REVIEW - THE FRENCH DISPATCH

Tidak ada komentar

Jurnalistik adalah cabang ilmu luar biasa. Selain mewartakan, ia pun bercerita. Cerita itu bisa menyentuh, menggelitik, menegangkan, atau bahkan kombinasi semuanya. Artinya, jurnalistik yang baik selalu memiliki rasa. Sebab apa pun bentuknya, bagaimanapun gayanya, di balik tulisan itu ada sesosok manusia.

Didasari kecintaan pada majalah The New Yorker, Wes Anderson membuat The French Dispatch selaku surat cinta bagi para jurnalis. Di luar kekhasan visual yang seperti biasa memanjakan mata dan memancing respon, "Kok bisa terpikir ide semacam itu?", cara bertuturnya pun unik, ditampilkan bak visualisasi artikel-artikel majalah. Tapi tiada jejak kemanusiaan selaku elemen substansial jurnalistik di sini.

Di kota fiktif bernama Ennui-sur-Blasé (memiliki arti harfiah "kebosanan terhadap keapatisan"), Arthur Howitzer Jr. (Bill Murray), editor majalah The French Dispatch, meninggal akibat serangan jantung. Sesuai wasiat, majalah bakal berhenti diproduksi selepas satu edisi terakhir, yang berisi empat artikel plus sebuah obituary untuknya.

Howitzer dibuat berdasarkan Harold Ross, salah satu pendiri The New Yorker, dan kecintaan Anderson terhadap sang editor kentara betul. "I'm not killing anybody", ucap Howitzer menanggapi tulisan para karyawan. Howtizer adalah editor idaman, yang enggan mengubah atau mengurangi karya jurnalis. Tapi rasanya itu perlu dilakukan. Lebih tepatnya, Anderson perlu mengevaluasi caranya mempresentasikan suatu pemberitaan, yang acap kali terlampau penuh sesak, sehingga sukar diikuti.

Anderson tenggelam dalam kekhasannya sendiri, seolah tak memedulikan fungsi jurnalistik (yang sedang ia buatkan surat cinta) sebagai pemberi berita. The Cycling Reporter jadi segmen pembuka pendek mengenai Herbsaint Sazerac (Owen Wilson) yang dari atas sepeda, berkeliling Ennui-sur-Blasé, guna menjabarkan seluk beluk kota. Begitu laporannya usai, penonton tetap takkan merasa familiar dengan kota tersebut, selain bahwa itu merupakan "satu lagi dunia nyeleneh Wes Anderson".

Artikel kedua (The Concrete Masterpiece) yang ditulis J.K.L. Berensen (Tilda Swinton) jadi segmen paling menarik, mengisahkan soal tahanan bernama Moses Rosenthaler (Benicio del Toro), yang talenta melukisnya ditemukan oleh Julien Cadazio (Adrien Brody), seorang art dealer. Lukisan Rosenthaler terinspirasi dari Simone (Léa Seydoux), sipir yang diam-diam menjalin hubungan dengannya.  

Lucinda Krementz (Frances McDormand) melahirkan artikel ketiga, Revisions to a Manifesto, yang menyampaikan peristiwa revolusi yang disulut para pemuda, dengan Zeffirelli (Timothée Chalamet) sebagai salah satu figur. Sedangkan The Private Dining Room of the Police Comissioner mengisahkan bagaimana liputan Roebuck Wright (Jeffrey Wright) terhadap polisi sekaligus chef legendaris, Nescaffier (Stephen Park), berkembang ke arah tak terduga, saat sindikat kriminal di bawah pimpinan The Chauffer (Edward Norton) menculik putera The Commissaire (Mathieu Amalric). 

Melakoni fase produksi secara langsung di Angoulême yang seolah dibuat khusus bagi sang sutradara, The French Dispatch punya segala elemen yang bakal memuaskan penggemar Wes Anderson: gambar-gambar simetris, tata artistik buatan tangan yang menghasilkan kesan bak drama panggung, mise-en-scene imajinatif yang kerap dipakai memunculkan komedi quirky (momen penggerebekan polisi ke markas penculik pada segmen keempat jadi favorit saya berkat nuansa cartoonish-nya), akting yang pas, termasuk cameo nama-nama besar langganan sang sutradara. 

Sebagai nilai tambah, kali ini Anderson menyelipkan beberapa sekuen animasi (disutradarai Gwenn Germain yang sebelumnya terlibat di Isle of Dogs), yang mengambil inspirasi dari komik-komik seperti The Adventures of Tintin. Alhasil, superioritas The French Dispatch sebagai parade visual semakin tidak terbantahkan. 

Tapi sekali lagi, bukankah jurnalistik mampu memantik rasa? Tidak harus dalam bentuk yang muluk. Saya pernah dibuat terenyuh oleh artikel buatan Laura Bicker (Coronavirus in South Korea: How 'trace, test and treat' may be saving lives). Tidak ada bahasa kelas tinggi. Hanya sebuah tulisan informatif yang secara cerdik dibuka dan ditutup dengan cerita seorang wanita saat menjalani tes Covid-19. Sederhana, tapi mengandung bobot rasa berkat sentuhan kemanusiaan meski cuma setitik. 

The French Dispatch ibarat majalah dengan sampul cantik, penuh foto-foto indah serta pernak-pernik unik, pula dicetak menggunakan kertas berkualitas tinggi. Banyak orang akan tertarik membeli, bahkan mungkin menjadikannya koleksi, memajangnya di rak-rak khusus. Sang kolektor membanggakan koleksinya itu kepada para tamu, tetapi senyumnya meredup begitu mendengar pertanyaan, "Terus isi tulisannya sebagus apa?". 

(Disney+ Hotstar)

Tidak ada komentar :

Comment Page: