Tampilkan postingan dengan label Western. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Western. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE POWER OF THE DOG

The Power of the Dog sangat kompleks. Bukan disebabkan alur rumit, tapi karena Jane Campion menekankan, bahwa setiap permasalahan, apalagi saat menyangkut gejolak batin manusia, tidak hitam-putih. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Thomas Savage, Campion memang melempar isu, namun tokoh-tokohnya bukan alat penghantar pesan. Mereka adalah manusia, yang dengan segala kompleksitasnya berdinamika. 

Berlatar Montana tahun 1925, wild west tengah bertransisi menuju dunia modern. Di bidang teknologi, mobil mulai menggantikan kuda sebagai alat transportasi. Sedangkan manusianya makin meninggalkan kekolotan pikir. Tapi semaju apa pun peradaban, selalu ada kontradiksi, dari pihak yang menyambut dengan tangan terbuka, dan pihak yang kukuh bertahan di perspektif konservatif.

George (Jesse Plemons) dan Phil (Benedict Cumberbatch) adalah kakak-beradik yang mewakili dua sisi berlawanan tadi. George berpakaian rapi serta tahu sopan santun, sedangkan Phil cenderung semaunya. George memperkenalkan budaya "mandi dalam rumah", ketika Phil untuk mandi saja masih malas. 

Phil bak dinosaurus yang menolak punah, terus mengejar masa lalu sambil menganut paham machismo kuno, yang mengindentikkan "kejantanan" dengan tubuh kotor atau kulit gelap hasil sengatan sinar matahari. Ya, hal-hal yang hingga kini tetap dipegang teguh banyak pria Indonesia, selaku bukti bahwa negeri ini tertinggal 100 tahun.

Sejatinya Phil bergulat dengan kesepian. Menghina George yang dianggap "kurang jantan" jadi hiburannya, dan cuma cerita mengenai Bronco Henry, mentornya dalam berkuda, yang bisa Phil banggakan. Dia punya banyak anak buah yang patuh, tapi satu-satunya teman Phil adalah kejantanan. Maka, ketika George menikahi janda bernama Rose (Kirsten Dunst), timbul perselisihan.

Phil menganggap Rose cuma mengincar harta saudaranya. Pun ia begitu membenci putera Rose, Peter (Kodi Smit-MchPhee), yang pendiam dan cenderung feminin dibanding citra koboi yang amat Phil agungkan. Phil terus melempar intimidasi layaknya alpha male yang ingin dipuja serta diakui kuasanya. Tapi semakin ia melakukan itu, semakin ia tampak menyedihkan, terjerumus dalam kesepian, yang nampak dalam performa subtil Cumberbatch.

Cumberbatch menyampaikan kegundahan karakternya melalui mata. Seiring memburuknya perangai Phil, tatapannya justru makin kosong. Mulutnya mengeluarkan ujaran kebencian bagi orang lain, namun matanya seperti menatap ke arah cermin, seolah tengah meratapi diri sendiri. Apakah The Power of the Dog tengah mengutuk pria-pria seperti Phil? Bisa jadi, tapi seperti sudah saya sebutkan, filmnya tak sesederhana itu. 

Phil bukan semata perwujudan pria dengan "little dick energy" yang eksis hanya untuk kita benci. Dia adalah manusia yang kompleks. Titik balik di pertengahan film menegaskan itu, kala arah cerita bergeser, sembari memperluas perspektifnya. Caranya tidak baru. Sudah berkali-kali elemen serupa dipakai oleh film yang membicarakan seksualitas. Tapi bagaimana ia menyentil maskulinitas, menghembuskan napas homoerotisme ke dalam kultur yang memuja kejantanan secara berlebih (mengingatkan pada salah satu rilisan terbaik tahun 2005), menjadikannya spesial. 

Walau demikian, jangan berkonsentrasi pada pesan. Sekali lagi, The Power of the Dog bukan (sebatas) medium penyampai pesan, melainkan kisah berisi sekumpulan individu yang "kebetulan" mewakili wajah beberapa isu. Ending-nya, yang tersusun rapi atas detail-detail yang tersebar sepanjang 126 menit durasi lalu diam-diam menusuk, tak berpusat pada isu, namun dampak dari gesekan manusia-manusia tertentu, yang bertemu di sebuah zaman tertentu.  

The Power of the Dog cenderung mencengkeram penontonnya secara perlahan. Pengarahan Jane Campion (yang kembali ke performa terbaik layaknya The Piano 28 tahun lalu), bagaikan sesosok tetua bijak, yang bercerita dengan lembut, penuh kesabaran, tetapi tahu kapan mesti memberi penekanan, tanpa memaksa kita agar terus memperhatikan. Kitalah yang pasrah membiarkan diri terserap ke dalam ceritanya. 

(Netflix)

REVIEW - THE HARDER THEY FALL

Di awal kelahirannya, genre western kerap dipakai untuk menggambarkan kedigdayaan kulit putih. Mereka adalah jagoan tak terkalahkan, sedangkan POC (Person of Color), terutama suku indian, identik dengan kebuasan, keterbelakangan, kejahatan. Seiring waktu, tren bergeser, kemudian lahir revisionist western. The Harder They Fall termasuk salah satu revisionist yang tidak tanggung-tanggung dalam mengutak-atik formula konvensional genrenya. 

Seluruh cast utamanya adalah kulit hitam, yang mana jarang dilakukan oleh revisionist western sekalipun. Sejauh yang saya tahu, hanya Buck and the Preacher (1972), Thomasine & Bushrod (1974), dan Rosewood (1997) yang mendekati, pun ketiganya tetap menampilkan bintang kulit putih. 

Kisahnya fiktif, namun tokoh-tokoh di naskah buatan Boaz Yakin (Now You See Me) dan sang sutradara, Jeymes Samuel, dibuat berdasarkan figur-figur dunia nyata. Nat Love (Jonathan Majors) jadi protagonisnya. Seorang bandit, yang bersama dua rekannya, Jim Beckwourth (RJ Cyler) dan Bill Pickett (Edi Gathegi), mengkhususkan diri mereka merampok dari para kriminal. Tapi Love menyimpan tujuan lain, yakni balas dendam.

Dendam itu ia alamatkan kepada Rufus Buck (Idris Elba), bandit keji yang 20 tahun lalu membunuh orang tua Love, sekaligus memberinya bekas luka berbentuk salib di jidat. Begitu mengetahui Buck sudah bebas dari tahanan, Love, dibantu mantan pacarnya, Stagecoach Mary (Zazie Beetz), Cuffee (Danielle Deadwyler) yang bekerja di saloon kepunyaan Mary, dan marshal bernama Bass Reeves (Delroy Lindo), berniat menuntaskan aksi balas dendam tersebut.

Hal paling menonjol di film ini jelas soal gaya. Black revisionist western tidak sepenuhnya baru bagi Samuel. Tahun 2013 ia pernah membuat film pendek They Die by Dawn. Ditambah pengalaman menggarap video klip Legacy milik Jay-Z, sekaligus statusnya selaku musisi (Samuel juga adik penyanyi legendaris, Seal, yang bersama Jay-Z turut mengisi soundtrack), The Harder They Fall membawa western ke ranah modern baik dari segi audio maupun visual.

Lagu-lagunya bukanlah yang jamak didengar di film western, melainkan membentang dari hip hop hingga reggae. Visualnya, terutama sebagai pembungkus aksi, diisi tata kamera dinamis, gerak lambat, dan pastinya kekerasan berdarah. "Keren" adalah kata yang diinginkan Samuel agar terucap dari mulut penonton kala menyaksikan filmnya, dan ia berhasil. 

Begitu pula pendekatan jajaran cast terhadap peran masing-masing. Saat berkata, bergestur, berjalan, bahkan berdiri diam pun, mereka berlaku bak "the coolest motherfuckers in the world". Beetz yang makin memesona sejak mencuri perhatian di Deadpool 2 (2018), Lakeith Sanfield sebagai Cherokee Bill, penembak cepat anak buah Buck yang misterius, sampai Regina King sebagai Trudy Smith, tangan kanan Buck yang brutal nan berkarisma. 

Tapi tidak ada yang sanggup menandingi aura Idris Elba. "The name Rufus Buck instills fear", kata Mary. Kita dibuat memercayai itu. Percaya kalau Rufus Buck benar-benar mengerikan, walau dalam memaparkan latar belakang karakternya, The Harder They Fall memakai pendekatan "konon katanya". Elba tetap kokoh, meski upaya naskah menambah kompleksitas bagi karakternya, dengan memberi motivasi soal "mencari promised land", yang mana salah satu ciri narasi western, hanya dikemas seadanya. 

The Harder They Fall memang tipikal tontonan style over substance. Kala adegan aksi absen dari layar, praktis cuma pesona aktor-aktornya saja yang tersisa. Cerita lebih sering absen, sebelum mendadak muncul jelang akhir, dalam bentuk twist, yang tujuannya sebatas untuk mengejutkan penonton. Tidak menambah bobot emosi sebagaimana diharapkan, tidak memberi pengaruh dan/atau konsekuensi terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya. Twist itu pun menghapus potensi epic showdown yang telah dinantikan sedari awal. 

Biarpun melewatkan peluang menghantarkan konklusi epik, The Harder They Fall tetaplah tontonan menghibur penuh gaya. Setidaknya sebelum twist tersebut, filmnya konsisten dengan pendekatan "senang-senang", menolak terlampau serius, bahkan tak jarang menggelitik. Misalnya saat membawa kita mengunjungi Marysville, yang selain berfungsi melempar satir, juga menunjukkan pencapaian tata artistiknya. Tengok komparasi visual Marysville alias "a white town" dengan Redwood. Ketika kota pertama tampak monoton, kota kedua sebaliknya, dihiasi beraneka warna. Memikat mata sekaligus menyentil rasa. 

(Netflix)

REVIEW - CONCRETE COWBOY

Ada kemiripan antara debut penyutradaraan Ricky Staub ini, dengan Nomadland. Sama-sama mengangkat komunitas yang terpinggirkan oleh zaman (serta ketidakadilan sosial), keduanya turut menampilkan figur nyata dari tiap komunitas, sebagai pemeran pendukung guna memperkuat kesan organik. Pertanyaan "Kenapa tidak sekalian membuat dokumenter saja?" pun muncul. Bedanya, di karya Chloé Zhao, keberadaan protagonis fiktif berfungsi menambah keintiman, sedangkan di Concrete Cowboy, justru memunculkan distraksi, pula menghalangi penelusuran lebih dalam.

Di awal, kita diperkenalkan pada Cole (Caleb McLaughlin), remaja 15 tahun yang amat sering bikin onar di sekolah, sampai sang ibu (Liz Priestley) menyerah, dan memaksanya tinggal bersama sang ayah, Harp (Idris Elba), yang telah bertahun-tahun tak dia temui. Harp yang tinggal di Philadelphia Utara, merupakan bagian Fletcher Street Urban Riding Club, sebuah komunitas yang mengemban misi melestarikan budaya koboi kulit hitam.

Ya, Concrete Cowboy yang dibuat berdasarkan novel Ghetto Cowboy karya Greg Neri, memotret kultur yang bukan cuma terlupakan, namun bak dihapus dari catatan sejarah akibat rasisme sistemik. Ditemani api unggun, kita mendengar penjelasan para anggota asli letcher Street Urban Riding Club. Tidak lupa tindak whitewashing Hollywood dibahas, yang berujung mengidentikkan "film koboi" dengan maskulinitas kulit putih, mengesampingkan person of color, baik Indian yang kerap digambarkan sebagai antagonis primitif nan brutal, maupun penghapusan eksistensi koboi kulit hitam. Padahal seperti disebutkan salah satu karakter film ini, realitanya, sebagai korban penindasan, koboi kulit hitam malah lebih tahu cara merawat kuda menggunakan kasih sayang.

Obrolan menarik sekaligus informatif tersebut sayangnya cuma berlangsung sejenak. Padahal ada segunung mater yang dapat memfasilitasi lahirnya tuturan panjang, baik berupa narasi fiksi maupun dokumenter. Naskah yang ditulis Staub bersama Dan Walser sebatas berhenti pada tataran permukaan, enggan mengajak penonton memahami lebih lanjut perihal sederet persoalan kompleks, termasuk soal gentrifikasi dan kelayakan habitat bagi hewan. 

Sebagai gantinya, kisah coming-of-age klise lebih dominan. Kita tahu bahwa kelak hubungan Cole dan Harp tak lagi renggang. Kita juga tahu bagaimana pertemanan Cole dengan Smush (Jharrel Jerome), mantan koboi yang banting setir jadi pengedar narkoba, berakhir. Masalah bukan terletak pada keklisean, melainkan betapa keklisean itu menghalangi ruang pengembangan bagi kisah yang jauh lebih menarik dan mengandung relevansi tinggi. 

Bahkan penuturan formulaik itu tidak tersaji maksimal. Proses Cole menemukan kedewasaan sama sekali tidak meyakinkan, terutama karena adanya unsur "child prodigy". Cole bak anak ajaib. Tidak pernah sekalipun menjalani hidup sebagai koboi, tiba-tiba ia jadi satu-satunya orang yang mampu menjinakkan kuda terliar di kota. Sementara hubungannya dengan sang ayah gagal menghadirkan dampak emosional sesuai harapan, tatkala Cole dan Harp amat jarang terlibat interaksi. Tidak peduli sehebat apa pun Idris Elba (yang seperti biasa tampil karismatik), memberinya satu-dua momen saja tidaklah cukup.

Straub membuktikan bahwa sebagai sutradara, ia menyimpan banyak potensi. Warna-warna senja dalam sinematografi Minka Farthing-Kohl yang menemani aktivitas menunggang kuda, pengadeganan serta pergerakan alur yang ditangani penuh kelembutan, adalah beberapa contoh sensitivitas Straub dalam membungkus filmnya. Sayang, ia mencurahkan sensitivitas bagi materi yang pada dasarnya memang sudah kehilangan arah.


Available on NETFLIX

REVIEW - NEWS OF THE WORLD

News of the World mementahkan ekspektasi, menghasilkan ketidakterdugaan, justru dengan mengikuti formula. Tepatnya formula film western, di mana tempo lambat membungkus perjalanan protagonis melintasi padang tandus wild west, sambil sesekali, terlibat baku tembak. Keberadaan Paul Greengrass, yang identik dengan gaya kinetik, bahkan saat filmnya bukan menampilkan petualangan seorang Jason Bourne, memberi ekspektasi bahwa sang sutradara bakal memodifikasi formula di atas. Ternyata sebaliknya. Adaptasi novel berjudul sama karya Paulette Jiles ini jadi pembuktian versatilitas Greengrass.

Berlatar 1870, kisahnya berpusat pada Kapten Jefferson Kyle Kidd (Tom Hanks), seorang veteran Perang Saudara (1861-1865) dari kubu Konfederasi. Peperangan membuat Kidd kehilangan segalanya, baik harta maupun keluarga. Kini ia berpindah dari kota ke kota, guna mencari uang sebagai pembaca berita. Setiap malam, Kidd mengumpulkan warga di suatu bar, lalu membacakan berita-berita dari koran. Mungkin ini asal muasal profesi news anchor di televisi? 

Sebagaimana film western kebanyakan, News of the World juga mengentengahkan soal "pencarian rumah" dan "kehidupan yang lebih baik". Bagi Kidd, perjalanan itu dimulai setelah ia menemukan gadis kecil sedang terlantar di tengah hutan. Gadis itu bernama Johanna (Helena Zengel). Dari sebuah surat, Kidd mengetahui kalau Johanna diculik oleh para Indian dari suku Kiowa, yang juga membantai seluruh keluarganya. Alhasil, proses komunikasi menjadi sulit, karena Johanna cuma bisa berbahasa Kiowa. 

Kidd yang tidak memiliki pilihan lain, terpaksa membawa Johanna serta, guna mengantarkannya pulang ke rumah. Pertanyaannya, "apa itu pulang"? Orang tua kandung Johanna telah tiada. Suku Kiowa tempatnya tumbuh pun tidak ada lagi. Johanna adalah gadis berdarah Jerman, lahir di Amerika, tumbuh bersama Indian. Apa definisi "rumah" baginya? Kidd berusaha menyelamatkan si gadis yang tersesat, tapi ia sendiri (dan seluruh negeri), kondisinya tidak jauh beda. Semua tersesat di tengah ketidakpastian, tatkala negara sedang menata ulang dirinya.

Melalui perjalanan selama hampir dua jam, melewati lanskap liar nan panas yang tak jarang nampak indah berkat sinematografi garapan Dariusz Wolski (dikenal sebagai langganan Ridley Scott dan Gore Verbinski), naskah buatan Greengrass dan Luke Davies (Life, Lion) membawa karakternya menuju pemahaman bahwa "home is a place where you belong". 

Kidd dan Johanna saling memiliki, juga saling menyembuhkan, dalam hubungan yang memiliki hati berkat chemistry Hanks dan Zengel. Chemistry antara pria yang terus melangkah maju di atas permukaan bumi, dan gadis cilik yang menyatu dengan bumi. Hanks seperti biasa tampil hangat, yang membuat baik penonton atau Johanna, mendapatkan rasa aman dan nyaman walau melintasi wild west penuh marabahaya. Tapi perbincangan di awards season nampaknya akan lebih banyak diisi soal penampilan Zengel. Melakoni debut Hollywood setelah angkat nama di System Crasher (2019), Zengel menunjukkan jangkauan akting luas. Dia bisa tampil liar, lalu sejurus kemudian nampak kosong dan sedih, kemudian terlihat polos di kesempatan lain. 

Jika News of the World merupakan media Zengel mencuatkan karirnya, maka bagi Greengrass, film ini membuktikan ia bukanlah sineas dengan satu trik belaka. Tengok adegan baku tembak, khususnya saat Kidd dan Johanna berurusan dengan tiga mantan pasukan Konfederasi. Daripada shaky cam, musik tempo tinggi, atau penyuntingan frantic, Greengrass justru menggunakan stillness dalam pengambilan gambar, ditambah kehenginan tata suara, guna membangun intensitas. Hasilnya efektif. Greengrass menahan diri tak memakai ciri khasnya, bahkan sewaktu menampilkan sebuah kerusuhan. 

Satu-satunya "sentuhan modern" hanyalah kuantitas penggunaan CGI yang (sedikit) lebih banyak dibanding mayoritas suguhan western. Itu pun masih dengan takaran yang sesuai. Sisanya, News of the World merupakan western konvensional yang solid. Ke depannya, tiap mendengar kabar proyek baru dari Paul Greengrass, kita bisa mengharapkan tontonan-tontonan dengan beragam variasi. 


Available on NETFLIX

BUFFALO BOYS (2018)

Pada sebuah adegan, protagonis kita, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) bersama sang paman, Arana (Tio Pakusadewo) berkesempatan menyelesaikan misi balas dendam mereka. Senapan telah diarahkan tepat ke tubuh Van Trach (Reinout Bussemaker). Awalnya senapan dipegang Jamar. Kita menunggu, tapi titik tembak yang jelas tak kunjung didapat. Giliran Arana mengangkat senjata. Kita menunggu lagi, peluru tak juga meletus. Setelah beberapa menit, aksi yang dinanti akhirnya urung terlaksana. Perasaan serupa selalu terulang sepanjang 102 menit Buffalo Boys, yang terasa seperti perjalanan melelahkan sepanjang tiga jam.

Ketika Sam Peckinpah meletakkan senjata, dia menunjukkan keintiman dan kerapuhan di balik machismo para koboi. Sewaktu Sergio Leone meletakkan senjata, ia mengeksplorasi ambiguitas moral, dunia brutal, atau pembangunan yang sama—kalau tidak lebih—menegangkan dari showdown-nya. Sedangkan saat Buffalo Boys meletakkan senjata, filmnya tidak memberi apa pun, kecuali penantian yang tak pernah ditebus. Dunia barat yang gersang nan keras dipidahkan ke Indonesia di era kolonialisme, yang meski hijau, tetaplah keras. Para koboi pun bukan pengembara tanpa tujuan atau segerombolan pria tangguh amoral yang akhirnya tergerak angkat senjata demi menegakkan keadilan. Mungkin, karena biar bagaimana, ini negeri Timur.

Jamar dan Suwo jelas tak berada di garis abu-abu. Keduanya pemuda baik. Hal personal, tepatnya balas dendam atas kematian ayah mereka di tangan Van Trach si penjajah jadi tujuan. Ditempa sejak kecil di Amerika, bersama Arana, mereka kembali ke Indonesia, berjumpa dengan sekelompok warga desa yang dikepalai Sakar (Donny Damara), yang juga korban penindasan Van Trach beserta kaki-tangannya. Sakar memiliki dua puteri, Sri (Mikha Tambayong) yang tak punya peranan selain untuk diselamatkan (damsel in distress) dan Kiona (Pevita Pearce) yang digambarkan jago memanah sambil menunggangi kerbau, namun substansi karakternya pun layak dipertanyakan.

Ditulis oleh sutradara Mike Wiluan bersama Raymond Lee, naskahnya luput menyampaikan duka dan amarah dalam hati protagonis. Ketika para jagoan western beristirahat di malam hari di depan api unggun, sesekali sambil bernyanyi atau bermain harmonika, itulah waktu bagi penonton mengenal mereka. Karena di keheningan malam yang damai, jagoan tertangguh sekalipun bisa berubah melankolis. Buffalo Boys tak menghadirkan keintiman serupa, pula alpa memaparkan isi kepala juga hati Jamar dan Suwo. Hanya Arana dengan kisah mengenai masa lalu dan alasan kenapa dua keponakannya itu harus balas dendam yang rutin terdengar. Kita berulang kali dicekoki alasan “mengapa”, namun urung dilibatkan, karena akhirnya, koboi-koboi tanah air ini cuma dua pemuda nihil kepribadian. Sulit merasa terikat, apalagi mengantisipasi hadirnya “momen besar” ketika target mereka berhasil dicapai. Seolah, kita dibawa melakukan perjalanan panjang menaiki kuda (atau kerbau) di hamparan tanah kosong tanpa sesuatu untuk ditunggu.

Tentu Ario Bayu, dengan jenggot lebat, kulit sawo matang, dan riasan “kotor” di sekujur tubuh cocok sebagai karakter yang menghabiskan waktu lama tinggal di wild west, sementara Yoshi Sudarso, berbekal pengalamannya memainkan Koda/Ranger biru di Power Rangers Dino Charge, tampa meakinkan melakoni porsi laga. Jauh lebih meyakinkan dari kemampuannya melafalkan Bahasa Indonesia. Bisa dimaklumi mengingat bagi Suwo, Bahasa Indonesia bukan “bahasa ibu”, andai di saat bersamaan, Jamar punya kapasitas tak jauh beda. Masalahnya, jarak di antara mereka terlalu lebar.

Pun kedua tokoh utama kita ini kalah menarik ketimbang jajaran pemain pendukung, termasuk para villain yang punya dandanan sekaligus perilaku unik cenderung aneh macam Alex Abbad dan Hannah Al-Rashid, yang walau muncul singkat, paling mencuri perhatian berkat performa over-the-top yang jelas lebih menarik bila disejajarkan dengan para protagonis yang datar. Sunny Pang turut ambil bagian. Sayang, kemampuan bela dirinya disia-siakan, sebagaimana beberapa Van Trach beserta anak buahnya (kecuali Alex dan Hannah) gagal dimanfaatkan potensinya, tak diberi kesempatan memberi ancaman pada Jamar dan Suwo. Sekalinya antagonis di atas angin, kesan bila kedua protagonis bakal membalikkan keadaan dengan cepat nan mudah langsung terasa. Di luar tokoh-tokoh yang terlibat baku hantam dan tembak, terselip Seruni, budak wanita Van Trach, yang diperankan Happy Salma, yang memperlihatkan akting dengan kepekaan rasa jauh mengungguli penampil lainnya.

Gelaran aksinya bukan rendah di kualitas, melainkan kuantitas. Terdapat elemen kekerasan dan hentakan di tiap-tiap aksi, yang meski dampaknya menurun akibat dibarengi usaha menghindari gunting sensor lewat penyampaian tak terlalu eksplisit, masih cukup efektif “menampar” guna menghilangkan kantuk yang disebabkan lemahnya narasi. Masalahnya adalah pemilihan sudut yang dipakai Mike Wiluan. Beberapa “hook”, yang telah berkurang efektivitasnya karena keengganan direpotkan urusan sensor tadi, makin lemah ketika urung disokong sudut kamera yang mendukung. Kadang, apa yang harusnya terlihat justru di luar frame, apa yang mestinya diambil dari dekat justru dibungkus wide shot, vice versa. Ditambah minimnya kuantitas laga, bertambah melelahkan film ini.

