REVIEW - 28 YEARS LATER

Tidak ada komentar

28 Years Later adalah film zombie paling indah yang pernah saya tonton. Kematian, sebagaimana sudah ditetapkan sejak film pertama, bukanlah sumber kehancuran. Para zombie bukan berbentuk mayat hidup. Kematian tak mampu menyakiti. Justru mereka yang hidup, beserta "kejahatan" dari emosi negatif manusia-lah pelakunya. Film ini memandang kematian sebagai konsep yang sepatutnya dirayakan alih-alih ditakuti. 

Kelompok penyintas yang kini kita ikuti kehidupannya, tinggal secara terasing dari daratan utama Britania yang telah dikarantina dengan membangun desa di Pulau Lindisfarne. Di tengah kehidupan damai itu, Spike (Alfie Williams) yang baru saja menginjak usia 12 tahun, bersiap menjalani ritual pendewasaan. Bersama sang ayah, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), Spike bakal berburu "mereka yang terinfeksi" (supaya lebih ringkas akan saya sebut "zombie" setelah ini). di daratan utama. 

Seiring Spike dan Jamie berjalan menyeberangi samudera yang sedang surut, filmnya menyelipkan barisan rekaman film berita dari era Perang Dunia II, untuk menunjukkan bahwa sejak dahulu, anak-anak telah dipaksa dewasa lebih cepat dengan berkontribusi dalam aksi saling bunuh. Seolah ingin menyesuaikan dengan pengarahan Danny Boyle yang penuh gaya, penulisan Alex Garland pun menolak menyusun narasi secara biasa-biasa.

Sesampainya di daratan utama, kita segera mendapati kalau para "zombie" sudah berevolusi menjadi bermacam jenis. Salah satu jenisnya memiliki berat badan berlebih dan cuma bisa bergerak dengan cara melata. Panah Spike melesat menembus leher salah satu "zombie" tersebut yang berkelamin laki-laki. Tiba-tiba, sesosok "zombie" perempuan langsung menyerang Jamie. Apakah serangan itu didasari duka yang menyulut upaya balas dendam? 

"Zombie" lain justru sebaliknya, punya ukuran tubuh lebih besar dari manusia normal, pula lebih kekar sekaligus lebih kuat. Mereka yang disebut "Alpha" itu berkeliaran dengan rambut panjang berantakan tanpa mengenakan sehelai pun pakaian. Di satu titik, salah satu Alpha yang dipanggil "Samson" menjawab pertanyaan saya di atas. 

28 Years Later menunjukkan bahwa infeksi dari "virus amarah" lambat laun menuntun umat manusia kembali ke sisi liar mereka. Di zaman yang dipenuhi amarah seperti sekarang, baik berupa pertikaian dunia nyata maupun keributan media sosial, film ini membawa relevansi tinggi. Sejatinya bukan hanya amarah. Segala bentuk emosi dan perilaku negatif bakal menggiring kita menuju kehancuran serupa. 

Sebutlah prasangka. Isla (Jodie Comer), istri Jamie, sedang mengidap penyakit misterius yang menyiksa hari-harinya. Jamie tahu bahwa di daratan utama, hiduplah seorang dokter misterius bernama Kelson (Ralph Fiennes). Tapi prasangka yang terlanjur berkuasa di hati Jamie menghalanginya meminta pertolongan sang dokter. Menolak menerima penjelasan Jamie, Spike nekat membawa ibunya ke daratan utama guna menemui Kelson.

Tatkala berburu bersama sang ayah, Spike beberapa kali ragu untuk melepaskan anak panahnya. Ada kalanya tembakan Spike gagal mengenai sasaran akibat dikuasai rasa takut. Sewaktu melakukan perjalanan bersama ibunya, rasa takut itu berangsur lenyap. Seiring ia melihat bentangan dunia luar, Spike mengalami proses pendewasaan didasari rasa cintanya. 

28 Years Later merupakan kisah coming-of-age berkedok film zombie, dan Boyle memastikan presentasinya tidak kekurangan gaya. Deretan musik berbasis gitar garapan Young Brothers mengiringi aksi karakternya, sementara sinematografi arahan Anthony Dod Mantle membuat pertumpahan darahnya bukan sekadar mengumbar kekerasan murahan. Termasuk teknik "poor man's bullet time" yang muncul saat protagonisnya menghabisi para "zombie", di mana Boyle memasang 20 buah iPhone 15 Pro Max di sebuah papan kayu. 

Tapi bukan di situ letak keindahan 28 Years Later. Momen tersebut hadir selepas pertemuan Spike dan Kelson di paruh kedua. Di tengah kuil buatan Kelson, sembari ditemani oleh alunan musik dreamy, Spike menerima pemahaman mengenai konsep kematian. Bukan berarti filmnya mendadak banting setir ke ranah melodrama. 28 Years Later terasa puitis, indah, bahkan menyentuh, namun dengan caranya sendiri yang tetap mengandung kesan "sakit". 

Di antara tulang-belulang yang menyusun kuil tersebut, Spike (dan penonton) belajar bahwa daripada cuma meratapi nyawa yang direnggut oleh kematian, lebih baik mengenang cinta yang pernah dihasilkan oleh kehidupan. Film zombie tidak pernah seindah dan sehidup ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page: