REVIEW - CONFIDENTIAL ASSIGNMENT 2: INTERNATIONAL
Pada tahun 2017 kala Confidential Assignment dirilis, Hyun Bin masih susah payah mengembalikan karirnya selepas wajib militer, sekaligus baru kembali membintangi film layar lebar pasca absen tiga tahun. Kini ia salah satu aktor Korea Selatan paling populer. Yoo Hae-jin yang saat itu dikenal sebagai spesialis peran pendukung (meski mulai naik kelas sejak Luck Key setahun sebelumnya), sudah memantapkan status di jajaran atas. Yoona yang lima tahun lalu baru melakoni debut layar lebar, sekarang termasuk aktris paling bankable.
Lima tahun dapat mengubah segalanya, tapi Confidential Assignment 2: International masih serupa pendahulunya. Ringan, menghibur, punya semua amunisi untuk menjadi suguhan crowd-pleaser, dan tentunya tampil lebih besar selayaknya sebuah sekuel. Jika film pertama adalah buddy comedy mengenai dua figur dengan kepribadian bertolak belakang yang terpaksa bekerja sama, kali ini ada tiga kepala yang mau tidak mau mengesampingkan perbedaan mereka.
Konflik dimulai ketika Jang Myung-jun (Jin Seon-kyu dengan rambut plus kumis yang mengingatkan pada Charles Bronson di puncak karirnya), bos organisasi kriminal Korea Utara, kabur dari kejaran FBI ke Seoul. Pihak Korea Utara pun mengirim detektif Im Cheol-ryung (Hyun Bin) ke Selatan, di mana ia mesti bekerja kembali bersama Kang Jin-tae (Yoo Hae-jin). Enggan menyerahkan buruannya, FBI yang diwakili Jack (Daniel Henney) ikut turun tangan.
Di luar pertambahan jumlah protagonis, alurnya tak membawa perubahan siginifikan dibanding film pertama. Bahkan beberapa adegan tampil bak reka ulang, misal momen saat si antagonis dikhianati rekan bisnisnya. Pun untuk menggerakkan cerita, MacGuffin masih digunakan, bedanya, pelat uang palsu digantikan oleh narkoba.
Kemiripan di atas bukan masalah. The Roundup yang jadi film Korea paling laris 2022 melakukan hal yang sama, dan kualitasnya justru mengalami peningkatan. Sayang, memindahkan tugas menulis naskah ke tangan Im Sung-soon menghalangi Cofidential Assignment 2: International mencapai prestasi tersebut. Im Sung-soon kepayahan dalam menangani intrik sarat konspirasi, sehingga menghasilkan penceritaan kusut, yang tampil lebih membingungkan dari seharusnya.
Kursi penyutradaraan juga berpindah ke Lee Suk-hoon. Di atas kertas, ia lebih berpengalaman dari Kim Sung-hoon selaku sutradara film pertama dalam hal menangani blockbuster. The Pirates (2014) dan The Himalayas (2015) jadi bukti. Metode Suk-hoon mengarahkan aksi tak semulus Sung-hoon. Penyuntingan frantic diterapkan, ketimbang pemakaian tata kamera dinamis yang dapat menangkap detail koreografi.
Beruntung, kelemahan teknis itu mampu ia tutupi, dengan membawa tenaga yang memadai untuk melahirkan blockbuster menghibur. Cepat, tangkas, dinamis. Klimaksnya menyertakan nuansa akrofobik intens, meski belum memenuhi potensi maksimal, akibat tak menyatukan tiga tokoh utamanya dalam satu set piece aksi.
Tatkala aksinya inkonsisten, Confidential Assignment 2: International melempar dua senjata lain yang tidak kalah ampuh. Pertama, interaksi antar karakter. Pertemuan Cheol-ryung dan Jin-tae terasa lain. Bukan lagi dua pihak berlawanan yang saling bergesakan, tapi bagai reuni dua kawan lama. Cheol-ryung lebih fleksibel dan santai, sedangkan Jin-tae makin berdedikasi dalam bertugas. Hangat.
Kedua, komedi. Film ini menambah kuantitas humor, yang hebatnya, selalu tepat sasaran. Apalagi running joke soal ambisi Park Min-young (Yoona), adik ipar Jin-tae, untuk merebut hati Cheol-ryung, bukan cuma dilanjutkan, tapi semakin ramai berkat hadirnya Jack. Semua cast-nya tampak menikmati aktivitas melucu. Hyun Bin dengan deadpan khasnya; Daniel Henney yang sok pamer; Jang Young-nam sebagai So-yeon, istri Jin-tae, yang ikut terpikat pesona si pria Amerika tampan; Yoo Hae-jin lewat polah-polah "besar" miliknya; dan tentu saja Yoona yang comic timing-nya makin terasah.
Penggemar Yoona bisa bergembira, sebab porsinya di sini berlipat ganda. Wajar, sebab seperti sudah disebut sebelumnya, ia bukan lagi aktris pemula, melainkan bintang bonafide bermodalkan box office hit 9 juta penonton di filmografinya. Beberapa keterlibatannya mungkin terkesan dipaksakan, dengan dampak minim pada keseluruhan alur, namun ketika tawa penonton berhasil diledakkan, rasanya kekurangan tersebut tidak perlu diambil pusing. Confidential Assignment 2: International mungkin bukan gelaran aksi sekuat film pertama, tapi melalui komedinya, ini adalah crowd-pleaser yang lebih...well, "pleasing".
REVIEW - JAGAT ARWAH
Bayangkan orang mabuk. Tubuh sempoyongan, kurang bertenaga, mata terasa berat, tapi mulutnya nyerocos tidak karuan sambil merasa omongannya pintar, padahal kelakuannya bodoh. Begitulah Jagat Arwah.
Entah apakah perumpamaan di atas tepat. Sebenarnya saya tidak terlalu peduli. Karena filmnya sendiri, terutama di departemen naskah, terkesan tak memedulikan kesejahteraan jiwa dan raga penontonnya. Berlebihan? Mungkin, tapi sekali lagi saya tidak peduli.
Pasca sekuen pembuka menjanjikan, yang tampak masif berkat visualisasi mumpuni, ditambah narasi menarik seputar mitologi dunianya, Jagat Arwah bak berjalan sambil tidur. Penonton pun bisa tertidur dibuatnya. Bisa jadi filmnya sengaja melakukan itu sebagai cara mempraktikkan ilmu rogo sukmo ke penontonnya.
Raga (Ari Irham) nama protagonis kita. Impiannya berkarir di jalur musik terbentur restu bapaknya, Sukmo (Kiki Narendra). Nah, betul kan? Nama karakternya saja "Raga" dan "Sukmo". Pasti ini subliminal message.
Tanpa Raga tahu, di balik profesi utama sebagai penjual obat, sang ayah adalah Aditya ke-6. Gelar "Aditya" disematkan secara turun temurun pada mereka yang bertugas menjaga keseimbangan jagat arwah dan jagat manusia. Sederhananya, DUKUN. Sukmo kerap dipanggil untuk mengusut kasus kesurupan. Apa namanya kalau bukan dukun?
Singkat cerita, Sukmo tewas dibunuh arwah jahat yang bersemayam di sebuah guillotine. Sejak itulah tugas sebagai Aditya otomatis turun ke Raga. Dibantu pamannya, Jaya (Oka Antara dengan dandanan ala Clint Eastwood di Dollars Trilogy), Raga mesti belajar memakai kekuatan Aditya melalui berbagai pelatihan yang.....well, tidak jelas. Sungguh. Apa tujuan suatu sesi latihan, ilmu apa yang tengah dilatih Raga, tidak pernah jelas. Tahu-tahu Jaya melempar pujian, "Hebat juga kamu". Saya pun menjawab "Matamu Jay!".
Begitu pun perihal mitologinya. Naskah yang ditulis Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Temen Kondangan) bersama sang sutradara, Ruben Adrian, berdasarkan cerita buatan Mike Wiluan (Buffalo Boys), melupakan berbagai detail penjelas. Mereka seperti asyik sendiri melempar beraneka ragam istilah sambil sesekali memakai diksi puitis, namun lalai melengkapi mitologi itu sendiri.
Filmnya diisi gagasan unik lewat peleburan mistisisme Jawa dengan fantasi. Ide membentuk "tim demit super" beranggotakan Genderuwo (Ganindra Bimo), Nonik (Cinta Laura Kiehl), dan Kunti (Sheila Dara) juga menarik. Sayang, pacing dalam pengadeganan Ruben Adrian membuat Jagat Arwah seperti berjalan sambil tidur. Bukan lambat, bukan pula kontemplatif, tapi draggy. Seperti orang mabuk yang blackout lalu diseret pulang secara paksa.
Aksinya tidak kalah melelahkan. Minim energi, bahkan acap kali berakhir terlalu cepat. CGI-nya tidak buruk. Jauh dari itu. Tapi sebagus apa pun CGI, jadi percuma jika pemakaiannya kurang pas. Berikan smartphone ke orang mabuk, berubahlah ia menjadi idiotic-phone. Maafkan kalau kali ini saya terlalu banyak memakai kiasan mabuk-mabukan. Karena menonton Jagat Arwah memberi sensasi serupa. Keluar dari studio, hangover seketika menyerang. Pusing. Pening. Bingung membedakan pagi, siang, atau malam. Oh, atau mungkin filmnya berhasil melakukan rogo sukmo?
REVIEW - SMILE
Kita kerap didorong untuk memendam emosi negatif. Jika berada di ruang publik bersama orang lain saat tengah bersedih, tersenyumlah agar tidak merusak suasana. Bahkan ketika bersedih dalam kesendirian pun, kita disarankan tersenyum supaya emosi negatif tidak menggerogoti hati. "Don't be sad cause everything's gonna be okay". Tapi benarkah toxic positivity semacam itu dapat menyembuhkan, atau justru menghasilkan luka berkepanjangan?
Parker Finn mengembangkan film pendek buatannya, Laura Hasn't Slept (2020), jadi penelusuran tentang trauma, serta upaya merepresinya, yang alih-alih menguatkan, malah menghancurkan. Caitlin Stasey kembali memerankan Laura, pasien Dr. Rose (Sosie Bacon), yang mengalami gangguan kecemasan setelah melihat sosok misterius yang tersenyum ke arahnya.
Sesi konsultasi itu berakhir tragis. Laura bunuh diri di hadapan Rose. Anehnya, sejak peristiwa tersebut Rose mulai menderita gejala serupa Laura. Dari situlah naskah buatan Finn membawa Rose menjalankan investigasi soal misteri kematian Laura, yang turut membawanya kembali menengok ke masa lalunya sendiri.
Melalui debut penyutradaraan film panjangnya ini, Finn kentara berambisi ingin menghadirkan horor yang berbeda, sambil tetap melangkah di arus utama dengan tak mengasingkan penonton awam yang mencari teror seru. Finn benar-benar ingin bercerita, walau dalam eksekusinya, upaya itu tak selalu berjalan mulus.
Smile punya lebih banyak layer serta isu untuk dibicarakan ketimbang mayoritas horor arus utama, meski layer-nya tak sedemikian mendalam, sementara caranya membicarakan isu tak seberapa pintar. Bagaimana trauma menyebar dengan mengambil wujud senyuman adalah gagasan tajam sekaligus relevan. "Senyum palsu" tak mengobati apa pun. Kelak naskahnya juga memperkenalkan cara memutus kutukan, yang mewakili kondisi destruktif, kala individu meluapkan kekacauan pikirnya dengan mengacaukan orang lain.
Semua bakal makin efektif, kalau Finn tak berlama-lama berputar di usaha Rose meyakinkan orang-orang di sekitarnya, mulai dari Trevor (Jessie T. Usher) si tunangan, hingga Holly (Gillian Zinser) si kakak, yang bersikap skeptis terhadap cerita si tokoh utama. Bukannya tanpa maksud. Finn hendak menggambarkan kegagalan orang terdekat mendengarkan isi hati individu penderita gangguan mental, namun presentasinya repetitif, pula cenderung draggy, biarpun penampilan solid Sosie Bacon sebagai sosok yang mengalami penderitaan mental selama 24/7, mampu menjaga kestabilan dramanya.
Dibantu sinematografi garapan Charlie Sarrof, Finn melahirkan horor stylish lewat beberapa camerawork unik, walau pada akhirnya, tetap bergantung ke metode klasik untuk urusan menakut-nakuti: jump scare berisik. Klise, tapi harus diakui cukup efektif, apalagi berkat timing tata suara yang tepat. Mungkin selain fakta bahwa tak seluruh penampil punya senyum seseram Caitlin Stasey, dosa terbesar filmnya adalah mengungkap jump scare paling menyeramkan di trailer.
Klimaksnya apik (mengingatkan ke ending salah satu horor Inggris paling berpengaruh dari pertengahan 2000-an), sedikit menyentuh ranah creature feature berbalut efek visual mumpuni, pilihan shot disturbing, juga subteks perihal isunya, tentang bagaimana kita mesti berani menghadapi trauma.....walau itu pun tak selalu berjalan sesuai harapan. Karena sekali lagi, menghapus luka tak sesederhana menyunggingkan senyum. Andai durasinya cuma sekitar 90 menit.
REVIEW - WATCHER
Watcher merupakan thriller psikologis yang klise. Tiap sisi alurnya familiar, termasuk twist di babak akhir. Apa yang Chloe Okuno, selaku sutradara sekaligus penulis naskah lakukan, adalah menggali relevansi dari keklisean tersebut. Modifikasi mungkin tak perlu dilakukan, bila yang diangkat masih kerap ditemui di realita.
Julia (Maika Monroe) pindah ke Bukares, Rumania, guna mengikuti sang suami, Francis (Karl Glusman), yang mendapat pekerjaan baru. Ibu Francis berasal dari sana, sehingga ia fasih berbahasa Rumania, tapi tidak dengan Julia. Setiap hari ia ditinggal sendirian di apartemen yang sempit, tanpa teman, tanpa aktivitas berarti, sementara Francis bekerja. Interaksi hanya terjadi antara ia dan Irina (Mãdãlina Anea) is tetangga sebelah.
Selain kesepian, Julia juga merasakan ketakutan, setelah melihat sesosok pria dari apartemen seberang tengah mengawasinya dari jendela. Bahkan di luar pun Julia merasa diikuti. Kecemasan bertambah, kala terjadi kasus pembunuhan terhadap wanita yang tinggal di dekat tempat tinggalnya. Diutarakan kekhawatiran itu pada Francis, namun si suami menyiratkan ketidakpercayaan. "Maybe he's staring at the woman who's staring at him", ucap Francis.
Menyusul berikutnya adalah rentetan momen-momen yang entah sudah berapa kali kita temui di film-film bertema serupa. Julia terlibat cekcok dengan merekayang skeptis soal ceritanya, obligatory dream sequence, dan lain-lain. Watcher bukan seperti Rear Window (1954) yang memakai teknik rumit perihal membangun tensi. Penyutradaraan Okuno cenderung textbook, misal memelankan tempo saat build up, atau memperdengarkan musik atmosferik.
Tapi semua itu efektif. Watcher takkan membuat jantung kita serasa mau copot, tidak pula membawa terobosan baru di ranah eksekusi, namun gedoran mendadak di pintu, penampakan siluet yang melambaikan tangan dari gedung seberang, pula rasa sesak, karena sebagaimana Julia, kita menghabiskan banyak waktu dalam kamar sempit berwarna suram dengan perabot ala kadarnya, efektif menjaga atensi penonton.
Apa yang membuat Watcher menarik justru subteksnya, ketika secara jelas tanpa harus "berteriak", Okuno melempar isu gender melalui kondisi protagonisnya. Julia teralienasi akibat benturan bahasa. Di meja makan, sewaktu Francis mengundang rekan kerjanya makan malam, Julia cuma bisa terdiam di tengah riuh rendah obrolan.
Pertanyaannya, andai tiada tembok bahasa, apakah situasi Julia membaik? Apakah keluh kesahnya lebih didengar? Mari beralih sejenak ke fenomena yang lebih dekat. Perempuan merasa takut berjalan sendirian, bahkan sebelum matahari terbenam, akibat banyaknya gangguan di ruang publik, dari catcalling hingga pelecehan fisik. Sudah sering ketidaknyamanan dan ketakutan tersebut diangkat, namun tidak jarang, respon yang terkesan menggampangkan, bahkan meremehkan dengan cara menjadikannya bahan bercandaan (terutama dari laki-laki) justru didapat.
