REVIEW - THE BABYSITTER: KILLER QUEEN
The Babysitter: Killer Queen menggandakan kesan asal-asalan film
pertama, membuatnya bak sebuah parodi, atau bahkan shitpost. Ya, bentuk unggahan di internet (mayoritas bersifat
komedik) yang sengaja dibuat sembarangan demi memancing reaksi keras itu.
Bisa/tidaknya anda menikmati film ini tergantung pada “Mampukah anda menerima shitpost?”. Kalau jawabannya “mampu”,
maka anda akan menyukai keabsurdan seperti saat filmnya mendadak menampilkan
adegan pertarungan ala gim Street Fighter,
lengkap dengan life bar dan jurus
bola api.
Dua tahun pasca peristiwa The Babysitter (2017), Cole (Judah
Lewis) kini duduk di bangku SMA, tetap menjadi korban perundungan akibat
dianggap gila. Karena minimnya bukti, orang-orang menolak percaya bahwa Cole
nyaris dibunuh oleh Bree (Samara Weaving) dan para pemuja setan. Cuma
sahabatnya, Melanie (Emily Alyn Lind) yang percaya.
Cole masih menyukai Melanie. Setiap
berinteraksi dengan pujaan hatinya itu, orang-orang di sekitar Cole bergerak
lambat, seolah dunia hanya milik berdua. Tapi seperti kelakar “Good girls like bad guys”, Melanie malah
memacari Jimmy (Maximilian Acevedo) si pria tampan berbadan kekar dengan
kepribadian menyebalkan khas frat boy.
Sewaktu mengetahui kalau orang tuanya diam-diam
memasukkannya ke sekolah psikiatri, Cole menerima ajakan Melanie untuk
kabur guna menghabiskan akhir minggu ke pesta di suatu danau bersama Jimmy dan
teman-temannya.
Cole mengira, inilah kesempatannya
merebut kembali hati sang gadis. Kondom berukuran besar sudah disiapkan, dan
semua nampak berjalan lancar pada awalnya, hingga teror berdarah dari kelompok
pemuja setan kembali Cole temui. Saya takkan membongkar bagaimana itu bisa
terjadi, tapi jangan lupa, ini “film shitpost”.
Naskah buatan sang sutradara, McG (Charlie’s
Angels, Terminator Salvation, The Babysitter), bersama tiga penulis lain,
tak menawarkan penjelasan masuk akal berbasis logika.
Semua asal, semua ngawur. Termasuk
saat The Babysitter: Killer Queen membuat
elemen mistis— yang dijaga ambiguitasnya oleh film pertama— jadi realita, guna mengembalikan
remaja-remaja haus darah yang telah kita kenal betul karakteristiknya dari
kematian. Tapi sekarang Cole tidak sendirian. Phoebe (Jenna Ortega), si murid
baru dengan masa lalu kelam, turut terseret dalam aksi kejar-kejaran yang lebih
banyak menumpahkan darah.
Ingat saat Bee dan kawan-kawan membantai seorang remaja culun dan membuat darahnya muncrat bagai dilempar dari ember? Pemandangan itu makin sering muncul, nyaris di tiap kematian, yang oleh McG, dieksekusi secara lebih gory, lebih over-the-top, pula dengan kreativitas yang masih pantas mendapatkan pujian. Dan seperti telah disebutkan, beberapa adegan absurd nan acak sesekali diselipkan, yang dampaknya, bisa membuat kesal, tapi bisa juga menambah kenikmatan. Saya merasakan dampak kedua.
Tidak banyak.....well, tepatnya tidak ada yang ditawarkan film ini selain bergalon-galon darah. Isu-isu seperti PTSD, hingga teen angst yang melibatkan pembahasan soal pemakaian beragam jenis obat oleh remaja agar bisa bertahan menjalani kerasnya hidup, semua cuma tempelan. Tapi siapa yang mengharapkan eksplorasi mendalam dari film berjudul The Babysitter: Killer Queen? Dan tatkala Samara Weaving kembali, dengan aura yang masih sama kuatnya, lengkap sudah daya hiburnya. Tidak peduli kemunculannya merupakan deus-ex-machina (atau diabolus-ex-machina?) yang menuntaskan semua persoalan. SEMUA.
Available on NETFLIX
1 komentar :
Comment Page:Bang, review the social dilemma dong bang, makasih bng rasyid
Posting Komentar