Anda bisa berargumen bahwa berbagai judul western terbaik tak memiliki banyak aksi. Betul, namun di antaranya, terdapat sesuatu untuk disampaikan, sebutlah isu sosial, kemanusiaan, hingga problema personal. Buffalo Boys telah mempunyai pondasi guna melangkah ke sana. Selain kisah balas dendam, ini juga paparan soal kolonialisme, yang berujung tumpul ketika filmnya sebatas menunjukkan dari jauh, dari luar, tanpa menggiring kita masuk dan ikut merasakannya sendiri. Buffalo Boys bisa menjadi gambaran alternatif terhadap pertempuran skala kecil bersifat kedaerahan yang banyak meletus di tengah perang meraih kemerdekaan dahulu. Namun potensi itu tenggelam bersama poin-poin cerita yang berakhir sebatas latar bagi sebuah film melelahkan tanpa hal menarik di sela-sela hujan pelurunya.

Saya begitu menantikan Buffalo Boys karena variasi tema dipadu sumber daya kelas internasional miliknya. Memang film ini terlihat (cukup) mahal. Production value-nya layak dinikmati, tetapi tata suara, terlebih sewaktu karakternya mengucap dialog, kerap terbenam. Jadi ya, entah dari perspektif aksi, nuansa western, maupun produksi berskala besarnya, film ini mengecewakan. Buffalo Boys merupakan kekecewaan terbesar tahun 2018.....sejauh ini.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017)

Satay western. Demikian karya teranyar Mouly Surya yang telah lalu lalang di festival-festival internasional ini disebut. Istilah tersebut mengingatkan pada spaghetti western, salah satu sub-genre yang mencapai masa keemasan di era 1960-an sejak Sergio Leone merengkuh puncak kesuksesan. Sebagaimana spaghetti western dengan ambiguitas moral serta kekerasan, satay western punya elemen-elemen khas, selain tentunya buatan sineas Indonesia. Faktor kultural Sumba jadi partikel penyusun pondasi, tetapi lebih spesial tatkala Mouly mampu menerapkan unsur western ke realita modern berisi isu-isu relevan, khususnya feminisme. 

Berdasarkan ide cerita dari pengalaman nyata Garin Nugroho saat menyaksikan pemenggalan di pasar Sumba, naskah garapan Mouly bersama Rama Adi menempatkan seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy) di tengah ancaman perampok. Sang pemimpin, Markus (Egi Fedly), mendatangi Marlina, mengutarakan maksud merampok harta benda sekaligus memperkosanya. Begitu perampok tiba, praktik patriarki turut mendera. Marlina dirampas haknya, diminta diam, patuh, memasak makan malam, melayani nafsu seksual para pria. Hilangkan setting perampokan, kita bakal melihat cerminan dunia nyata terkait anggapan "wanita adalah pelayan pria".
Ucapan Markus bahwa Marlina beruntung berkesempatan ditiduri delapan pria walau berstatus janda terdengar menusuk, sebab kalimat bernada serupa, yaitu kesuksesan wanita diukur lewat keberhasilan mendapatkan (atau didapatkan) pria, kerap berseliweran di sekitar kita. Sementara siksaan berlangsung, Mouly merangkai nuansa menghantui tatkala mayat suami Marlina terduduk di sudut ruangan. Dari kacamata patriarki, protagonis kita tak berdaya. Sendiri, tanpa pelindung bernama pria. Namun selaku respon bagi maskulinitas spaghetti western, Marlina enggan tinggal diam, mengeksekusi penindasnya, bahkan memenggal salah satu kepala perampok. Inilah akhir babak pertama, "The Robbery".

Sesuai judulnya, film ini memiliki empat babak: The Robbery, The Journey, The Confession, The Birth. Marlina memutuskan membawa kepala itu ke polisi, menembus lanskap padang gersang Sumba yang dibungkus sinematografi Yunus Pasolang, diiringi gitar plus bunyi siul musik buatan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang bagai berkiblat pada karya Ennio Morricone. Bermodalkan segala rasa western itu, Marlina tampil segar, mendobrak monotonitas gaya sinema Indonesia seperti ketika Joko Anwar menyuguhkan noir melalui Kala. Bahkan lebih unik, karena Marlina merupakan western berlatar masa kini, memungkinkan bandit versinya mengendarai motor trail dan truk alih-alih kuda dan keretanya (walau Marlina sendiri sempat menaiki kuda). 
Penuturan isu sosial Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak berlanjut di babak-babak berikutnya, termasuk mengkritik kinerja aparat serta respon publik yang justru kerap mencibir korban pelecehan. Malah dalam sebuah kesempatan, sempat salah satu perampok, Frans (Yoga Pratama), dengan nada kebencian memanggil Marlina "Si Pembunuh", seolah lupa siapa penjahat sesungguhnya. Menariknya, di antara isu pelik juga aura suram, tawa penonton masih sempat dipancing oleh beberapa selentingan menggelitik juga sederet komedi hitam yang melibatkan khayalan liar dan petikan alat musik sebagai cue jika komedi akan segera muncul.

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak merupakan kendaraan bagi Marsha Timothy menyentuh dimensi lain aktingnya. Marsha piawai memerankan tokoh yang memendam campur aduk emosi tetapi jarang meluapkannya. Suatu bentuk olah rasa yang lantang walaupun subtil. Ekspresi wajahnya nampak terbebani tapi tindakannya tanpa keraguan. Langkahnya pasti, pelan tapi tak gontai. Seperti filmnya sendiri, yang berkat visi kuat Mouly Surya, bergerak perlahan namun punya tujuan, kemudian bermuara pada konklusi sempurna yang memaparkan filosofi "kelahiran kembali" sembari menunjukkan kekuatan terbesar seorang wanita. 

THE MAGNIFICENT SEVEN (2016)

"The Magnificent Seven" versi 1960  remake "Seven Samurai" milik Akira Kurosawa  garapan sutradara John Struges mengedepankan A-list actors pada masanya, sebutlah Yul Brynner, Charles Bronson, Steve McQueen hingga James Coburn. Sehingga, di samping kualitas yang memang mumpuni, melihat nama-nama besar di atas dalam satu frame jadi hiburan tersendiri. Lompat menuju 2016, remake dari remake yang disutradarai Antoine Fuqua ("Training Day", "Olympus Has Fallen", "The Equalizer") ini masih memakai pendekatan serupa. Denzel Washington, Chris Pratt, Ethan Hawke, Lee Byung-hun, Vincent D'Onofrio sampai Peter Sarsgaard mengisi jajaran cast kelas beratnya. Bukan saja kelas wahid, nama-nama tersebut turut berasal dari bermacam etnis.

Ethnic diversity kentara jadi fokus besar film ini. Tengok saja para anggota The Magnificent Seven: Sam Chisolm (Denzel Washington) si bounty hunter berkulit hitam, Josh Farraday (Chris Pratt) si penjudi kulit putih, Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke) sang penembak jitu yang ditemani asisten asal Asia bernama Billy Rocks (Lee Byung-hun), Jack Horne (Vincent D'Onofrio) si pria brutal, buronan asal Meksiko bernama Vasquez (Manuel Garcia-Rulfo) dan seorang native american, Red Harvest (Martin Sensmeier). Tujuannya jelas: pihak studio ingin mengesankan dukungan mereka terhadap persamaan hak, menolak rasisme atau whitewashing

Coba mengikuti zaman, begitulah pendekatan yang dilakukan film ini termasuk dalam naskah karya Nic Pizzolatto dan Richard Wenk. Selain tokoh multiras, cerita pun disesuaikan, bukan lagi pertempuran melawan bandit Meksiko seperti original-nya, atau pencarian "tanah baru" sebagaimana mayoritas western movie masa lampau, melainkan perlawanan terhadap pria kulit putih kapitalis bernama Bartholomew Bogue (Peter Saarsgard). Bartholomew merebut Rose Creek, sebuah kota fiktif demi membangun tambang emas. Tidak hanya itu, ia membantai para warga pula membakar Gereja. Putus asa, Emma Cullen (Haley Bennett) yang turut kehilangan sang suami meminta Sam membantu warga Rose Creek mempertahankan rumah mereka. 
Berbagai treatment di atas menjanjikan kedalaman kisah, namun Pizzolatto dan Wenk sekedar berusaha melemparkan konsep tapi menggalinya lebih jauh. Hal tersebut terjadi pada karakter utama. Ketujuh tokoh punya potensi keunikan masing-masing baik kemampuan maupun kepribadian, termasuk yang dibawa oleh perbedaan etnis. Polanya terjadi berulang: satu tokoh diperkenalkan dengan menarik untuk kemudian dilupakan, berakhir sebagai pengisi jumlah belaka. Mereka hanya maskot, wajah tanpa hati bagi upaya studio membangun image mengenai persamaan hak. Semakin parah karena penonton tak diberi kesempatan mengenal mereka dengan baik.