Watcher menyentil persoalan di atas. Bagaimana perempuan sebagai korban jarang didengar, bagaimana laki-laki yang tak memahami rasa khawatir yang menghantui tiap hari memandangnya bak angin lalu, atau malah kisah seru. Pula bagaimana pepatah "mati satu tumbuh seribu" berlaku dalam upaya pemberantasan masalahnya.
Satu hal yang jauh dari kesan klise dalam film ini adalah konklusinya. Karakternya mengambil langkah cerdas, yang selama ini sering saya harapakan diambil oleh karakter dari film horor atau thriller. Kalau diperhatikan, langkah itu selaras dengan latar belakang karakternya.
(Shudder)
REVIEW - DO REVENGE
Alfred Hitchcock tidak asing dengan fleksibilitas genre. Psycho (1960) berubah dari cerita kriminal menjadi slasher di tengah durasi, sedangkan untuk memaksimalkan intensitas horor di paruh akhir, The Birds (1963) dibuka layaknya komedi screwball. Tapi sang "master of suspense" pun rasanya takkan menduga bahwa lebih dari tujuh dekade berselang, thriller psikologis arahannya, Strangers on a Train (1951), bertransformasi jadi homage untuk teen flick era 90-an hingga 2000-an.
Disutradarai oleh Jennifer Kaytin Robinson, yang turut menulis naskahnya bersama Celeste Ballard, dengan cerdik melakukan penggabungan dan modifikasi. Protagonisnya bukan atlet tenis pria, melainkan siswi populer dari SMA Rosehill bernama Drea (Camila Mendes). Tapi tenis tetap berperan, dalam bentuk kamp musim panas tempat Drea bertemu Eleanor (Maya Hawke), siswi baru di Rosehill.
Status Drea sebagai siswi kasta atas hancur, kala video pribadi yang dia kirim pada sang pacar, Max (Austin Abrams), bocor ke seisi sekolah. Drea yakin Max sengaja menyebarkannya, namun tak ada yang percaya. Para sahabat yang ia kira setia pun meninggalkan Drea. Eleanor juga punya masalah terkait persepsi publik, setelah Carissa (Ava Capri) menyebar rumor kalau Eleanor melecehkannya di suatu kamp musim panas.
Saling melempar keluh kesah mendadak berkembang ke arah sebuah rencana gila, saat keduanya sepakat "bertukar balas dendam". Drea bakal membalas Carissa demi Eleanor, Eleanor akan membalas Max demi Drea. Di Strangers on a Train, pertukaran itu bertepuk sebelah tangan. Guy (Farley Granger) menolak gagasan tersebut, tapi Bruno (Robert Walker) selalu memaksanya. Siapakah yang mengisi peran Guy si pria baik-baik dan Bruno si psikopat?
Di situlah letak kecerdikan modifikasi naskah Do Revenge. Penokohan Drea dan Eleanor tidak mencatut dua karakter Hitchcock secara mentah-mentah, melainkan memadukannya lewat beberapa pertukaran. Bukan sebatas "agar berbeda", tapi sebagai bentuk penyesuaian terhadap pesan yang diangkat, salah satunya seputar kompleksitas dunia remaja.
Di satu titik, para remaja bisa berteman akrab, namun tak lama kemudian saling tusuk, hanya untuk berbaikan kembali. "Labil" mungkin sebutan yang pas, biarpun cenderung menggampangkan. Sebab kelabilan itu merupakan dampak awan gelap kehidupan remaja, yang erat dengan pencarian jati diri dan pengakuan, sakit hati, kesendirian, bahkan perundungan.
Perihal woke culture ikut dibahas. Bagaimana "woke" memang diperlukan, tapi obsesi terhadapnya kerap melahirkan kepalsuan. Contohnya Max, si "fake woke misogynist motherfucker". Mengaku sebagai feminis, ditambah status siswa pria kulit putih kaya membuat Max dipuja, sedangkan Drea terpinggirkan. Kita tahu siapa yang keliru.
Tapi tidak semua sesederhana itu. Jika Strangers on a Train merupakan "film hitam putih", baik secara literal maupun caranya memandang baik-buruk, Do Revenge sebaliknya. "Berwarna". Menontonnya bak sedang mengamati kasus di media sosial yang melibatkan cancel culture penuh kejutan. Awalnya opini publik tergiring untuk berpihak ke satu sisi, mencela sisi lain, sampai terungkap fakta yang membalikkan persepsi tersebut. Terus berulang, hingga kita menyadari kompleksitas di baliknya.
Deskripsi "berwarna" juga dapat disematkan pada estetikanya. Termasuk tata kostum yang bahkan membuat sebuah piama enak dilihat. Wajar, mengingat Do Revenge juga memberi homage bagi teen flick dekade lalu. Romansa, persahabatan, adegan makeover, maupun kekhasan lain genre tersebut, yang pengadeganannya mengingatkan ke judul-judul seperti Clueless (1995), 10 Things I Hate About You (1999), dan tentu saja Mean Girls (2004).
Penceritaannya mungkin tak selalu mulus. Durasi 118 menit menciptakan permasalahan pacing, sementara sebuah twist yang menjelaskan rencana mendetail salah satu karakternya agak bergantung pada kebetulan agar bisa berjalan. Tapi ketika Camila Mendes dan Maya Hawke (looks so much like her mother, this movie almost feels like the third 'Kill Bill') senantiasa menghadirkan energi serta chemistry yang sempurna ke layar, kelemahan penceritaan tadi jadi terasa trivial. Tidak perlu meragukan daya hibur film yang menamai seekor kadal "Oscar Winner Olivia Colman".
(Netflix)
REVIEW - GENDUT SIAPA TAKUT?!
Sebagai komedi, Gendut Siapa Takut?! tampil menghibur. Humornya cukup efektif memancing tawa, estetikanya lebih diperhatikan ketimbang kebanyakan komedi kita, jajaran cast-nya kuat, termasuk Marshanda yang kembali pasca empat tahun absen dari layar lebar. Tapi sebelum semua hal di atas, semestinya film ini lebih dulu menjadi kisah soal self-love. Di situlah ia terjatuh.
Masalah yang paling menonjol tentu pemakaian fat suit. Kenapa film yang coba melawan stigma buruk bagi pemilik tubuh gendut (yang juga tak berisi transformasi tubuh karakternya) malah memakai fat suit, alih-alih memilih pemain yang "pas"? Bukan fat suit yang bagus pula. Tanpa bantuan tata rias di wajah (biasanya prostetik), hasilnya makin jauh dari natural. Marshanda seperti mengenakan balon.
Padahal sang aktris sudah sedemikian total. Ditingkatkan berat badan hingga 10 kilogram, dan kala melakoni adegan komedik, ia habis-habisan, seolah bersedia melakoni apa pun demi meningkatkan kualitas filmnya. Marshanda memerankan Moza, penulis novel best seller yang berharap didatangi pangeran berkuda putih sebagai pasangan hidupnya. Tapi berat badan berlebih membuat impiannya itu sukar jadi kenyataan.
Kedua orang tua Moza (Cut Mini dan Tora Sudiro) selalu mendorongnya agar cepat mencari pasangan, tapi menyadari realita, Moza memilih fokus pada pekerjaan, di mana ia dibantu oleh sang editor, Eno (Dea Panendra). Tiga nama tersebut berjasa memaksimalkan daya bunuh komedinya. Terutama Dea Panendra dengan gaya serba berlebihnya.
Sebenarnya Moza menyimpan rasa pada Dafi (Marthino Lio), sutradara ternama yang bakal menangani adaptasi novelnya ke layar lebar. Salah satu calon pemain di film tersebut adalah Anggun (Jihane Almira), model dengan jumlah pengikut di Instagram mencapai 20 juta. Jihane adalah scene stealer. Aktingnya di "adegan casting" kelak dapat membuat Jihane mengikuti jejak Dea sebagai pencuri perhatian dalam film-film komedi.
Humor yang muncul dari naskah buatan Pritagita Arianegara (juga duduk di kuris sutradara) dan Ilya Aktop tak jarang tampil sedikit absurd, memfasilitasi hadirnya beberapa momen imajinatif yang turut berjasa menyegarkan filmnya. Beberapa visualisasi quote terasa acak, kurang terikat dengan narasi, namun kuantitasnya tak sampai mengganggu.
