konflik cinta segitiga mendadak dipaksa masuk untuk memecah hubungan keduanya. Isu perundungan yang ditanamkan di awal dibiarkan berlalu begitu saja. Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, konklusinya membuat segala pelajaran yang para perundung terima jadi lenyap tanpa bekas.
Bicara soal konklusi, terdapat satu poin membingungkan. Ega (Armando Jordy), putera Bu Martha, menyelidiki kematian seorang siswi yang terjadi sebelum kedatangan Riana. Entah naskahnya lalai atau ingatan saya turut dihapus oleh Riana, tapi misteri tersebut tidak diberi penyelesaian.
Satu yang bisa saya apresiasi adalah desain artistiknya. Tidak luar biasa, tapi karena sangat familiar dengan lokasi syutingnya (Benteng Van Der Wijk terletak di kampung halaman saya), saya tahu bagaimana film ini berhasil menyulap benteng tua jadi asrama creepy yang nampak asing.
Sayangnya latar itu tak dibarengi teror memadai. Billy menanggalkan segala ide menarik film bertama untuk beralih ke trik berisik murahan. Sosok Bloody Mary punya tata rias creepy, tapi begitu dia bicara....YA TUHAN. Kenapa hantu dari Eropa, yang juga dikurung dengan mantra berbahasa asing, bicara memakai Bahasa Indonesia? Kenapa pula dia bicara seperti orang kepedasan yang baru menghabiskan 10 mangkuk seblak?
Naskahnya juga melakukan kecurangan tatkala Bloody Mary menyerang Ega, walau dia tak terlibat permainan memanggil namanya. Menurut Riana, itu terjadi karena Ega menghalangi jalan si hantu. Ada kalanya horor memerlukan suspension of disbelief agar bisa dinikmati, tapi ini terlalu bodoh. Sangat bodoh. Sebodoh cara karakternya mengalahkan Bloody Mary. Lebih baik Mbak Mary lanjut makan seblak saja.
REVIEW - BABY BLUES
Baby Blues punya salah satu naskah dengan perspektif paling memuakkan yang pernah saya tonton. Penyutradaraan memadai, departemen akting memuaskan, tapi naskah buatan Imam Darto (Pretty Boys, Selesai) bagai pembelaan tidak tahu malu dari laki-laki, saat disebut "kurang memahami kesulitan wanita pasca melahirkan". Ini bukan ketidakpekaan yang polos, melainkan seperti acungan jari tengah pada isu peran gender.
Dinda (Aurelie Moeremans) dan Dika (Vino G. Bastian) baru menyambut kelahiran bayi mereka. Dinda berhenti bekerja, guna mencurahkan seluruh waktunya untuk si buah hati. Tentu prakteknya tidak mudah. Apalagi ia mesti menghadapi kecerewetan ibu mertua (Ratna Riantiarno). Minimal ayah mertuanya (Mathias Muchus) selalu bersikap bijak, dan beberapa kali mengingatkan agar jangan mencampuri urusan keluarga anak mereka.
Sedangkan Dika, yang bekerja sebagai pelayan kafe, tak meringankan beban istri. Dia enggan bangun tengah malam tiap anaknya menangis, pula lebih memilih bermain PlayStation bersama teman-teman daripada membantu Dinda.
Lewat sekitar 30 menit, barulah elemen body-swap yang jadi jualan utama diperkenalkan. Tubuh Dinda dan Dika tertukar, selepas keduanya terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran yang cukup mengguncang berkat akting Vino dan Aurelie, yang sama-sama piawai meluapkan emosi. Pasca body-swap pun akting mereka masih jadi elemen terbaik Baby Blues. Aurelie lebih serampangan, sementara Vino berlaku feminin secara menggelitik tanpa harus menjadi karikatur murahan.
Film body-swap biasanya menukar tubuh dua tokoh agar mereka saling memahami perspektif masing-masing. Tapi naskah Baby Blues bukan berusaha menyamakan frekuensi karakternya, namun wujud pembelaan seperti telah disebut sebelumnya.