Sesungguhnya jika menengok setting waktu, cukup menarik menantikan kisah-kisah personal dari mulut para tokoh multiras tersebut. Sayang, hanya sekali itu terjadi, tatkala Goodnigt dan Sam mengenang masa kala keduanya tergabung dalam Uni dan Konfederasi dalam perang sipil. Sisanya sekedar interaksi filler ala kadarnya saat naskah memaksa para tokoh terlibat dalam pembicaraan hampa tanpa sentuhan personal demi merekatkan jarak dengan penonton. Kita tidak pernah sepenuhnya mengenal apalagi peduli pada nasib mereka. Bahkan alasan mengapa beberapa tokoh direkrut dalam tim pun kurang jelas  just look at Farraday and Red Harvest. 
Akting para aktor lebih dari cukup untuk menghalangi kebosanan. Chris Pratt (unsurprisingly) adalah penampil paling mencuri perhatian. He's lively and funny as always, and deserves to be the gang leader instead of Denzel Washington. Kondisi serupa menimpa aktor lain khususnya Hawke, D'Onofrio dan Saarsgard. Goodnight bisa jadi sosok kompleks penuh problema, Horne berpotensi mencuat sebagai tokoh brutal nan aneh, dan Bogue takkan berakhir sebagai villain dua dimensi yang bagai rutin mengkonsumsi narkoba andai ketiganya diberi porsi memadahi untuk eksplorasi karakter. 

Adegan aksi sejatinya well-made, tapi Fuqua bak kekeringan imajinasi, hanya asal melontarkan ledakan dinamit atau desing peluru di sana sini. Tengok saja klimaks yang diniati sebagai penebus pasca buildup selama kurang lebih 90 menit. Ketegangan sudah barang tentu urung hadir akibat nihilnya kepedulian penonton akan para tokoh, dan makin tak tertolong ketika Fuqua terlampau malas mengkreasi deretan sequence supaya tampak menarik, tak tahu cara memaksimalkan daya pikat tiap aktor kala tengah beraksi  Pratt with extreme coolness cocking his guns or Byung-hun expertly swinging his kinives. Final showdown yang semestinya merupakan puncak segalanya berakhir datar. Jangankan menyamai film klasiknya, untuk menghibur saja "The Magnificent Seven" gagal. Memang tidak semua hal butuh modernisasi. 

THE REVENANT (2015)

Alam dapat menjadi kawan terbaik manusia. Kita bisa memperoleh berbagai sumber kehidupan atau sekedar menikmati keindahannya. Namun terkadang alam juga dapat menjadi lawan mematikan. Tidak harus disebabkan oleh suatu bencana, karena alam yang tenang pun mampu memberikan cobaan teramat berat. Dua sisi kontradiktif itu tergambar jelas dalam "The Revenant", film terbaru karya Alejandro G. Inarritu yang awal tahun ini baru memenangkan Oscar untuk "Best Director" melalui filmnya, "Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance)". Dalam film ini, Inarritu dibantu sinematografer Emmanue Lubezki beberapa kali meramu sequence dimana indahnya sinar matahari yang terpancar diantara sela pepohonan hadir bergantian dengan horor berisikan hewan buas atau badai salju ganas. Lebih jauh lagi, hampir semua aspek yang ada mampu menyelamatkan sekaligus merenggut nyawa seseorang.

Ber-setting pada tahun 1823 di tengah alam liar Louisiana, para pemburu di bawah pimpinan Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson) sedang mengumpulkan kulit-kulit hewan. Perburuan yang tenang itu berubah menjadi pembantaian ketika sekelompok Indian menyerbu mereka demi merebut kulit yang telah terkumpul. Penyerbuan tersebut menewaskan 33 orang, atau lebih dari separuh anggota pemburu. Tapi rintangan belum selesai sampai disitu, ketika Hugh Glass (Leonardo DiCaprio), pemburu berpengalaman sekaligus satu-satunya orang yang mengetahui jalan pulang diserang oleh beruang grizzly. Glass yang tak lagi mampu berjalan pun terpaksa ditinggalkan di bawah penjagaan tiga orang; Hawk (Forrest Goodluck), putera Glass yang memiliki darah Indian, Bridger (Will Poulter) dan John Fitzgerald (Tom Hardy). Ketika Fitzgerald akhirnya meninggalkan Glass untuk mati di tengah hutan, dimulailah usaha Glass bertahan hidup dengan kondisi sekarat, tanpa senjata, tanpa makanan dan dikelilingi cuaca tak bersahabat.
Kita bisa melihat semua kontradiksi dalam ceritanya. Selain dari sisi visual, alam tampak berbahaya ketika ia membuat Glass membeku di tengah badai. Tapi juga bersahabat tatkala arus deras sungai membantunya kabur dari kejaran para Indian. Begitu pula hewan-hewan liar. Beruang nyaris membuat Glass tewas, tapi berkat hewan pula ia mendapat alat transportasi dan makanan demi bertahan hidup. Sumber penghasilan para pemburu pun berasal dari hewan. Para Indian memang langsung melakukan pembantaian di awal film dan sejak itu terus memburu mereka tanpa henti, namun pada satu titik Glass memperoleh bantuan salah seorang dari mereka, lalu menjalin pertemanan singkat. Seiring berjalannya film kita pun mengetahui alasan penyerangan Suku Indian, hingga tak semudah itu mengutuk perbuatan mereka. Sama kompleksnya dengan "penilaian" kepada Fitzgerald. Dia kejam, egois, berdarah dingin (tak ragu meninggalkan Glass juga menarik picu senapan kearah Bridger), tapi itu berasal dari rasa takut manusia sekaligus usaha bertahan hidup yang pastinya manusiawi.

"The Revenant" yang diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Punke ini adalah sajian kontemplatif dengan penuturan lambat minim dialog -DiCaprio lebih banyak mengerang, menggeram atau berteriak daripada bicara- yang lebih banyak bermain di ranah atmosfer dalam kesubtilan cerita. Ini merupakan tipikal film yang di permukaan hanya sebatas tontonan survival didominasi adegan DiCaprio berjalan, berlari, kedinginan, kesakitan, makan, atau tidur, tapi secara lebih dalam punya banyak perenungan berupa pertanyaan mengenai perbuatan seseorang. Setumpuk kontemplasi dihadirkan, tapi sayangnya minim gejolak emosi mampu dimunculkan. Saya tidak merasa emosional melihat Glass yang dihantui masa lalunya, tersakiti dan ingin balas dendam, bahkan momen-momen kala sang protagonis mampu mengalahkan berbagai rintangan pun tak membuat hati saya tergerak. Memang ini dikarenakan tone kontemplatif yang diusung. Filmnya dingin, begitu pula emosinya. 
Tapi "The Revenant" punya kekuatan lain sehingga kekurangan aspek emosi itu mampu tertutup rapat. Sebagai drama emosional, filmnya flat, tapi sebagai sajian survival, tak bisa dipungkiri ini tontonan mencekat. Glass harus melalui berbagai rintangan berat, dan kesan itu tersaji sempurna. Serangan brutal dari beruang tampak menyakitkan, begitu pula melihat luka cabikan di sekujur tubuh Glass. Serupa dengan keharusan memakan hati bison mentah atau menembus badai salju. It looks hard, because it looks real. Keengganan Inarritu mengeksploitasi CGI ditambah kegamblangan visualisasi adegan minim "off-screen moment" jadi faktor keberhasilan. Perjuangan proses produksi sembilan bulan di bawah cuaca tak bersahabat terbayar tuntas. Akan lain hasilnya bila Inarritu memilih latar green screen sebagai sumber penciptaan adegan. Tapi tentu saja alasan terkuat kenapa setiap momentum tampak nyata adalah akting Leonardo DiCaprio.