Estetika Gendut Siapa Takut?! memang enak dipandang. Rumah Moza yang didominasi warna jingga selaras dengan tone cerita. Lalu secara kreatif, di sebuah flashback warna rumah (juga baju karakter) diubah menjadi kelabu. Sebagai hiburan, Gendut Siapa Takut?! begitu solid.
Tapi seperti sudah disinggung sebelumnya, penceritaan tentang self-love yang melawan standar kecantikan mestinya dikedepankan. Saya belum membaca novel Gendut? Siapa Takut! karya Alnira yang jadi sumber adaptasi, tapi apa yang versi layar lebarnya sajikan adalah penuturan tak tentu arah yang kacau, pula gagal menyuarakan pesan utamanya.
Moza bertemu lagi dengan Nares (Wafda Saifan Lubis), yang sewaktu kecil kerap menjadikan tubuh gendutnya bahan ejekan. Nares hendak minta maaf atas dosa masa lalu tersebut, namun trauma yang Moza alami terlalu dalam. Tapi seiring berjalannya waktu, bukan cuma memaafkan, Moza mulai terpikat pada Nares.
Apa yang filmnya coba sampaikan dari romansa keduanya? Apa yang membuat percintaan mereka mendukung proses Moza melawan stigma negatif dalam hidupnya? Apakah ini kisah tentang bagaimana Moza berdamai dengan masa lalu? Kalau iya, apa perlunya menjadikan si pelaku perundungan pasangan cintanya? Apalagi nantinya terungkap bahwa Nares gemar mengejek Moza karena ingin mencari perhatian si gadis pujaannya. Di film lain mungkin lain cerita, tapi meromantisasi tindakan Nares di film yang seharusnya memberi empowering bagi pemilik tubuh gendut jelas bukan keputusan bijak.
Ada dua karakter lain (sepasang kekasih) turut mencela fisik Moza, dan bukannya memberi Moza "kemenangan" di permasalahan itu, filmnya justru menghadiahi pasangan tersebut dengan momen romantis. Bahkan keduanya tak menyesali, atau sekadar meminta maaf pada Moza. Betulkah ini film untuk Moza?
Gendut Siapa Takut?! juga dipenuhi poin-poin yang signifikansinya patut dipertanyakan. Misal konflik Nobel (Omara Esteghlal), adik Moza, dengan Nares, yang selain minim memberi dampak pada proses Moza, juga tampil inkonsisten. Di satu titik Nobel terlihat amat membenci Nares, tapi sejurus kemudian ia bersikap biasa saja, hanya untuk kembali menampakkan kebencian beberapa menit berselang. Kenapa juga twist di mana Moza menghadapi pengkhianatan harus ada? Lalu kenapa malah Moza yang akhirnya meminta maaf? Bahkan di film yang semestinya membela mereka, individu bertubuh gendut tidak dibela. Apa jadinya di realita?
REVIEW - JAILANGKUNG: SANDEKALA
Ivanna adalah film Danur terlaris, pun kalau tiada aral melintang (baca: horror fatigue), Jailangkung: Sandekala siap jadi film Indonesia kesebelas tahun ini yang menembus sejuta penonton. Patut diingat juga, perolehan Dreadout dan Ratu Ilmu Hitam tiga tahun lalu tidaklah buruk (831 ribu dan 915 ribu). Kimo Stamboel sudah membuktikan "daya jualnya". Sudah waktunya ada yang memberi sang sutradara kesempatan kembali menuju akarnya. Slasher.
Hati Kimo tertambat di subgenre tersebut. Ivanna memperlihatkan itu, sedangkan Jailangkung: Sandekala secara tak terduga memberi homage ke salah satu film paling berpengaruh dalam perkembangan slasher di era 80-an (clue: pemilihan lokasi, latar belakang karakter, twist, klimaks, hingga senjata yang dipakai). Hasilnya kurang mulus, meski tetap jadi yang terbaik di serinya, mengingat kualitas buruk dua judul sebelumnya.
Jailangkung: Sandekala menampilkan karakter baru, walau adanya satu kaitan kecil mensahkan statusnya sebagai sekuel (kalau tidak mau disebut "soft reboot"). Teror berawal dari hilangnya Kinan (Muzakki Ramdhan), putera bungsu pasangan Adrian (Dwi Sasono) dan Sandra (Titi Kamal). Di tengah road trip sekeluarga, mereka mampir ke sebuah danau. Kinan berjalan-jalan ditemani kakaknya, Niki (Syifa Hadju), sebelum tiba-tiba menghilang.
Kemudian naskah buatan Kimo bersama Rinaldy Puspoyo menebar misteri lewat peleburan elemen investigasi terkait banyaknya kasus anak hilang di lokasi tersebut, dengan penelusuran mistisisme lokal mengenai larangan keluar rumah tatkala senja, dan tentunya jailangkung itu sendiri.
Perihal mitologi jailangkung, film ini punya satu peningkatan dibanding dua film pertama: mantra. Akibat tetek bengek hak cipta, kita harus menerima kalimat konyol "Datang gendong, pulang bopong" sebagai pengganti mantra ikoniknya. Jailangkung: Sandekala mengambil keputusan cerdik, dengan menerjemahkan mantra tersebut ke Bahasa Sunda. Beda namun familiar, dan terpenting, mengembalikan nuansa mistisnya.
Sayang, naskahnya keteteran di ranah penceritaan. Eksplorasi misteri di atas tersaji sangat mentah, mitologi sandekala sebatas hiasan, sementara rules tentang keterlibatan jailangkung pun terasa rancu, sehingga menyebabkan kekacauan bertutur. Drama keluarganya diawali secara menjanjikan, hanya untuk kemudian dilupakan tanpa pengembangan berarti, menyia-nyiakan talenta dramatik para cast, terutama Titi Kamal dan Syifa Hadju.
Penceritaan jadi poin esensial, sebab Kimo menolak membuat tontonan cheap thrills yang hanya mengandalkan jump scare. Kuantitas jump scare atau bentuk penampakan apa pun ditekan (desain hantunya menarik, bak gabungan evil hobo di Mulholland Drive dan Creeper dari Jeepers Creepers dalam balutan tata rias apik), karena Kimo benar-benar ingin bercerita. Tapi naskahnya gagal mengakomodasi tujuan tersebut.
Barulah di klimaks Kimo benar-benar unjuk gigi, membawa Jailangkung: Sandekala sepenuhnya beralih ke ranah slasher. Aksi saling tikam yang dimotori totalitas Pipien Putri, energi tinggi bak Rumah Dara, homage yang saya sebut di awal tulisan pun mencapai puncaknya. Padahal darah minim ditumpahkan, tapi intensitasnya mencengkeram, sebab kita sedang melihat sutradara yang menuangkan kecintaan serta passion-nya. Studio tempat saya menonton riuh oleh tepuk tangan. Apa itu berarti penonton kita sudah siap disuguhi slasher "sungguhan"? Biarkan Kimo mencoba.
REVIEW - ONE PIECE FILM: RED
One Piece Film: Red punya segala kelebihan serta kekurangan "film anime" yang berstatus non-kanon. Para penggemar akan menyukainya. Tertawa, menangis, bersorak, bahkan bertepuk tangan seperti di studio tempat saya menonton. Bagaimana dengan orang awam yang masih asing dengan One Piece dalam medium apa pun? Entahlah. Tapi ini adalah film layar lebar kelima belas, dan sampai tulisan ini dibuat, versi manga telah merilis 1060 chapter, sedangkan anime ada di episode 1033. Anda yang salah kalau memulai perjalanan mengenali One Piece dari sini.
Ditangani oleh Gorō Taniguchi yang menandai debutnya menyutradarai film One Piece, Red bisa disebut sebagai "konser raksasa". Pertama, karena bentuknya mendekati musikal. A vibrant one. Taniguchi merangkai kemeriahan visual guna mengiringi lagu-lagu beraneka genre yang dibawakan oleh Ado. Pop, rock, metal, semua ada. Where the Wind Blows yang emosional jadi favorit saya. Chorus-nya menusuk.