Dika bukan suami yang terhimpit keadaan. Menyadari kebutuhan finansial keluarganya meningkat sedangkan pemasukan menurun, bukannya lebih keras membanting tulang, ia cuma pasrah bekerja di cafe sepi konsumen. Dika jarang pulang bukan karena lembur, tapi untuk bermain PlayStation bersama temannya. Alias, Dika memiliki eskapisme. Dinda tidak. Seharian ia merawat anak, mendengarkan ocehan mertua, tanpa berkesempatan membahagiakan diri walau hanya sejenak.
Bagaimana mungkin, dengan kondisi di atas, naskahnya berani berkata, "Tolong pahami juga situasi suami"? Apa yang perlu Dinda pahami saat Dika enggan melakukan pengorbanan setara? Pernah mendengar laki-laki tidak mau kalah dengan membandingkan menstruasi dengan sunat? Kira-kira demikian film ini.
Pertukaran tubuhnya lebih ke arah ucapan, "Lihat? Berat kan kerja kayak suami?" ketimbang menghadirkan proses seimbang. Sebelum melahirkan, Dinda pernah bekerja. Tapi saat berada di tubuh Dika, ia digambarkan bak sama sekali buta soal mencari nafkah. Sebaliknya, Dika menjalani hari dengan lancar sebagai ibu, cepat belajar, tanpa melewati tekanan-tekanan layaknya sang istri. Di sini laki-laki digambarkan superior. Sangat superior, sampai bisa menjadi "ibu yang lebih baik" daripada wanita.
Bahkan tanpa menyinggung soal seksisme pun, naskahnya tetap kacau. Apa perlunya menambahkan konflik tentang mama Dinda (Aida Nurmala)? Saya rasa itu sebatas kebingungan penulis mencari cara guna mengakhiri kisah, hingga merasa butuh menyelipkan masalah baru sebagai jembatan penghubung.
Untunglah humornya cukup efektif memancing tawa. Selaku sutradara, Andibachtiar Yusuf punya sense serta energi yang menguatkan presentasi komedi yang membawa semangat over-the-top. Momen "kunjungan ke orang pintar" jadi contoh terbaik. Kemunculan karakter pria misterius memang inkonsisten, di mana kedatangannya tanpa pola sehingga kurang pas jika disebut "narator", tapi seperti biasa, Erick Estrada piawai melakoni keabsurdan semacam ini. Kejanggalan diubahnya jadi kelucuan.
Sampai lagi-lagi tabiat buruk Imam Darto kumat. Salah satu komedinya yang mengeksploitasi tubuh wanita bak berasal dari zaman kegelapan. Entah bagaimana adegan tersebut dituliskan, tapi kali ini Andibachtiar turut bertanggung jawab, saat menaruh fokus kamera ke tubuh wanita memakai male gaze murahan. Studio tempat saya menonton diisi cukup banyak orang, dan tak satu pun tertawa. Perasaan tidak nyaman kentara menyelimuti ruangan.
Di jalan pulang, saya melewati tempat sampah yang terisi penuh, dan anehnya hidung saya tak terganggu. Mungkin karena baru saja mencium aroma yang jauh lebih menjijikkan. Aroma insekuritas laki-laki.
REVIEW - ARINI BY LOVE.INC
Arini by Love.inc dibuat untuk membuat penonton makin mengenali Arini (Della Dartyan). Siapa dia sebenarnya? Bagaimana latar belakangnya? Seperti apa dinamika psikologisnya? Idealnya, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, jika film ini bertujuan "melengkapi" sosok Arini. Lucunya, Arini di dua film Love for Sale yang diselimuti kabut misteri, justru lebih kompleks, lebih manusiawi, juga lebih matang sebagai karakter.
Dikisahkan, Arini melamar pekerjaan sebagai agen Love.inc demi mencari kebahagiaan. Dia datang dalam kondisi sebatang kara, tanpa satu pun keluarga. Titik. Hanya itu tambahan informasi mengenai Arini yang film ini berikan. Seiring durasi, tak sedikitpun pemahaman akan Arini bertambah.
Kita diajak memasuki Love.inc. Di bawah pimpinan Diana (Marissa Anita), perusahaan ini tampak beroperasi dengan aturan luar biasa ketat. Agen diberi latihan intens secara rutin, bahkan segala detail kehidupan mereka turut diatur. Pun teramat canggih perusahaan ini, sampai mempunyai teknologi penghapus memori, guna memperkuat kontrol terhadap para agen. Bila ada agen dinilai bermasalah, memorinya langsung dihapus.