Totalitas adalah kuncinya. Total dalam ekspresi, gestur serta rasa. Terdapat banyak contoh sebagai bukti, tapi saya ambil satu adegan ketika ia sekuat tenaga merangkak keluar dari "liang kuburnya". Lihat bagaimana dia tampak susah payah hanya untuk menggerakkan tangan guna meraih pegangan. Lihat getaran tubuhnya yang menggambarkan perjuangan mati-matian di tengah rasa sakit. Atau ekspresi sekaligus tatapan matanya yang penuh penderitaan. Bahkan ketika dalam banyak adegan DiCaprio hanya terbaring tak berdaya, tiap hal yang ia rasakan, emosi yang dikemukakan, semuanya muncul nyata ke permukaan. He was going through hell, and I could feel his desperation, his anger, his pain, everything. Pada proses pengambilan gambar pun ia menjalani banyak penderitaan. Dan ketika scene terakhir DiCaprio menatap lurus kearah kamera, disitulah ia berhasil mengunci kemenangannnya di Oscar tahun depan yang telah lama kita semua nantikan.

Departemen artistik juga memiliki kualitas luar biasa. Scoring garapan Ryuichi Sakamoto, Alva Noto dan Bryce Dessner menguatkan atmosfer. Musik banyak berisi perkusi bertempo cepat yang terdengar layaknya genderang perang. Tiap perkusi mulai terdengar, ketegangan serta merta mencengkeram. Tapi kita tahu jika sinematografi karya Emmanuel Lubezki menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Chivo (panggilan Lubezki) dan Inarritu bersikeras mengambil gambar hanya dengan cahaya natural, yang menambah perjuangan proses produksi. Sepadan? Hell, yes! Hampir tiap scene adalah keindahan yang mendukung "alam" sebagai pemegang peran penting narasi. Pergerakan kamera yang "terbang" kesana kemari dan banyaknya gambar diambil dari bawah demi menonjolkan kemegahan setting memunculkan pesona keindahan layaknya film-film Terrence Malick. Tidak mengherankan, karena Chivo pernah menjadi sinematografer "The New World" sedangkan Jack Fisk selaku production designer adalah langganan Malick. Overall it's cold and emotionally flat, but "The Revenant" is a gripping beauty yet also a horrific terror at the same time.

THE HATEFUL EIGHT (2015)

"Just a bunch of nefarious guys in a room, all telling backstories that may or may not be true. Trap those guys together in a room with a blizzard outside, give them guns, and see what happens." Begitu Quentin Tarantino mendeskripsikan premis film kedelapan buatannya. Artinya, film ini akan bertempat dalam satu setting, dengan cerita berpusat pada pembicaraan diantara mereka. It sounds like a perfect "Tarantino movie" right? Beberapa karya terakhirnya seperti "Inglourious Basterds" hingga "Django Unchained" memang punya karakteristik khas sang sutradara, tapi "The Hateful Eight" terdengar bagai kompilasi "the greatest hits" Tarantino dengan mengumpulkan segala aspek yang penonton harapkan terdapat dalam filmnya. Tidak hanya itu, beberapa aktor selaku frequent collaborator-nya sebut saja Samuel L. Jackson, Tim Roth, sampai Michael Madsen turut ambil bagian. 

Kisahnya memiliki enam chapter diamana tiap-tiap chapter bertugas merangkum satu poin penting pada keseluruhan cerita. Satu per satu kita diperkenalkan pada kedelapan tokoh yang nantinya akan berbagi panggung pertunjukkan. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), seorang bounty hunter sekaligus mantan anggota black Union soldier dimunculkan pertama sekaligus tokoh yang paling dekat dengan sebutan "pemeran utama". Tapi Warren bukanlah pria baik-baik. Faktanya, tak ada satupun dari delapan karakter yang berperan selaku "sosok putih", bahkan segala penuturan mereka pun sulit dipegang kebenarannya. Badai salju ganas memaksa delapan orang itu berkumpul dalam sebuah haberdashery. Mulai terjadi perkenalan satu sama lain, lengkap dengan cerita mengenai jati diri masing-masing. Hingga perlahan muncul kecurigaan bahwa satu orang (atau lebih) telah menuturkan kebohongan mengenai dirinya. 

Kecurigaan tersebut menuntun kehadiran misteri ala-detective flick dimana beberapa karakter berkumpul, terjadi suatu kasus, dan berujung pada usaha mengungkap identitas sang pelaku. Why the western? Karena dengan membawa setting ke dunia tersebut, Tarantino dapat menciptakan kondisi dimana satu atau bahkan semua orang merupakan outlaw. Ini adalah dunia berbahaya dengan tokoh membawa pistol dan bisa kapanpun memecahkan kepala seseorang dengan itu. Garis batas hitam dan putih lebih mungkin dikaburkan berkatnya. But this isn't just the western version of "Reservoir Dogs". Bukan hanya berisikan misteri pengundang tanya, "The Hateful Eight" menjadi eksplorasi situasi mengerikan penuh amarah yang dipicu dendam. Tarantino bermain-main dengan atmosfer. Setting-nya bukan cuma hiasan, melainkan faktor penting dalam pembangun suasana. Kita akan selalu mendengar tiupan angin kencang di luar ruangan, menguatkan kesan terisolir yang akan semakin mencekam kala mendapati semua yang berada di dalam adalah sosok berbahaya. Opening sequence dengan patung Yesus tertimbun salju diiringi scoring mencekam Ennio Morricone pun telah menjadi gerbang pembuka sempurna.  
Berdurasi 167 menit, alurnya berjalan lambat tapi tidak dragging. Pastinya dialog tulisan Tarantino menjadi pemicu utama keberhasilan tersebut. "The Hateful Eight" adalah tipikal film berisi konsistensi ketegangan mengikat yang bersumber dari pertukaran kalimat tokohnya. Meski baris kalimatnya less-memorable dibanding tulisan-tulisan terbaik Tarantino, namun sudah cukup sebagai penggaet atensi. Tentu Tarantino tahu cara mengemas suatu obrolan menarik, ketika ia mengungkap fakta sedikit demi sedikit dengan tiap kalimat berisikan punchline supaya penonton bersedia menanti hal apalagi yang berikutnya muncul. Intensitasnya tinggi meski dituturkan secara lambat, bukan tik-tok cepat layaknya "Pulp Fiction". Memang dalam tiga chapter pamungkas terdapat bloodshed berisikan banyak kepala pecah sampai "pameran" muntah darah, menjadikan "The Hateful Eight" sebagai film Tarantino paling gory. Tapi kegilaan itu tak lebih sebagai "upah" kesabaran penonton setelah hampir tiga jam "hanya" mendengar obrolan. Senjata utama tetap berasal dari dialog, bahkan ketegangan klimaks juga berasal dari situ.

Sebagai film berisi ensemble cast, sudah menjadi kewajaran ketika para pemain tampil memuaskan. Tidak ada penampil buruk, bahkan Zoe Bell dengan screentime hanya beberapa menit pun mencuri perhatian saat menanggalkan image "gaharnya" untuk berperan sebagai Six-Horse Judy yang girly dan ceria. Tim Roth, Michael Madsen, pula Kurt Russell punya momen masing-masing untuk bersinar. Tapi saya memilih trio Samuel L. Jakson, Jennifer Jason Leigh dan Bruce Dern sebagai favorit. Porsi Bruce Dern paling sedikit diantara ketiganya, namun alangkah memikat tatapan mata penuh horor dan amarah menjelang akhir kemunculan karakternya. Sedangkan Jennifer Jason Leigh sebagai Daisy "The Prisoner" Domergue kuat memberi pernyataan bahwa she doesn't give a fuck dalam tiap perbuatannya. Sosoknya memberi tanda tanya. Terkadang ia tampak lemah, tidak jarang lucu, tapi mengapa dalam perjalanan menuju tempat eksekusi ia justru teramat santai? Ketika "wajah aslinya" terbuka, Jason Leigh menunjukkan definisi sempurna dari "evil bitch".
Samuel L. Jackson punya porsi terbanyak dibanding aktor lain. Kemunculannya penuh monolog yang kesemuanya berhasil dimanfaatkan tanpa cela oleh sang aktor. There's a gravita in every word that he said, and of course he's still our favorite bad-ass motherfucker. Penuh kharisma, ia menjadikan Warren di awal layaknya sosok antihero dalam suatu film western pada umumnya. Tenang, tapi tanpa menyiratkan keraguan menghabisi siapapun yang mengalangi jalannya. Hingga akhirnya kita semakin jauh mempelajari sosok Warren, semakin ambigu pula karakter ini. He's not an ordinary antihero, he's an asshole like everybody else. Berkat ambiguitas itulah interaksi diantara mereka selalu menarik disimak. 