Kedua, karena ceritanya memang berlatar di sebuah konser. Uta, idola yang tengah naik daun berkat rekaman videonya bernyanyi yang luar biasa (cara cerdik Tsutomu Kuroiwa untuk mengimplementasikan fenomena realita ke semesta One Piece melalui naskahnya), menggelar konser perdana. Semua orang berkumpul, termasuk kelompok bajak laut Topi Jerami.
Di tengah era bajak laut yang menebar ketakutan ke masyarakat, Uta berharap dapat menyebar pesan perdamaian dan memberi kebahagiaan melalui lagunya. Sampai Luffy mengungkap fakta mengejutkan bahwa Uta merupakan puteri Shanks si rambut merah.
Saya akan berhenti membahas alurnya, sebab beberapa kejutan telah filmnya siapkan, baik terkait cerita maupun kemunculan karakter, yang sebaiknya anda tonton sendiri. Tapi di sinilah naskahnya memanfaatkan dengan baik status Red sebagai non-kanon.
Latar "konser global" menjadi alasan masuk akal untuk mengumpulkan sebanyak mungkin karakter dalam satu waktu, dan sebagai non-kanon, deretan karakter itu, termasuk beberapa nama lama, bebas diotak-atik penokohannya. Hasilnya segar, apalagi ketika muncul deretan tandem tak terduga di aksinya.
Tujuan utamanya tentu fan service. Sewaktu banyak jurus karakternya lebih seperti proses "mengisi checklist" dengan dampak minim, adanya kombinasi-kombinasi mengejutkan tersebut membuat sekuen aksinya tampil menggigit. Terlebih di klimaks, tatkala Taniguchi sekali lagi unjuk gigi mengolah visual kaya warna, untuk menemani kombinasi antar karakter yang telah lama dinantikan penggemar.
Momen Shanks turun tangan jelas paling ditunggu. Mungkin itu pula alasan filmnya meraup pendapatan lebih dari dua kali lipat Z (2012), yang sebelumnya jadi film One Piece terlaris, juga menduduki posisi 13 daftar film berpendapatan tertinggi sepanjang masa di Jepang.
Di sinilah batasan suguhan non-kanon mulai nampak. Taniguchi telah berusaha maksimal agar tiap sepak terjang Shanks tampak masif, namun mengingat mustahil bagi Red mendahului manganya, filmnya seolah terbentur garis-garis yang haram dilewati dalam menggambarkan sosok si rambut merah.
Tapi kelemahan sesungguhnya dari Red terletak di hal lebih mendasar, yakni penceritaan. Alurnya bak olahan makanan yang diaduk secara kurang merata. Berantakan, ada bagian yang sedap, tapi ada pula yang hambar. Lalu saat ceritanya bermain-main dengan mitologi mengenai lokasi konser Uta, berbagai inkonsistensi perihal "aturan" soal mitologi tersebut menambah kekacauan alur.
Sebagai film, Red jauh dari sempurna, tapi kembali lagi, sebagai fan service, nyaris tanpa cela. Satu poin yang belum saya singgung tentang fan service-nya, yaitu bagaimana ia bukan asal memenuhi hasrat penggemar, pun mewakili jiwa petualangan One Piece secara menyeluruh.
Entah seperti apa perjalanan Luffy dan kawan-kawan berakhir, tapi saya yakin takkan jauh-jauh dari persatuan berasaskan perdamaian. Deretan karakter dari pihak berlawanan bersedia mengesampingkan perbedaan dalam satu pertarungan, kemudian disusul kredit penutupnya yang hangat, membuat One Piece Film: Red (meski bukan kanon) bagaikan gambaran kecil soal dunia yang diimpikan seorang Eiichiro Oda. Serupa realita, di sini musik juga tak kuasa mengubah dunia, tapi ia bisa menumbuhkan harapan, kebahagiaan, bahkan bisa saja menyelamatkan nyawa.
REVIEW - LARA ATI
Don't change a winning formula. Meraup total hampir 2,8 juta penonton dalam empat judul Yowis Ben (pasti lebih andai tidak ada pandemi), bisa dipahami jika Bayu Skak mempertahankan gaya serupa di Lara Ati. Proses menggapai mimpi, percintaan berbumbu patah hati, persoalan keluarga, hingga humor receh, disatukan dalam kemasan komedi Bahasa Jawa (identitas yang sebaiknya terus dipertahankan).
Berkaca pada capaian penonton hari pertamanya (sekitar 14 ribu), formula di atas kali ini nampaknya kurang efektif mendatangkan pundi-pundi uang. Entah diakibatkan persaingan ketat, di mana tiga judul peraih dua juta penonton masih meramaikan layar bioskop, atau publik sudah bosan dengan gaya ala Yowis Ben, atau malah sebaliknya, karena ini bukanlah Yowis Ben. Mana pun itu sangat disayangkan, sebab Lara Ati merupakan suguhan yang lebih solid dibandingkan tetralogi Yowis Ben.
Bayu yang melakoni debut penyutradaraan solo setelah sebelumnya selalu berduet dengan Fajar Nugros, sepenuhnya menyerahkan penulisan kepada Anissa Pandan Sari dan Aisyah Ica Nurramadhani. Jadilah kisah mengenai Joko (Bayu Skak), yang mati-matian bekerja di bank, agar segera naik jabatan supaya mendapat restu menikahi Farah (Sahila Hisyam). Sialnya Farah justru tiba-tiba bertunangan dengan pria lain yang lebih mapan.
Di tengah patah hatinya, Joko bertemu lagi dengan teman masa kecilnya, Ayu (Tatjana Saphira), yang pulang ke Surabaya pasca pindah ke Jerman tatkala keduanya masih SD. Kebetulan percintaan Ayu pun tengah didera masalah. Pacarnya, Alan (Cicio Manassero), sudah berhari-hari tidak bisa dihubungi.
Bisa ditebak Lara Ati bakal bicara tentang upaya Joko dan Ayu move on dari pasangan masing-masing, sebelum akhirnya mencintai satu sama lain. Tapi di luar dugaan, naskahnya tak langsung bergerak ke sana, lebih dulu membangun hubungan Joko-Ayu sebagai sahabat.
Metode tersebut ternyata efektif membangun romantisme. Pasalnya dua tokoh utama jadi kerap menghabiskan waktu berkualitas bersama. Bukan bermesraan atau mengumbar rayuan, melainkan saling membantu sambil bertukar isi hati. Quality time. Joko menolong Ayu mengatasi masalah di hubungannya, sedangkan Ayu mendorong Joko untuk berani mengejar mimpi serta memahami kekurangannya.
Seperti biasa, Tatjana bak magnet. Bukan semata karena paras ayu si Ayu, tapi Tatjana menghidupkan kepribadiannya yang menyenangkan. Layaknya sahabat yang membuat kita nyaman bertukar pikiran juga menuangkan isi perasaan. Perihal berbahasa Jawa, Tatjana cukup baik. Tentu ada kejanggalan di sana-sini, namun dapat dimaklumi karena Ayu sendiri menghabiskan lebih banyak hidupnya di Jerman.
Penceritaannya tidak selalu mulus. Misal persoalan cita-cita Joko menjadi desainer yang baru muncul di pertengahan (selepas melewati 45 menit). Terkesan mendadak, alih-alih dibangun bertahap sedari awal. Tapi secara menyeluruh, penuturannya rapi. Tahu kapan mesti lanjut mengolah alur, kapan waktunya berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi komedi (poin yang luput diperhatikan seri Yowis Ben).
Karena kemunculannya tertata, komedinya pun lebih efektif. Terutama tiap melibatkan Cak Kartolo sebagai ayah Joko, yang jadi scene stealer lewat celotehannya. Sebagai amunisi hiburan, Lara Ati juga mempersenjatai diri dengan deretan lagu-lagu catchy (Kartonyono Medot Janji milik Denny Caknan yang telah dikenal luas tentu paling menempel di ingatan), yang tidak asal diputar, tapi dibarengi sekuen musikal.
Kadang transisi menuju musikalnya tak berlangsung mulus, namun tujuan memperkaya variasi hiburan sukses dipenuhi. Jebule Ngapusi selaku nomor pembuka merupakan alih budaya yang apik dari sekuen Another Day of Sun milik La La Land, tanpa harus berusaha terlalu keras membuat imitasi. Sementara Iki Uripku tampil imajinatif layaknya suguhan aksi superhero movie. Lara Ati memang kisah getir yang menyenangkan.