Sehingga memunculkan tanda tanya, bagaimana mereka bisa begitu buruk dalam menangani masalah SDM? Masalah yang saya maksud datang dari Tiara (Kelly Tandiono), yang kerap memberontak. Tiara mampu mengakali agar memorinya tak terhapus, dan perusahaan menyadari itu. Tapi kenapa tidak ada penanganan ekstra?
Nantinya, Tiara dan Arini bersinggungan jalan. Setiap malam, keduanya diam-diam bertemu tanpa diketahui siapa pun. Ya, Love.inc yang konon sdemikian canggih, punya kualitas pengamanan luar biasa buruk. Tiara berusaha mengingatkan Arini soal identitas dirinya. Salah satunya lewat buku berisikan gambar-gambar yang dibuat Arini sebelum ingatannya dihapus.
Ada gambar kura-kura dan sesosok pria tanpa wajah di situ, yang tentu saja merujuk pada Richard (Gading Marten) dari film pertama. Arini menuangkan kenangannya di situ, sebagai alat bantu mengembalikan ingatannya. Kalau begitu kenapa tidak sekalian membuat catatan yang gamblang?
Naskah buatan Adrianto Sinaga dan Widya Arifianti bak gemar mengambil jalan yang sulit untuk memancing masalah, namun saat tiba waktunya masalah itu diselesaikan, simplifikasi malah diterapkan. Misal ketika sang protagonis hendak membuka komputer milik Diana. Bagaimana bisa Arini, dari jarak sedemikian jauh, melihat password yang Diana ketik? Kalau ada manusia dengan mata setajam Arini, habis sudah ATM banyak orang dia bobol.
Di luar kapasitas penglihatan di atas rata-rata manusia, apa lagi elemen penokohan Arini? Rupanya tak ada. Hilang sudah kompleksitas Arini, yang merenungkan makna cinta dan kemanusiaan di Love for Sale. Arini di sini hanya didefinisikan oleh upayanya mencari tahu siapa identitas pria di bukunya. Penokohannya dangkal, bahkan Della Dartyan bagai berakting dalam kebingungan di sepanjang film.
Ketimbang mengeksplorasi karakter, atau minimal mengolah daya tarik genre fiksi ilmiah yang membedakannya dari dua film pertama, Arini by Love.inc didominasi situasi menjemukan, dipenuhi obrolan yang ingin terdengar cerdas, walaupun sebenarnya kosong. Naskahnya hendak menyentil eksploitasi korporasi pada pekerja, namun kritik itu terkesan bukan didorong oleh keinginan tulus penulis untuk menyuarakan isu, melainkan bentuk pemaksaan agar alurnya terlihat berbobot. Ibarat aktivis yang berjuang didasari hasrat mendapat pengakuan alih-alih kepedulian nyata.
Kembalinya Adrianto Sinaga di kursi penyutradaraan setelah 12 tahun berujung kekecewaan. Pacing-nya melelahkan, sementara pengarahan di beberapa adegan yang menuntut intensitas tinggi terasa canggung. Tawa yang tak disengaja lebih sering muncul daripada ketegangan. Diharapkan menjadi kapal yang membawa Love for Sale berlayar lebih jauh, Arini by Love.inc justru karam di tengah jalan.
(Bioskop Online)
REVIEW - MERINDU CAHAYA DE AMSTEL
Merindu Cahaya de Amstel diadaptasi dari novel berjudul sama buatan Arumi E, yang konon terinspirasi kisah nyata seorang wanita Belanda, Marien (Amanda Rawles), yang memutuskan jadi mualaf setelah hidupnya hancur. Pacarnya berselingkuh lalu menyebarkan video pribadi mereka, membuat orang tua Marien yang religius mengusirnya. Marien coba bunuh diri. Beruntung, Fatimah (Oki Setiana Dewi) menemukannya tepat waktu.
