REVIEW - BILL & TED FACE THE MUSIC

5 komentar

Bagaimana menciptakan follow-up untuk petualangan gila bernama Bill & Ted’s Bogus Journey (1991), yang membawa dua tokoh utamanya mengunjungi surga dan neraka, juga bertemu malaikat pencabut nyawa, alien jenius dari Mars, iblis, bahkan Tuhan? Jawabannya, dengan membentuk Avengers versi musisi, dan terpenting, menambahkan hati. Bill & Ted memang seri komedi absurd yang terkesan bodoh, namun film ketiganya ini sanggup menerjemahkan gagasan “musik dapat menyelamatkan dunia” dengan cara paling optimistis sekaligus menyentuh.

Diramalkan bakal menyatukan dunia melalui musik, karir Bill (Alex Winter) dan Ted (Keanu Reeves) malah hancur lebur. Dari band penguasa tangga lagu yang menggelar konser di Grand Canyon, sekarang Wyld Stallyns cuma tampil di pub kecil, ditonton oleh 40 orang yang datang demi makanan gratis. Bukan cuma soal karir, kehidupan personal keduanya pun berantakan. Istri mereka, Elizabeth (Erinn Hayes) dan Joanna (Jayma Mays), pun mulai kehilangan kebahagiaan.

Tuntutan “berpaling pada realita” makin tinggi, apalagi sekarang Bill dan Ted memiliki puteri yang sudah beranjak dewasa. Serupa ayah mereka, Thea (Samara Weaving) dan Billie (Brigette Lundy-Paine) adalah pengangguran yang hanya peduli soal musik. Tatkala dunia melupakan Wyld Stallyns, mereka tetap jadi penggemar setia. Ya, kali ini dua jagoan kita menghadapi masalah yang jauh lebih nyata, juga dewasa. Kembali menulis naskahnya, duet Chris Matheson dan Ed Solomon tahu bagaimana menerapkan pendewasaan tanpa menghilangkan identitas.

Walau masih dua sosok clueless yang acap kali melakukan kebodohan, Bill dan Ted kini lebih bijak. Bahkan Ted sempat mencetuskan ide untuk menjual gitar miliknya demi keluarga. Keduanya bertambah dewasa, tapi pastinya, dalam lingkup pendewasaan ala Bill dan Ted. Biarpun berjarak nyaris tiga dekade dari installment sebelumnya, Winter dan Reeves seolah tak pernah pergi, masih dengan ekspresi, gestur, serta penghantaran kalimat seperti dulu. Sedangkan Weaving dan Lundy-Paine memudahkan penonton untuk mempercayai kalau Thea dan Billie memang puteri Bill dan Ted. Keduanya menggelitik, bahkan Lundy-Paine bak kopian sempurna dari Reeves muda.

Petualangan sesungguhnya baru terjadi setelah kedatangan Kelly (Kristen Schaal), puteri Rufus (mendiang George Carlin), dari masa depan, yang menyampaikan kabar mengejutkan. Jika dalam beberapa jam ke depan Bill dan Ted tidak melahirkan lagu pemersatu dunia, bakal terjadi keruntuhan ruang dan waktu. Runtuh seperti apa? Well, contohnya, Yesus menghilang dari perjamuan terakhir, pun piramida tiba-tiba muncul di San Dimas sementara Ratu Elizabeth memandanginya dengan penuh kebingungan.

Ya, Face the Music masih imajinatif dan kreatif perihal eksplorasi konsep perjalanan waktunya, yang tak terbatasi hukum-hukum pasti. Masih bebas, masih semaunya, masih menyenangkan. Kreativitas serupa turut dimiliki humornya, termasuk absurditas jenius berwujud robot pembunuh dengan hati lembut bernama Dennis Caleb McCoy (Anthony Carrigan). Bagaimana bisa robot pembunuh punya kepribadian seperti itu? Punya nama lengkap pula! Itulah intinya.

Kemudian terjadilah beberapa perjalanan waktu. Menyadari keterbatasan waktu, Bill dan Ted pergi ke masa depan guna menemui diri mereka, yang diharapkan, sudah berhasil menulis lagu pemersatu dunia. Sebaliknya, menyadari kalau ayah-ayah mereka membutuhkan tim musisi terbaik, Thea dan Billie kembali ke masa lalu untuk mengumpulkan jajaran nama-nama legendaris, dari Jimi Hendrix di era 60an hingga Ling Lun, yang konon merupakan penemu musik Cina dari era prasejarah. Ada kesan puitis, , sewaktu kedua ayah “maju ke depan” sementara puteri-puteri mereka “mundur ke belakang”, untuk kemudian bertemu lagi di tengah sebagai satu keluarga.

Hebatnya, Bill & Ted Face the Music tidak terserang penyakit yang kerap menjangkiti sebuah franchise kala berusaha menerapkan peremajaan. Masa depan jelas penting, tapi masa lalu harus dihargai. Babak ketiganya memperlihatkan suatu pencapaian langka, di mana alih-alih “menyerahkan tongkat estafet”, karakternya membawanya ke garis akhir bersama-sama, yang menciptakan dampak emosional luar biasa terkait presentasi drama keluarganya.

Cuma satu kata yang pantas menggambarkan klimaksnya: EPIC! Bukan tentang “Seperti apa lagu terbaik sepanjang masa?”, melainkan esensi musik itu sendiri, yang dapat dinikmati dan dimainkan bersama tanpa batasan bahasa, tempat budaya, bahkan ruang dan waktu. Ditunjang CGI memadai, sutradara Dean Parisot (Galaxy Quest, Red 2) menciptakan salah satu sekuen musik paling meriah nan menggugah yang pernah ditampilkan dalam film. As the world unites, so is the family. What a movie!



Available on KLIK FILM

5 komentar :

Comment Page:
Syaeful Basri mengatakan...

Paling memorable adegan waktu ngumpulin musisi2 terkenal 😆

Syaeful Basri mengatakan...

Berharap film ini nantinya bisa tayang di bioskop

Netizen Baik Hati mengatakan...

Adegan ngumpulin musisi legenda itu keren sih... Sama ngobrol dengan malaikat prncabut nyawa yang ternyata jadi bassis di bandnya ted-bill kocak sih.. Sayang gue belom pernah nonton series filmnya waktu mereka masih remaja

Rasyidharry mengatakan...

Wah harus tonton. Bakal lebih kuat efeknya, termasuk soal si Grim Reaper

Unknown mengatakan...

Tonton bill & Ted 1 dan 2 biar dapet feel-nya dan kekonyolannya...hehe