REVIEW - WHERE THE CRAWDADS SING
Film mid-budget dengan target penonton usia dewasa, yang memadukan romansa, drama persidangan, serta misteri pembunuhan. Where the Crawdads Sing merupakan jenis tontonan yang makin jarang diproduksi Hollywood, ketika memasuki 2010-an, industri seolah cuma mengenal "film kecil" dan raksasa blockbuster.
Diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Delia Owens, ini adalah cerita tentang Kya (Daisy Edgar-Jones), yang hidup sendirian di tengah paya. Sejatinya ia mempunyai keluarga, namun akibat perilaku abusive sang ayah (Garret Dillahunt), satu per satu pergi, termasuk sang ibu (Ahna O'Reilly).
Warga sekitar menganggap Kya aneh, menjauhinya, pula memberinya julukan "marsh girl". Hanya sedikit yang (mau) mengenal namanya, lebih sedikit lagi yang mengetahui kisahnya. Salah satunya Tate (Taylor John Smith), sahabat Kya sejak kecil. Selain mengajari Kya baca tulis, Tate pun berbagi ketertarikan terhadap alam sebagaimana si gadis paya.
Sewaktu pemuda bernama Chase Andrews (Harris Dickinson) ditemukan tewas, kecurigaan mengarah pada Kya. Alurnya bergerak secara non-linear, bergantian menyoroti sidang kasus kematian Chase dengan Kya sebagai terdakwa, dan flashback soal proses tumbuh kembang si tokoh utama.
Meski berbagi elemen plot, gaya bercerita Olivia Newman selaku sutradara sejatinya cukup berbeda dibanding film-film mid-budget yang menguasai 90-an. Temponya lambat, pun cenderung berbentuk observasi, studi bagi karakter Kya, ketimbang rangkaian konflik padat nan intens. Kita diajak mengenal siapa Kya, apa saja yang membentuk kepribadian serta kondisi psikisnya, dan tentu saja, apakah benar ia membunuh Chase.
Walau sebenarnya durasi tak perlu mencapai 126 menit sebab beberapa momen berlangsung terlalu lama, pacing lambatnya bukanlah kekurangan. Ditemani visual cantik (angsa salju beterbangan, daun-daun melayang mengiringi ciuman pertama sang protagonis), Where the Crawdads Sing bagai perjalanan santai melintasi bentangan rawa, di mana penonton cuma perlu duduk sambil meresapi suasana. We're just vibing through the nature.
Where the Crawdads Sing juga sebuah kisah coming-of-age mengenai gadis yang belajar keluar dari cangkangnya, mengatasi ketakutan, pula membebaskan diri dari para "pemangsa". Berkat penampilan Daisy Edgar-Jones, mudah bersimpati pada proses yang Kya lalui. Sekuen persidangan pun terasa intens karena kita memedulikan nasib karakternya.
Daisy membuat sosok Kya tampak menyimpan teka-teki di mata publik (termasuk penonton), meski sejatinya justru ia yang dibuat bingung oleh teka-teki kehidupan. Mengapa ia selalu ditinggal pergi? Hingga di paruh akhir yang menyentuh, Kya menyadari bahwa semua orang, termasuk dirinya, memang akan pergi. Apakah pergi secara damai dalam pelukan kebahagiaan atau tidak, itu yang jadi pembeda.
REVIEW - NOKTAH MERAH PERKAWINAN
Mengadaptasi sinetron berjudul sama yang populer di pertengahan 90-an dengan aksi tampar-tamparannya, Noktah Merah Perkawinan melakukan hal yang sebelumnya nampak mustahil. Modernisasi baik di konten cerita maupun gaya jelas dilakukan, namun tanpa sepenuhnya menghapus ciri khas materi aslinya.
Pernikahan Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang (Oka Antara) memasuki masa-masa sulit. Sebulan pasca suatu pertengkaran hebat, keduanya masih bersikap dingin. Ambar ingin segera menuntaskan masalah, sedangkan Gilang cenderung lari dari masalah. Apa penyebab cekcok itu?
Pelan-pelan kita bakal diberi tahu, tapi momen pertengkaran itu sendiri tak pernah dipertontonkan. Karena seperti perkataan Kartika (Ayu Azhari, pemeran Ambar di sinetron) si konselor pernikahan, bukan pertengkaran itu yang perlu dibahas, melainkan pemicunya. Noktah Merah Perkawinan adalah proses memahami. Memahami pasangan, sembari memahami kekurangan diri sendiri.
Tapi tentu tak segampang itu. Campur tangan ibu masing-masing makin memperkeruh situasi. Apalagi selepas Yuli (Sheila Dara Aisha), murid di lokakarya kesenian keramik milik Ambar, memasuki rumah tangga mereka. Yuli membutuhkan jasa Gilang sebagai arsitek lanskap guna mendesain kafe kepunyaan pacarnya, Kemal (Roy Sungkono). Relasi bisnis itu pun berkembang, tatkala Yuli dan Gilang menemukan kenyamaan saat sedang bersama.
Bicara gaya, Noktah Merah Perkawinan lebih dekat dengan Marriage Story (2019) garapan Noah Baumbach ketimbang sinetronnya. Terutama di paruh pertama, pengarahan Sabrina Rochelle Kalangie (Terlalu Tampan) menerapkan tempo medium cenderung pelan. Tujuannya adalah mewakili dinamika emosi karakternya, yang di titik ini masih berusaha meredam.
Tapi seperti sebuah sinetron, naskah buatan Sabrina dan Titien Wattimena (karya terbaiknya sejak Salawaku enam tahun lalu) banyak bertutur secara verbal. Obrolan trio tokoh utama, sampai curahan hati Ambar, baik ke Kartika atau sahabatnya, Dina (Nazyra C Noer), tampil dominan. Bedanya dengan sinetron, itu bukan bentuk penentangan prinsip "show, don't tell", tetapi upaya mendesain filmnya agar tampil bak katarsis, yang terasa intim berkat permainan temponya.
Melanjutkan pencapaian Before, Now & Then dan Mendarat Darurat, film ini mengajak penonton memandang cinta segitiga dari sisi yang tak asal menghakimi. Yuli, yang membuktikan kepiawaian Sheila Dara menyelami tiap detail rasa, tidak dijadikan figur "pelakor" sebagaimana stigma negatif publik. Sebuah momen ketika Gilang memilih mengejar Ambar sementara Yuli ditinggalkan seorang diri, menyoroti kepedihan karakternya. Dia mesti menanggung segala luka sendiri akibat mencintai orang yang salah.
Penokohan Yuli merupakan salah satu wujud modernisasi filmnya. Contoh lain tentu saja perihal tampar-menampar. Mustahil membuat Noktah Merah Perkawinan tanpa elemen paling ikoniknya, tapi memaksa penonton sekarang bersimpati pada suami yang menampar istri jelas bukan pilihan. Naskahnya membawa opsi cerdik, dalam sekuen yang mengandung banyak poin menarik untuk dibicarakan.
Pertama, tentang bagaimana aktivitas "menampar" dimodifikasi. Masih luapan amarah, tapi alih-alih serangan ke lawan bicara, tamparan di sini jadi ekspresi "hukuman" bagi diri sendiri. Dua karakternya amat terluka, dan duet Marsha-Oka menumpahkannya secara menggetarkan.
Berikutnya terkait sensitivitas pengadeganan Sabrina. Kita sudah familiar dengan build-up menjelang momen berintensitas tinggi di genre horor dan aksi, tapi bagaimana dengan pertengkaran di drama? Sabrina membangun pelan-pelan. Diawali oleh interaksi remeh seperti membuka tutup toples, yang sekilas tenang, tapi aroma ketegangan samar-samar sudah tercium, sebelum ledakan emosi meningkat setahap demi setahap.
Sensitivitas sang sutradara memang keunggulan terbesar film ini. Biarpun mengedepankan tuturan verbal, ia tak mengesampingkan penceritaan visual, tahu apa saja yang mesti kamera tangkap. Demikian pula caranya memanfaatkan departemen musik yang ditata oleh Ifa Fachir dan Dimas Wibisana (satu isian solo gitar yang "sangat 90-an" terdengar menonjol di tengah kentalnya aransemen berbasis piano). Ada adegan di mana musik sempat berhenti sejenak, membiarkan penonton terhanyut dalam kesepian Ambar. Sabrina tahu cara memainkan emosi melalui iringan musik, bukan dipermainkan oleh ketergantungan terhadap musik.