Marien, yang berganti nama menjadi Khadija, merasa Islam memberinya "kesembuhan". Lewat cara apa? Bagaimana Khadija mampu mentas dari titik terendahnya? Entahlah. Melalui flashback, kita cuma melihat Fatimah memakaikan hijab, saat Khadija menanyakan cara untuk menjadi manusia yang lebih baik. Itulah permasalahan Merindu Cahaya de Amstel. Terlalu menggambangkan, dangkal, mendahulukan tampak luar ketimbang unsur spiritual.
Kebetulan (disebut "takdir Allah" oleh filmnya) Khadija bertemu Nicholas (Bryan Domani), seorang fotografer jurnalistik. Nicholas tidak sengaja memotret Khadija, dan alangkah terkejut ia, kala foto itu memperlihatkan tubuh si wanita memancarkan cahaya. Terdengar bak "berita" sensasional yang gemar dibagikan boomers di grup WhatsApp, tapi biarlah.
Bersama rekannya, orang Indonesia bernama Joko (Ridwan Remin), Nicholas berniat menjadikan Khadija narasumber untuk artikel mengenai wanita muslim Eropa. Ada poin menarik tentang dua protagonis kita. Mereka lancar berbicara Bahasa Indonesia, sebab sama-sama pernah tinggal di Indonesia. Sungguh kebetulan (baca: takdir Allah) yang luar biasa. Setidaknya film ini mau susah payah mencari alasan, daripada secara ajaib membuat orang Belanda tulen fasih berbahasa Indonesia.
Kebetulan (baca: takdir Allah) kembali menampakkan kuasanya, dengan mempertemukan Khadija dan Kamala (Rachel Amanda), mahasiswi asal Indonesia. Mereka akhirnya bersahabat, meski Kamala terkadang kurang nyaman di dekat Khadija, yang dianggapnya seperti guru agama. "Kamu hidup bebas, sama seperti wanita-wanita di sini", ucap Nicholas pada Kamala. Oh, sudahkah saya menuliskan soal kebetulan (baca: takdir Allah) yang turut mempertemukan Nicholas dan Kamala?
Sebebas apa hidup Kamala? Jawabannya, dia tidak pernah salat. Kamala selalu jengah tiap sang ibu (Maudy Koesnaedi) menelepon jam lima pagi agar dia salat subuh. Tapi Kamala tidak mabuk-mabukkan, tidak menganut seks bebas, tidak suka clubbing, bahkan menerapkan larangan membawa masuk pria ke apartemennya. Jadi bagian mana yang di mata Nicholas "seperti wanita Belanda?".
Harus diakui 30 menit pertamanya menyenangkan. Empat karakter saling bertegur sapa, bercanda, bertukar cerita, diperankan empat aktor yang ahli berkomunikasi. Rachel selalu natural, Ridwan tak pernah gagal memancing tawa, sedangkan Bryan-Amanda, meski kerap mengalami inkonsistensi logat (beberapa kali berubah dari "bule berbahasa Indonesia" ke "orang Jakarta biasa"), sanggup menghindari kesan hiperbolis dalam akting mereka. Bryan tidak berusaha keras agar terlihat keren, Amanda tidak berlebihan sebagai sosok wanita solehah. Di titik ini, pengarahan Hadrah Daeng Ratu pun menitikberatkan pada interaksi sederhana alih-alih dramatisasi.
Sayang, seiring meningkatnya kuantitas konflik, semakin kualitas film menurun. Kisah cinta segitiga klisenya bisa dimaklumi, mengingat itu elemen khas genre romansa religi yang digandrungi target pasarnya (remaja-remaja wanita di studio tempat saya menonton jelas memberi respon positif), namun beberapa subplot yang lebih "berat" justru lebih mengganggu.
Sebagaimana saya singgung di atas, Merindu Cahaya de Amstel adalah suguhan religi dangkal. Mengangkat perihal agama tanpa pembahasan tentang batin, spiritual, atau semacamnya. Khadija akhirnya menerima tawaran Nicholas sebagai narasumber, dengan harapan bisa mengangkat soal wanita muslim di Eropa. Seperti apa wanita muslim di Eropa? Kisah apa yang mereka lalui? Tidak pernah jelas, sebab penuturan Khadija pun hanya ditampilkan sambil lalu. Mendadak di penghujung durasi, disebut bahwa ceritanya tersebar luas dan dikagumi warga Eropa. Cerita apa?