Meski begitu film ini bukannya tidak memiliki cela, terlebih saat Tarantino "mengkhianati" keputusannya membuat film hanya berisikan delapan karakter saling berinteraksi. It's much bigger than that. Semakin jauh alur berjalan, semakin bertambah karakter bermunculan, sehingga saya beberapa kali merasa judul "The Hateful Eight" tidak lagi relevan dengan perkembangan alurnya. Sebuah twist pada chapter keempat menunjukkan kekurangan tersebut. Memang memberi efek kejut, tapi juga bagai memperlihatkan kebingungan Tarantino untuk memberi jalan keluar demi konklusi konflik yang susah payah dibangun. Ketika cerita "keluar" dari lingkup delapan karakter sentral, jalinan intensitas pun terputus. Masih berisi adegan-adegan menarik, tapi memberi jarak pada flow yang harusnya terus berjalan tanpa putus hingga akhir.

Terdapat kontroversi menimpa Quentin Tarantino sebelum filmnya rilis terkait keterlibatannya dalam demonstrasi terhadap kebrutalan polisi. Entah kebetulan atau tidak, filmnya cukup sering mengkritisi hal yang bersinggungan. Untuk pertama kalinya Tarantino mengkritisi sebuah isu secara lantang. Dia banyak bicara tentang isu rasial, keadilan sosial masyarakat, hingga peran pihak berwajib dalam usaha menegakkan hukum yang berlaku. Mudah menghakimi film-film Tarantino sebagai sajian kekerasan pointless yang hanya fokus pada gaya tanpa menuturkan hal esensial. Lewat "The Hateful Eight" Tarantino akhirnya meneriakkan kritik secara gamblang dengan relevansi nyata kepada gambaran masyarakat dunia dewasa ini. Meski bukan sajian terbaik dari Quentin Tarantino, "The Hateful Eight" masih kuat berdiri di jajaran atas film terbaik tahun ini. Bukti kehebatan sang sutradara. Berkaca pada film ini, dengan sisa dua film (Tarantino berencana membuat total 10 film) mari berharap salah satunya adalah courtroom thriller. 

BONE TOMAHAWK (2015)

Western sebenarnya tak bisa dilepaskan dari horor, baik "horror of nature" maupun "horror of human". Terdapat alasan kuat dibalik penggunaan kata "wild" di depan "west". Entah padang gersang yang terbentang luas, hewan-hewan mematikan, hingga para bandit bersenjata yang tidak segan menghabisi nyawa manusia adalah beberapa contoh sumber maut yang siap menerkam kapan saja. Maka disaat S. Craig Zahler memadukan western dengan horor, ia "hanya" menempatkan satu sisi esensial dari western yang biasanya subtil ke tengah narasi secara lebih eksplisit. Memadukan perjalanan para koboi di alam liar dengan gorefest kanibalisme suku pedalaman, "Bone Tomahawk" menunjukkan betapa mematikannya dunia barat liar lewat cara paling gruesome yang bisa dibayangkan. 

Sedari adegan pembuka, penonton sudah diperlihatkan adegan penyayatan leher oleh dua orang bandit. Begitu ringan bagi keduanya untuk menghabisi nyawa banyak manusia demi mendapatkan harta benda mereka. Tapi tidak butuh waktu lama bagi film ini mengungkap bahwa dua bandit itu nampak ramah jika dibandingkan para penebar teror sesungguhnya. Kita tidak langsung diperlihatkan seperti apa rupa mereka, tapi diajak mengamati detail tempat tinggalnya, supaya nanti tercipta antisipasi penuh ketegangan ketika filmnya membawa kita kembali kesana. Narasi kemudian melompat menuju 11 hari kemudian, mengambil setting di sebuah kota kecil bernama Bright Hope. Kota tersebut dijaga oleh Sheriff Franklin Hunt (Kurt Russell) yang tak segan menembak mereka yang dianggap berbahaya. Dilain pihak ada Arthur (Patrick Wilson) yang harus tinggal di rumah akibat cedera parah di kakinya. Arthur dirawat oleh sang istri, Samantha (Lili Simmons) yang punya keahlian medis.

Pada suatu malam Sheriff Hunt menembak kaki salah satu bandit yang kita lihat di awal film karena ditengarai telah melakukan perbuatan mencurigakan dan berusaha kabur. Samantha pun diminta merawat sang bandit di dalam penjara semalaman. Keesokan paginya, bersamaan dengan kematian mengenaskan seorang stablehand, Samantha beserta sang bandit dan satu orang deputi telah menghilang dari penjara. Satu-satunya barang bukti tertinggal adalah panah, yang oleh seorang Indian disebut sebagai milik suatu suku Indian yang masih sangat primitif, ganas dan liar bernama "Troglodytes". Dari situ perjalanan untuk menyelamatkan Samantha dilakukan. Berangkatlah Sheriff Hunt bersama Arthur yang masih cedera, deputi tua bernama Chicory (Richard Jenkins), dan John Brooder (Matthew Fox) yang selama hidupnya telah banyak membantai suku Indian. 
S. Craig Zahler berhasil membuktikan kapasitasnya mempermainkan antisipasi penonton. Baik kita maupun karakternya tak ada yang tahu seperti apa "Troglodytes" sesungguhnya. Satu yang ditekankan oleh Zahler, bahwa perjalanan yang akan dilakukan keempat karakternya tak ubahnya misi bunuh diri. Pembangunan tensi mendapatkan pondasi kuat berupa penemuan mayat dengan usus terburai. Lalu kita dihadapkan pada pertemuan beberapa orang di sebuah bar yang berujung pada penyusunan strategi pula perdebatan. Zahler dengan baik memunculkan kecemasan yang dialami para tokohnya, membuat pertemuan itu terasa chaotic meski tanpa diiringi banyak teriakan atau scoring penuh dentuman. Kita tahu bahwa mereka berlomba dengan waktu, sama seperti kita tahu bagaimana khawatirnya Arthur akan keselamatan sang istri. Seperti yang dikatakan Lorna, istri Sheriff Hunt pada sang suami, tak ada jaminan Samantha masih hidup. Bagaimana jika sesampainya disana ia sudah bernasib mengenaskan? Rasa takut itu tak hanya dirasakan Arthur tapi juga penonton.

Intensitas menurun begitu perjalanan panjangnya dimulai. "Bone Tomahawk" lebih banyak menghabiskan durasi memperlihatkan karakternya berjalan, istirahat, lalu terlibat obrolan sambil sesekali berurusan dengan "ancaman kecil". Kembali lagi, Zahler mumpuni dalam membangun suasana. Lewat sosok Arthur yang susah payah menahan cedera kakinya, kesan beratnya perjalanan sudah mampu digambarkan. Tapi beda ceritanya saat membahas kemampuan Zahler dalam penulisan naskah. Tanpa banyak action, perjalanan panjang yang ditempuh tetap bisa menarik andaikata ia mampu menuliskan dialog interaksi memikat antar-karakter, padahal keempatnya sudah memiliki kepribadian yang berpotensi menyulut obrolan dinamis. 
Sheriff Hunt sebagai pemimpin tegas, Arthur yang penuh kekhawatiran akan sang istri sekaligus penganut agama yang kuat, Chicory yang mengedepankan moralitas dan sesekali mengeluarkan celetukan sebagai pemancing komedi, hingga John yang tak pandang bulu dalam membunuh dan tak mempedulikan perasaan orang lain saat berkata-kata. Potensi itu disia-siakan oleh dialog miskin eksplorasi, dimana tiap tokoh hanya melontarkan sepatah dua patah kata yang tak banyak memberikan penelusuran lebih jauh tentang siapa diri mereka. Hanya sesekali terjadi perbincangan sebelum Zahler kembali membawa kita pada perjalanan yang semakin lama semakin dragged, apalagi ketika durasi total menyentuh 132 menit. 

Untungnya "Bone Tomahawk" kembali mendapatkan momentumnya saat keempat protagonis tiba di tempat bermukim "Troglodytes". Karena telah sempat singgah disana pada paruh awal, ketegangan langsung hadir saat kita tiba di tempat yang sudah familiar itu. Namun serupa dengan karakternya, penonton akan dibuat shock, tidak mengira bahwa kengerian yang menanti jauh di atas ekspektasi. Walaupun ada usus terburai di awal film, saya tidak mengira film ini akan memiliki gore eksplisit gila-gilaan layaknya film-film kanibal klasik. Saya tidak siap dihadapkan pada pemandangan tersebut, sehingga rasa terkejut menjadi berlipat ganda. Setelah ketenangan yang dominan di pertengahan, pertunjukkan sadisme yang menyusul menghasilkan dampak kengerian teramat besar. Sejak awal, ini bukan tontonan eksploitasi, yang membuat gorefest di akhir tidak membuat saya bersorak kegirangan, tapi murni meninggalkan horor disturbing.