Konklusinya menyimpan sensitivitas serupa, saat Sabrina menunjukkan bahwa mempercantik ungkapan rasa tidak eksklusif jadi milik arthouse semata. Konklusi yang berbicara lembut, seolah mengingatkan betapa sesuatu yang diawali dengan indah janganlah diakhiri secara pahit.
REVIEW - HUNT
Hebatnya Hunt adalah bagaimana Lee Jung-jae, yang melakoni debut penyutradaraan sekaligus menulis naskah bersama Jo Seung-hee, mengambil berbagai kejadian bersejarah nyata (Gwangju Uprising, Pengeboman Rangoon, pembelotan Lee Ung-pyeong si pilot Korea Utara, dll.) lalu menyatukannya untuk melahirkan sebuah cerita fiktif.
Tapi Hunt bukan bertindak selaku guru sejarah. Dia takkan membimbing penonton melewati setiap titik sambil menyediakan informasi penjelas. Pemahaman seputar kondisi politik Korea Selatan di era 80-an diperlukan guna memahami sebab-akibat peristiwa maupun motivasi karakter secara utuh. Semakin banyak anda tahu, semakin Hunt nampak mengagumkan.
Protagonisnya adalah Park Pyong-ho (Lee Jung-jae), ketua Badan Intelijen Nasional Korea Selatan untuk unit luar negeri. Terjadi persaingan antara ia dengan Kim Jung-do (Jung Woo-sung) yang mengepalai unit dalam negeri. Sebabnya, diyakini ada mata-mata Korea Utara menyusupi organisasi, dan telah membocorkan banyak rahasia negara. Mata-mata itu dipanggil "Donglim". Kedua unit saling mencurigai, pun secara resmi diperintahkan menyelidiki satu sama lain.
Seiring waktu kita juga mengenal lebih dalam dua pria tersebut. Pyong-ho merawat seorang mahasiswi bernama Jo Yoo-jeong (Goo Yoon-jung yang akhirnya berkesempatan membawa karisma kuatnya dari medium drama ke layar lebar), sedangkan Jung-do yang punya latar belakang militer masih belum bisa menghapus memori pahit terkait kerusuhan Gwangju.
Sekali lagi, segala detail penokohan di atas bakal punya makna hanya bila kita membekali diri sebelum menonton. Kenapa status Yoo-jeong sebagai mahasiswi amat penting meski ia tidak aktif berdemonstrasi? Apa pendorong mahasiswa berdemonstrasi? Kenapa kejadian di Gwangju berkontribusi besar membentuk motivasi Jung-do?
Naskahnya cerdik dalam menciptakan keterkaitan antar peristiwa, lalu membangun semacam dunia alternatif di mana seluruh momen bersejarah seolah berpusat pada tokoh-tokohnya. Termasuk dalam mengimajinasikan dampak dari pembelotan Letnan Lee, yang turut memberi Hwang Jung-min kesempatan memberi penampilan singkat namun berkesan. Sederet nama besar lain turut hadir dalam kapasitas cameo.
Kita tahu Hunt merupakan karya fiksi, tapi berkat kelebihan naskahnya tadi, menonton film ini bak sedang melihat presentasi berisi setumpuk fail rahasia negara. Fail yang menegaskan bahwa di tengah pergolakan politik Korea Selatan pada masa itu, definisi "benar/salah" mencapai ambiguitas tertingginya. Kedua tokoh utama mengusung tujuan yang sejatinya serupa, namun jalan yang ditempuh berlawanan, dan masing-masing bersedia melakukan segalanya, tidak terkecuali mengesampingkan nilai moral.
Meski baru melakoni debut, nyatanya Lee Jung-jae langsung membuktikan kapasitas sebagai sutradara bertalenta. Penceritaannya cepat, yang mana membantu menciptakan suguhan seru sarat elemen spionase (saya dibuat kagum oleh cara si mata-mata mengirim pesan dengan memanfaatkan jahitan baju), walau di sisi lain bakal makin menyulitkan penonton awam mengikuti alurnya.
Dibantu penyuntingan dinamis Kim Sang-bum yang telah berpengalaman menggarap thriller politik maupun spionase (Inside Men, The Spy Gone North), Lee Jung-jae berhasil menyusun rangkaian aksi intens. Tidak terkecuali di klimaks, yang lagi-lagi menunjukkan kejelian naskahnya mengotak-atik peristiwa sejarah, sembari menegaskan poinnya terkait ambiguitas. Tatkala iklim politik memanas, memilah siapa kawan dan lawan tak lagi segampang membedakan mana hitam mana putih.
REVIEW - PINOCCHIO
Menonton Pinocchio seperti menyaksikan pertunjukan boneka kayu, yang dipahat dengan penuh keterampilan, begitu indah. Sayangnya Peri Biru lupa menghembuskan jiwa ke dalam tubuh si boneka. Mata terbuai dibuatnya, namun hati ini nyaris tak tergerak.
Ditangani oleh sutradara Robert Zemeckis, yang selama empat dekade berkarir memang akrab dengan eksperimen visual, filmnya sudah terlihat memukau sejak menit-menit awal, kala Jiminy Cricket (Joseph Gordon-Levitt) tampak berjalan tak tentu arah di tengah hujan. Jiminy adalah karakter CGI yang amat "hidup".
Jiminy tiba di kediaman Geppetto (Tom Hanks), seorang pemahat yang tinggal menyendiri, hanya ditemani Figaro (kucing) dan Cleo (ikan). Istri beserta puteranya telah meninggal. Rumah Geppetto dipenuhi jam kukuk, yang tiap berbunyi mengeluarkan figur-figur karakter Disney. Sekali lagi visualnya memikat. Bukan sebatas rumah atau ruang kerja, melainkan bak tempat di mana keajaiban dapat terjadi.
Keajaiban akhirnya benar-benar terjadi. Boneka kayu yang Geppetto desain berdasarkan mendiang puteranya dan diberi nama Pinocchio, mendadak hidup. Peri Biru (Cynthia Erivo dalam balutan gaun cantik beralirkan cahaya) mengabulkan doa si pria tua dengan memberinya "putera baru". Peri Biru berjanji bakal mengubah Pinocchio jadi anak manusia sungguhan, jika ia bisa bertindak berani, jujur, dan tidak egois. Jiminy ditunjuk sebagai hati nurani Pinocchio guna membantu si boneka kayu mencapai tujuan tersebut.
Berikutnya, rentetan petualangan yang secara garis besar masih sejalan dengan versi animasinya (dirilis 1940, berstatus animasi kedua produksi Walt Disney), berturut-turut menghadirkan ujian bagi Pinocchio. Tipu daya Honest John (Keegan-Michael Key) yang menggiring Pinocchio menuju perbudakan Stromboli (Giuseppe Battiston) si puppeteer kejam, Coachman (Luke Evans) yang membawanya ke Pleasure Island tempat segala tindakan buruk diperbolehkan di tengah kemeriahannya, hingga monster laut raksasa yang menelan Pinocchio dan Geppetto.
Sekali lagi, kalau membicarakan visual, film ini tanpa cela. Seringkali film yang mempertemukan karakter nyata dan CGI, punya titik di mana salah satu jenis karakter tampak terpisah dari dunianya. Pinocchio berbeda. Karakter dan lingkungannya menyatu. Seperti tanpa sekat antara realita dengan rekayasa komputer.
Masalahnya semua itu hanya kulit luar. Di ranah lebih substansial, naskah buatan Zemeckis dan Chris Weltz sejatinya menerapkan modifikasi yang menarik sekaligus relevan. Muncul penegasan bahwa seluruh progres Pinocchio tercapai berkat dirinya sendiri, bukan campur tangan "higher power". Ada pula modernisasi dalam pesan perihal jati diri.
Zemeckis dan Weltz tahu apa yang mesti dipelajari tokoh utamanya. Keberanian, kejujuran, selflessness. Tapi naskahnya tidak tahu bagaimana mengomunikasikan tiga poin tersebut. Mungkin otak kita bisa menangkap mana tindakan Pinocchio yang mencerminkan masing-masing poin di atas, namun hati akan sulit meresapinya. Penyebabnya adalah penuturan yang buru-buru.