Muncul kesan jika Merindu Cahaya de Amstel sebatas mendefinisikan wanita muslim Eropa (atau wanita muslim secara keseluruhan) melalui tampilan luar saja. Selalu pemakaian hijab yang dibahas. Ingin jadi manusia yang lebih baik? Pakailah hijab. Ingin menjadi muslimah yang membanggakan sang ibu? Pakailah hijab. Tidak lupa, naskah buatan Benni Setiawan (tentu seorang pria), melempar analogi permen saat membahas alasan wanita perlu menutup aurat.
Film ini menganggap wanita bak permen yang sebaiknya tetap dibungkus? Baik. Saya juga bisa memakai analogi serupa. Merindu Cahaya de Amstel juga sebaiknya tetap dibungkus. Biarkan saja DCP-nya tersimpan di dalam lemari. Tidak perlu ditayangkan. Sayang kan? Sudah keluar banyak uang untuk memproduksi DCP, kok malah disebarkan ke bioskop-bioskop. Nanti rusak lho!
REVIEW - MENUNGGU BUNDA
Seusai pemutaran, Richard Oh selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menyampaikan bahwa Menunggu Bunda terinspirasi dari pengalamannya merawat sang ibunda di rumah sakit. Richard mempertanyakan, "Apakah ibu sedang menderita?". Saya mendengar kejujuran (dan pilu) di balik kata-katanya. Saya begitu ingin menyukai Menunggu Bunda, tapi tak bisa.
Walau jujur sekaligus personal, sayangnya ini karya terlemah Richard. Di bawah eksperimentasi gerak yang kurang berhasil di Love is a Bird (2018), pula di bawah Perburuan (2019) yang juga kurang berhasil selaku adaptasi novel.
Sejak melihat Putri Ayudya dibalut tata rias seadanya guna memerankan wanita 53 tahun bernama Yenny, saya sudah mencium ketidakberesan di sini, walau akting Putri tetap elemen terbaik Menunggu Bunda. Alkisah, Yenny tengah koma. Ketiga anaknya, Alya (Adinda Thomas), Alma (Steffi Zamora), dan Andra (Rey Mbayang), juga sang suami yang menderita alzheimer, Marsio (Donny Damara), bersama-sama menjaga Yenny. Jika selama ini Yenny bersabar menunggu ketiga anaknya beranjak dewasa, sekarang giliran mereka menunggu sang bunda membuka mata.
Selain Yenny sekeluarga, kita juga melihat diskusi antara Dr. Myra (Gisele Calista) dan Dr. Miyagi (Nobuyuki Suzuki), terkait penanganan terbaik bagi si pasien. Konon, Dr. Miyagi adalah figur terkemuka. Seorang profesor dari Universitas Tokyo. Tapi jangankan urusan menjelaskan perihal medis, cara berdirinya kala "mengecek" kondisi Yenny saja lebih tampak seperti orang kebingungan ketimbang dokter ahli. Canggung.
Menunggu Bunda adalah sajian canggung, termasuk soal penuturan. Entah satu lagi eksperimentasi atau murni inkonsistensi (baca: kebingungan), Richard memadukan warna arthouse dan melodrama, yang alih-alih saling melengkapi dan membentuk hibrida menarik, justru bertentangan bagai air dan minyak.
Nuansa melodrama mayoritas diciptakan musik mendayu-dayu yang penggunaannya berlebihan. Sedikit saja ada perubahan emosi, musik seketika menggelegar, seolah ada karakter meregang nyawa, atau hendak terjadi perkelahian.
Di seberang Yenny, dirawatlah pria tanpa nama, dengan perban di sekujur tubuh layaknya mumi. Pada suatu kesempatan, si pria membaca buku harian, tampak tersentuh sembari mengucapkan nama "Santi", kemudian scoring mengharu-biru terdengar, bak memerintah penonton, "Waktunya kalian bersedih". Tapi siapa Santi? Siapa si pria mumi? Kenapa kita mesti menangisi karakter yang tidak kita kenal?