Berfokus pada horor dan kekurangan Zahler dalam penulisan naskah membuat performa akting tak menjadi sorotan. Tapi jelas Kurt Russell menghadirkan kembali pesona sebagai jagoan sarat unsur machoisme. Sosok tuanya tak menunjukkan kerentaan, justru kekuatan hasil tempaan berbagai pengalaman hidup yang dipenuhi kekerasan. Tapi dalam tiap tatapannya, terpancar nurani seorang penegak hukum yang tidak tinggal diam saat kejahatan terjadi di sekelilingnya. "Bone Tomahawk" adalah gambaran mengerikan mengenai alam liar yang tidak pernah dibayangkan oleh kita, manusia beradab dengan kebiasaan tinggal di dunia penuh moralitas, agama, serta peri kemanusiaan. Klimaksnya pun bukan sekedar pameran gila dipenuhi tubuh terburai, tapi juga pertarungan sebagai pembeda disaat manusia modern yang lebih mampu beradaptasi menggunakan kecerdasan pikir dihadapkan pada sosok-sosok brutal yang mungkin tidak banyak memiliki perbedaan dengan hewan buas. 

SLOW WEST (2015)

Membicarakan western tak ubahnya berbicara tentang padang gersang, koboi penuh kejantanan menunggangi kuda sambil bersiap menarik pelatuk, hingga kematian dimana-mana. Panas, kotor dan waktu memang terasa berjalan lambat. Slow West tidak mengesampingkan fakta-fakta tersebut, tapi disaat bersamaan memberikan perspektif baru dalam penyajian western movie. Bagaimana jika ada seseorang yang punya kepribadian amat bertolak belakang dengan hal-hal di atas harus melintasi tempat berbahaya tersebut? Jay (Kodi Smit-McPhee) adalah remaja 16 tahun dengan badan kurus, wajah putih bersih dan pakaian bagus yang tampak mahal. Dia berbaring di bawah langit malam sambil menunjuk-nunjuk rasi bintang. Melihat sosoknya, mudah bagi kita berasumsi bahwa tidak butuh waktu lama bagi alam liar Barat untuk menghabisi Jay. Apa yang dilakukan bocah kaya sepertinya disitu? Jawabannya adalah mencari wanita yang ia cintai.

Apakah sutradara sekaligus penulis naskah debutan John Maclean tengah berusaha mentransformasikan keliaran western menjadi petualangan romansa lembek? Untungnya tidak. Kerasnya western masih ada disana. Slow West menjadi eksplorasi disaat seseorang ditempatkan dalam kondisi yang bertolak belakang dengan sosoknya. Dapatkah Jay bertahan hidup? Dapatkah segala ideologi penuh harap yang ia anut diterapkan disana? Tidak secara menyeluruh, karena film ini juga bukan usaha Maclean memberikan pesan moral yang muluk dan naif. Untuk itu dihadirkan karakter Silas (Michael Fassbender), seorang bounty hunter yang menemukan jejak Jay, dan memutuskan menjadi pelindungnya sepanjang perjalanan. Sudah pasti kepribadian Silas amat berbeda. Disaat Jay penuh pemikiran positif tentang cinta dan harapan, Silas lebih keras, dingin, dan terkesan cynical akan berbagai situasi. Semua orang, semua tempat, dan semua situasi seolah menyimpan bahaya jika bersama Silas, dan ia pun selalu siap menembakkan senjata kapanpun.
Terjadi eksplorasi karakter sekaligus hubungan yang menarik diantara mereka. Perlahan, keduanya mulai belajar cara masing-masing memandang hidup dan menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah kekeliruan. Jay mulai belajar bertahan hidup, sedangkan dari voice over-nya, penonton sudah tahu bahwa Silas nantinya akan banyak belajar dari Jay yang "lebih positif". Dari karakter Jay, Maclean berusaha menunjukkan bahwa di setiap kelembutan tetap diperlukan sisi keras. Sedangkan dari Silas, kita melihat bahwa dari seseorang/tempat paling keras sekalipun masih ada perasaan disana. Masih ada sisi kemanusiaan. Bicara soal kemanusiaan, disitu pula kisah cintanya mulai menyelinap perlahan. Sebuah kisah cinta yang cukup manis, emosional, sekaligus tragis. Walaupun romansanya ber-setting di western masa lampau, tapi kisahnya terasa relatable bagi kita penonton modern. Jay mencintai Rose (Caren Pistorius) dengan sepenuh hatinya. Tapi dari beberapa flashback, Rose tampak tidak menyimpan perasaan yang sama. Bagi Rose, Jay hanya adik laki-laki yang tak pernah ia miliki.

Romansanya dibawa ke bingkai modern, tapi bukan itu saja, karena secara menyeluruh film ini merupakan usaha membawa genre western ke ranah yang lebih modern tanpa sekalipun "melenceng" terlalu jauh dari dasarnya. Alurnya masih berjalan lambat, lokasinya masih familiar dan tentu saja masih diisi oleh baku tembak yang menegangkan. Tapi diluar semua itu atmosfernya lebih kekinian. Sinematografi garapan Robbie Ryan masih memukau, tapi tidak ada landscape super lebar untuk hamparan padang tandus. Gambar landscape masih ada, namun lebih "sempit", juga terasa lebih berwarna dengan padang rumput hijau, bunga bermekaran serta hal-hal penuh warna lainnya. Penggunaan 1.66:1 daripada 2.35:1 (ratio mayoritas western), membuat layar lebih sempit, tapi tidak sampai klaustrofobik melainkan mendekatkan penonton pada karakter-karakternya. 
Tapi sekali lagi membawa kearah baru bukan berarti sepenuhnya lari dari ciri western itu sendiri. Klimaks baku tembak seperti yang seharusnya masih ada disini. Maclean berhasil menggarapan showdown ala-western yang tidak bombastis ataupun bising, namun begitu intens mencengkeram penonton dan pastinya brutal. It's not so grandious, but really sharp and well-made. Intensitas terjaga rapih dengan banyaknya peluru yang beterbangan juga darah yang tumpah. Keunikan turut tersaji disaat Maclean begitu rapih merubah tone film dari serius dan brutal menuju komedi hitam yang aneh. Tidak terasa tumpang tindih, bahkan terasa menguatkan. Hal itu menjadi bukti kehebatan Maclean baik sebagai sutradara maupun penulis naskah. Keanehan bumbu black comedy-nya membuat film ini seolah berada dalam dunia yang sama dengan film-film Coen Brothers. Tidak lupa Maclean menyelipkan hati berkat sebuah twist yang lagi-lagi membuat sebuah kematian tidak hanya tragis namun romantis. Romansanya terasa menyayat berkat kejutan tersebut.

Aktornya bermain baik. Michael Fassbender punya segala pesona yang dibutuhkan untuk menjadi Silas: misterius, cool, dan seorang outlaw hebat yang bahkan tidak bergerak sedikitpun meski ada pistol yang ditodongkan kearahnya. Kodi Smit-McPhee juga mendapatkan pencapaian serupa dengan sosoknya yang nampak halus, lemah dan quirky. Kesan bahwa ia berada di tempat yang salah dan seorang pria yang tidak tahu apa-apa tentang situasi di sekitarnya terpampang jelas. Jay mungkin tidak bisa diandalkan, namun tidak pernah terasa menyebalkan. Ekpsresi dan emosi yang ia tunjukkan sedikit demi sedikit begitu sempurna memaparkan kebaikan hati dan kejujuran karakternya. Terakhir ada Ben Mendelsohn yang untuk kesekian kalinya menjadi sosok psikopat. Terasa tipikal bagi sang aktor tapi tak pernah membosankan melihat penampilannya, apalagi saat penonton dibuat merasakan aura mengerikan hanya dari tatapan mata. 

Verdict: Singkat, padat, amat memikat. Slow West memberi modifikasi dalam sajian western tanpa pernah sekalipun merupakan hakikat dasarnya. Kini tidak perlu lagi kita menunggu Coen Brothers untuk sebuah sajian yang keras, brutal, aneh, sekaligus lucu.