Pinocchio seperti karyawan yang bekerja sambil dikejar deadline, sebatas menuntaskan checklist, tanpa memahami apa sesungguhnya yang ia kerjakan, juga mengapa ia mengerjakan itu. Baik naskah atau pengarahan Zemeckis merupakan perwujudan nyata dari "melupakan substansi". Itu pula alasan sekuen transformasi Pinocchio dan para anak-anak di Pleasure Island tak semengerikan versi aslinya, biarpun mengandung beberapa elemen visual khas horor.
Kemudian mengenai jati diri. Di kelompok boneka Stromboli, Pinocchio bertemu karakter baru bernama Fabiana (Kyanne Lamaya), seorang puppeteer sekaligus mantan balerina yang kakinya mengalami cedera permanen. Agar dapat berjalan, Fabiana memakai alat bantu. Fabiana sama seperti Pinocchio. Dipandang "tidak sempurna". Tidak utuh. Film ini berpesan bahwa kesempurnaan dan keutuhan bukan berasal dari fisik, melainkan hati.
Sebuah pesan sederhana tetapi sangat bermakna. Saya pun menyukai secuil perubahan tersirat di konklusinya, yang senada dengan pesan tersebut. Betapa kesempurnaan tidak melulu persoalan fisik. Sebuah modifikasi yang saya harapkan juga dimiliki The Little Mermaid tahun depan.
Tapi naskahnya gamang, terjebak di antara tuntutan mengikuti sumber adaptasi dan membawa perubahan. Pinocchio versi film ini lebih mandiri. Dia sanggup memecahkan setumpuk rintangan berbekal kecerdikannya. Tapi kenapa dengan beragam akal dan trik cerdik itu, ia bisa berkali-kali dimanfaatkan kenaifannya? Atau mari kita balik. Bagaimana mungkin bocah senaif itu mampu mencetuskan sederet trik cerdik?
Pinocchio hanya akan jadi live-action remake yang gagal mengulangi sisi magis animasinya andai tidak ada Tom Hanks. Sang aktor membawa kasih sayang hangat. Doa sepenuh hatinya, teriakan bahagianya, nyanyian mengharukan tatkala dikaruniai putera baru, tiap Hanks mengisi layar, emosi filmnya berlipat ganda. Selain visual indah filmya, Hanks jadi alasan Pinocchio masih layak disimak. Walaupun karya klasik ini, yang luar biasa penting sampai lagunya (When You Wish Upon a Star) dipakai mengiringi logo Disney sebelum seluruh film mereka dimulai, seharusnya mendapat penghormatan yang lebih baik.
(Disney+ Hotstar)
REVIEW - MENDARAT DARURAT
Selepas Partikelir (2018) yang ambisius namun mengecewakan, Pandji Pragiwaksono kembali lewat Mendarat Darurat. Bukan asal kembali. Pandji bak pendekar kalah perang yang terluka, lalu menghabiskan empat tahun mengasah kemampuan, merenungi kesalahan, pula membaca situasi, kemudian turun gunung dalam kondisi jauh lebih matang. Di luar dugaan, Mendarat Darurat merupakan salah satu film Indonesia terbaik 2022.
Ya, film ini memang dianugerahi duet maut Reza Rahadian dan Marissa Anita. Reza bisa membuat pilek jadi situasi menggelitik, sedangkan di tangan Marissa, teriakan orang marah pun mampu memancing tawa. Jangan tanyakan kehebatan keduanya menangani drama. Bentakan Reza di akhir babak kedua, tangisan Marissa di berbagai titik, jadi senjata dramatik yang sukses mengaduk-aduk emosi. Tapi senjata canggih takkan berguna bila jatuh ke tangan yang salah.
Pasca bertahun-tahun menikah, hubungan Glenn (Reza Rahadian) dan Maya (Marissa Anita) mulai memasuki fase hambar. Tiada lagi saling manja atau "malam-malam panas". Hanya sepasang suami istri yang terus bertengkar. Jengah akibat selalu diomeli dan dituduh selingkuh, Glenn memutuskan benar-benar berselingkuh. Pasangannya adalah Kania (Luna Maya) si teman kantor.
Glenn mengajak Kania check-in ke hotel, berharap mendapatkan waktu berduaan. Kepada Maya ia mengaku sedang dinas ke luar kota. Sampai datang berita kalau pesawat yang "seharusnya" dinaiki Glenn mengalami kecelakaan, dan namanya tercantum dalam daftar korban jiwa. Ide yang unik. Sejatinya Mendarat Darurat masih menyisakan DNA Partikelir, dalam arti, tersimpan ambisi tampil beda.
Glenn terjebak dilema. Mustahil selamanya pura-pura mati, tapi muncul di hidup-hidup di hadapan Maya sama saja mengakui perselingkuhannya. Pertanyaan berikutnya, siapa yang lebih Glenn cintai? Apa Glenn sungguh mencintai Kania, ataukah ia cuma pelarian sementara? Bagaimana pula cara Glenn memberi tahu sang ibu (diperankan secara kuat oleh Dewi Irawan) yang tengah berduka?
Presentasinya ringan, dengan tebaran humor yang hampir selalu tepat sasaran. Sekali lagi, Pandji telah mengasah kapasitasnya menghantarkan komedi di layar lebar. Timing-nya meningkat jauh. Terlebih kali ini Pandji dibantu jajaran cast yang piawai mengocok perut. Ketika sebuah film menyatukan Asri Welas dan Tamara Geraldine di satu layar, efektivitasnya dalam memancing tawa tak perlu diragukan. Tapi bukan itu saja alasan Mendarat Darurat tampil spesial.
Kebanyakan film bertema serupa bakal terpapar jelas tujuannya, dan menggerakkan alur di trek yang juga jelas mengarah ke tujuan tersebut. Selingkuh itu salah, si pelaku bertobat lalu kembali ke pasangannya. Tapi melalui naskah buatan Pandji bersama Shani Budi Pandita dan Gamila Arief, Mendarat Darurat berani bermain-main dengan ambiguitas.
Selama mayoritas durasi, penonton dibuat terus bertanya-tanya. Kadang Glenn terasa bakal "pulang" ke Maya, tapi ada kalanya ia tampak akan berpaling ke Kania. Apalagi kita lebih banyak menghabiskan waktu mengikuti Glenn dan Kania, yang interaksinya tersaji manis berkat chemistry sempurna Reza dan Luna.
Bukan berarti filmnya menjustifikasi perselingkuhan. Sebaliknya, Mendarat Darurat justru menegaskan betapa selingkuh senantiasa menciptakan kekacauan (termasuk melalui twist-nya). Sekali saja berkhianat, efek domino destruktif telah menanti di depan. Salah satu efeknya adalah adanya pihak yang terluka.
Mendarat Darurat memberi ruang kepada sosok yang acap kali dilupakan banyak film seputar perselingkuhan. Film-film itu cenderung menyoroti proses dramatis nan mengharu biru, tatkala sepasang kekasih atau suami istri kembali bersatu pasca melewati rintangan. Tapi bagaimana dengan si orang ketiga? Terutama bila orang ketiga itu adalah wanita.
Di realita pun pihak tersebut selalu jadi pendosa terbesar. Dicap "pelakor". Sementara si "laki orang" yang memutuskan rujuk, dipandang sebagai pendosa yang lebih baik, karena mau memperbaiki kekeliruan. Momen berlatar ayunan yang digawangi akting kuat Luna Maya menitikberatkan poin tersebut. Andai Glenn dan Maya bersatu lagi, keduanya membuka lembaran baru guna mengembalikan kebahagiaan bersama. Kania? Dia seorang diri tenggelam dalam patah hati.
Itulah mengapa Mendarat Darurat bukan soal "siapa pilihan Glenn". Siapa pun yang dipilih, kehancuran sudah kadung terjadi. Siapa pun yang dipilih, selalu ada yang terluka. Mendarat Darurat tak membenarkan pihak mana pun, melainkan mengingatkan, bahwa bisa jadi, ada individu yang harus menanggung segala luka sendiri walau kesalahan tidak ia lakukan seorang diri.
5 komentar :
Comment Page:Posting Komentar