Si pria mumi dan penjaga toilet yang selalu kesulitan mengisi TTS (Paul Agusta), mewakili sisi artsy filmnya. Sosok-sosok misterius yang berguna merepresentasikan gagasan, ketimbang perwujudan manusia sepenuhnya sesuai realita. Keduanya seperti berasal dari film yang berbeda dengan Yenny sekeluarga.
Naskah buatan Richard berniat menggugat perspektif tradisional tentang keluarga. Bagaimana keluarga tidak melulu harus punya hubungan darah. Siapa pun bisa menjadi keluarga yang kita sayangi. Sayangnya, daripada mengeksplorasi secara mendalam, poin tersebut hanya tampil sekelebat, sebelum diposisikan sebagai twist jelang akhir.
Mungkin Richard ingin menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara keluarga sedarah dan tidak, sehingga kisahnya dipresentasikan serupa drama keluarga biasa, sambil merahasiakan fakta mengenai tokohnya. Tapi, seperti permasalahan musik si pria mumi, bagaimana penonton bisa terhubung secara emosional dengan sesuatu yang kita tidak tahu?
Richard menyimpan gagasan-gagasan. Mengenai konsep keluarga, hidup-mati, dan lain-lain. Gagasan, setelah dipoles di sana-sini, berkembang jadi penceritaan. Menunggu Bunda belum tuntas melewati fase tersebut, dan berhenti sebagai gagasan belaka. Kebetulan seusai film ini, saya langsung menonton Just Mom milik Jeihan Angga, yang mengangkat tema sama, namun dengan hasil yang berbanding terbalik.
(JAFF 2021)
REVIEW - PARANOIA
Saya menghabiskan 20 menit menatap layar kosong, bingung harus mulai menulis dari mana. Ada perasaan tidak percaya, bahwa kolaborasi trio Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto, yang pernah melahirkan Petualangan Sherina (1999) serta Ada Apa dengan Cinta? (2001), pula keberadaan Nirina Zubir, Lukman Sardi, dan Nicholas Saputra di depan kamera, berujung film seburuk Paranoia. Seburuk-buruknya thriller adalah saat ketegangan digantikan oleh tawa akibat kekonyolan.
Alurnya mengisahkan tentang Dina (Nirina Zubir), yang setelah berkali-kali pindah guna menghindari kejaran sang suami, Gion (Lukman Sardi), kini akhirnya menetap di Bali bersama puterinya, Laura (Caitlin North-Lewis). Dina kabur akibat tidak tahan lagi dengan perilaku abusive Gion. Biarpun sudah berpisah, pun Gion sekarang tengah mendekam di penjara, Dina tak pernah bisa lepas dari kecemasan. Apalagi ia membawa barang yang amat berharga bagi Gion.
Pasca Gion dibebaskan karena pandemi, kecemasan itu datang lagi. Dina percaya, di mana pun ia bersembunyi, Gion dapat menemukannya. Alhasil, saat muncul pria tak dikenal bernama Raka (Nicholas Saputra), kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah Raka cuma kebetulan berada di dekatnya, ataukah ia orang suruhan Gion?
Ada begitu banyak potensi penceritaan, sebutlah perihal kecurigaan Dina kepada Raka, trauma KDRT yang tak pernah benar-benar lenyap, hingga paralel antara ketakutan protagonis dan ketakutan massa semasa wabah COVID-19 (poin terakhir mungkin memang bukan tujuan filmnya). Semua cocok sebagai pondasi thriller psikologis. Tinggal mana yang mau dijadikan sorotan utama oleh Riri, Mira, dan Jujur selaku penulis naskahnya.
Tapi di antara semua potensi itu, tak satu pun mampu diolah dengan baik. Presentasi sikap paranoid Dina bak pemenuhan kewajiban semata. Bukan bentuk pendalaman cerita, bukan pula elemen penambah ketegangan. Tidak berlebihan menyebut Paranoia sebagai "thriller nihil ketegangan".
Rangkaian peristiwanya cuma numpang lewat. Misal ketika Dina menaruh kecurigaan pada Raka. Diungkapkannya itu ke Laura (karena sang puteri terus mengunjungi Raka), kemudian ia lakukan pencarian via Google, lalu selesai. Penonton tidak dibuat ikut menduga-duga, misalnya lewat tindak-tanduk misterius Raka. Filmnya ingin membuat penonton memedulikan Dina dan Laura, tetapi saya malah berharap ada hal buruk menimpa keduanya, agar minimal terjadi sesuatu yang signifikan.
Daripada invenstigasi, Paranoia lebih tertarik mengeksploitasi obsesi publik terhadap Nicholas Saputra. Betapa menawan dia, sampai bisa memikat hati ibu dan anak (Laura "mengklarifikasi" bahwa ia melihat figur ayah dalam sosok Raka, tapi saya yakin bukan kesan itu yang penonton dapat). Jumlah adegan flirting lebih banyak dari ketegangannya, hingga di titik terasa bagai fan fiction murahan.
Implementasi era pandemi, khususnya terkait penggambaran karakternya memakai masker juga menggelikan (kerap tampak seperti iklan layanan masyarakat), namun bagian terkonyol tentu klimaksnya. Aksi perkelahian yang harusnya jadi puncak intensitas malah tersaji luar biasa canggung. Pengarahan, pilihan shot, penyuntingan, semua canggung.
Kemudian konklusinya.....astaga. Baik naskah maupun penyutradaraan sama-sama bertanggung jawab di sini. Bagaimana mungkin konklusi seburuk ini, sekonyol ini, sebodoh ini, dicetuskan oleh sosok-sosok sehebat Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto? Bagaimana mungkin setelah gambar diambil, mereka melihatnya, lalu berkata, "Ya, ini bagus"? Andai Paranoia dibuat oleh Nayato atau Baginda KKD, saya bakal maklum.
Akibat keterbatasan? Rasanya tidak, dan itu bukan alasan masuk akal, mengingat para pembuatnya pernah membidani Kuldesak (1997), yang dibuat diam-diam dengan segala keterbatasan di bawah represi rezim. Entahlah. Sungguh menyedihkan.
Setidaknya departemen akting memberi hasil positif. Nirina amat kuat, berkat totalitas melakoni momen-momen penguras emosi, sementara Lukman Sardi meyakinkan sebagai suami menjijikkan sekaligus kriminal intimidatif. Caitlin North-Lewis pun menampakkan potensi menjanjikan, selama di masa depan nanti, pilihan film dan perannya tepat. Nicholas Saputra? Tidak buruk, hanya saja, sang aktor tak diberi materi memadai, dan seolah cuma ada untuk memancing teriakan histeris penggemarnya. Saya juga berteriak. Teriakan saat meratapi kualitas Paranoia.
REVIEW - GHIBAH
Saya punya kenalan yang....."unik". Bercandaannya selalu garing. Begitu garing, sampai sering terasa menyebalkan. Tapi saat serius malah bisa membuat teman-teman tertawa, karena dia sangat buruk dan canggung dalam tiap hal yang dilakukan secara sungguh-sungguh.
Orang itu sekarang sehat. Tapi saya tidak, gara-gara menonton Ghibah, yang ciri-cirinya hampir sama, bahkan lebih parah, dibanding teman saya tadi. Sewaktu melempar humor (yang mana kerap dilakukan), saya malah kesal, karena selain sering tidak lucu, pula berkali-kali salah tempat. Sebaliknya, ketika meneror, hasilnya buruk, cenderung konyol, hingga memancing tawa.
Jadi, bagaimana ghibah bisa berujung maut? Pertama, mari berkenalan dulu dengan Firly (Anggika Bolsterli), seorang mahasiswi yang aktif terlibat di kegiatan jurnalistik kampus. Firly adalah vegetarian, sehingga kala diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) yang sakit untuk meliput acara penyembelihan kurban, Firly sebenarnya keberatan.
Terkejutlah Firly, saat mendapati unggahan foto di Instagram Yola, yang memperlihatkannya sedang berada di hotel. Esoknya, Firly marah-marah di depan umum, menuduh Yola "check-in" di hotel dan meninggalkan tanggung jawab. Artinya, FIRLY SUDAH MELAKUKAN GHIBAH!! (cue musik dramatis).
Apa dampaknya? Tentu saja didatangi jin Ifrit. Karena dosa serta ancaman siksa api neraka saja tidaklah cukup. Firly berhalusinasi, dari mengelupas kulit wajah (dalam balutan gore over-the-top yang harus diakui cukup efektif), sampai memakan daging yang dia kira tempe. Teman satu kosnya, Okta (Adila Firti), juga bernasib sama, akibat menulis berita palsu tentang perselingkuhan dosen dan mahasiswi.
Kenapa tidak semua pelaku ghibah didatangi Ifrit? Naskah buatan Monty Tiwa (juga sebagai sutradara), Aviv Elham, Riza Pahlevi, dan Vidya Talisa Ariestya, luput menerapkan standar pasti terkait kehadiran Ifrit. Apakah saya yang terpancing melakukan ghibah di grup Whatsapp dan Twitter saat menonton film ini juga bakal dihantui? Kalaupun iya, setidaknya saya hafal ayat kursi, yang rupanya cukup untuk menumpas Ifrit, sebagaimana dilakukan Asri Welas.
Anda tidak salah baca. Asri Welas memerankan Umi Asri, ibu kos Firly sekaligus keturunan Mataram yang sakti. Pilihan tidak biasa, namun saya mengapresiasi. Tidak semua karakter orang sakti atau dukun atau indigo harus digambarkan serius, misterius, dan memakai baju serba hitam. Pun Asri, bersama Opie Kumis (memerankan Mang Opie, suami Umi Asri), tetap menangani momen komedik, yang seperti saya sebutkan, tidak lucu.
Bukan salah keduanya. Naskahnya memaksa menabur komedi setiap ada celah. Selain Asri dan Opie, dua penghuni kos lain, Ulfa (Arafah Rianti) dan Dina (Zsa Zsa Utari) juga dituntut melakukan hal serupa. Jika diibaratkan masakan, humor film ini bukan bumbu, melainkan tambahan lauk yang terus dijejalkan ke mulut kita, sampai terasa muak dan mual.
Saat tidak melucu, Ghibah malah mengocok perut lewat kekonyolan, yang muncul karena eksekusi buruk. Misal, penampakan hantu di handphone Firly yang bak sedang selfie sambil memasang pose sok genit, ucapan "sosisnya enak ya" dari mulut Yola sewaktu berhalusinasi dan memakan jarinya sendiri, sampai desain hantu berlidah panjang yang mengingatkan ke boneka-boneka berwajah tumpahan bubur ayam khas era keemasan Dheeraj Kalwani alias Baginda Maha Besar KKD dahulu. Oh, benar juga. Saya lupa Ghibah diproduksi Sang Agung KKD. Mau berharap apa lagi?
Masih banyak contoh lain, tapi kalau dilanjutkan, saya khawatir Ifrit benar-benar datang. Jadi, mari beralih ke pujian. Anggika Bolsterli tampil total. Ekspresi takut, jijik, semua dilakukan 100%. Tapi Anggika pantas mendapat film yang 12483749 kali lipat lebih bagus. Dia pantas mendapat tantangan lebih, di horor yang memberinya materi memadai.
Teror apa yang paling sering menimpa Firly? Jawabannya, "kecipratan". Kecipratan darah kambing, darah teman sendiri, sampai cairan hijau kehitaman dari toilet. Rasanya itu cukup menjelaskan, seberapa kreatif orang-orang di balik Ghibah. Film ini lebih tepat disebut Kecipratan The Movie.
Tersimpan beberapa niat baik di sini, seperti menyampaikan wejangan agar menghindari ghibah, dan mengutarakan tentangan atas kekerasan hewan. Bagus, meski bakal lebih bagus kalau diimbangi dengan kualitas yang juga bagus.
Ada pula upaya menghembuskan diversity melalui karakter Dina, yang beragama Kristen, dan diajak ikut berdoa sesuai kepercayaannya ketika proses pengusiran jin. Tapi menjadi percuma, karena pada akhirnya, film ini tetap Islam-sentris. Dina malah seperti terkucilkan, layaknya minoritas di realita, yang terjebak dalam hegemoni para mayoritas, yang.....ah, sudahlah. Saya sudah melantur. Ghibah memang film tentang anti-ghibah yang memancing penontonnya untuk melakukan ghibah.
Available on DISNEY+ HOTSTAR