REVIEW - WARKOP DKI KARTUN
Di film ini, trio Warkop DKI bertarung melawan robot, bahkan berupaya menggagalkan rencana Korea Barat (ini bukan salah tulis) melancarkan serangan nuklir ke Indonesia di tengah pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Tapi bagian terbaiknya justru datang dari cerita paling sederhana, yakni tentang investigasi terhadap kasus kebocoran soal ujian nasional.
Masih ada kejar-kejaran over-the-top yang memicu efek domino hingga ke luar angkasa, namun dibanding dua kisah lainnya, segmen yang bertajuk Contek Sana Contek Sini tersebut paling memiliki kedekatan pada realita, yang mana senada dengan sentilan khas humor Warkop DKI sebelum era 90-an, yang mengakar kuat pada keseharian. Walau jangan mengharapkan tingkat kritis yang sama, mengingat animasi ini didesain bagi segala usia.
Total ada tiga segmen, yang disatukan oleh tugas Dono (Wiwid Widyas Prihantoro), Kasino (Farie Judhistira), dan Indro (Mo Sidik) sebagai anggota CHIPS di bawah pimpinan sang komandan (Indro Warkop). Robot Antik bicara soal bagaimana trio jagoan kita membuat robot guna menyelesaikan "wabah paku" di jalan raya, Contek Sana Contek Sini membawa mereka menyamar sebagai siswa SD untuk mengungkap identitas penyebar bocoran jawaban ujian, sedangkan Maju Mundur Offside akan mewakili impian masyarakat Indonesia berlaga di Piala Dunia yang belakangan tengah meninggi.
Warkop DKI Kartun sebelumnya pernah hidup dalam format serial 13 episode yang rilis pada tahun 2021. Sebuah keputusan jitu, mengingat medium animasi membebaskan pembuatnya mengeksekusi ide seabsurd apa pun. Misal sewaktu adegan kejar-kejaran antara trio Warkop dan si robot sejenak berganti wujud menjadi seperti permainan platformer dengan gaya visual piksel.
Daryl Wilson yang sebelumnya menangani versi serial kembali duduk di kursi sutradara, kali ini berduet dengan Rako Prijanto. Beberapa kru yang sempat bekerja bersamanya mengerjakan dua film Si Juki pun turut bergabung. Serupa Si Juki the Movie, Warkop DKI Kartun digambar dengan garis-garis tegas yang membuat visualnya begitu menarik dilihat.
Tapi seperti Si Juki the Movie pula, masalah muncul ketika setiap frame dipaksakan agar selalu mengandung kelucuan, yang justru memberi hasil berlawanan. Perhatikan bagaimana film-film lawas Warkop DKI membiarkan dinamika yang lebih serius mengalir di sela-sela banyolan, sehingga: 1) Begitu tiba saatnya melucu, dampak humornya lebih besar; 2) Bangunan ceritanya tetap kuat.
Contek Sana Contek Sini jadi segmen terbaik pun berkat pondasi yang lebih solid. Mungkin tanpa sadar para penulisnya (total ada lima orang menggarap naskah film ini) bekerja lebih mudah kala mengembangkan lelucon berdasarkan problematika yang cenderung dekat dengan realita. Humornya kreatif, bahkan acap kali mengecoh ekspektasi. Di sini pula filmnya memanfaatkan kepemilikan Falcon Pictures atas deretan kekayaan intelektual terkenal, guna menyelipkan beberapa cameo menggelitik.
Film ini adalah bentuk modernisasi. Warkop DKI bukan lagi hanya milik generasi tua maupun orang dewasa, walau kesan "kekinian" itu agak diganggu oleh kehadiran humor-humor yang terkesan outdated, seperti penggunaan istilah "kids jaman now", tren tongsis, dll., namun kekurangan itu dipicu oleh pandemi yang memaksa proses produksi tertunda sejak 2019 (naskahnya ditulis pada 2018).
Setidaknya masih ada beberapa bentuk modernisasi lain yang layak diapresiasi, dari lagu-lagu ikonik Warkop DKI yang dibuat ulang tanpa menghapus identitasnya, sampai performa para aktor yang terdengar luar biasa mirip dengan trio legendaris yang mereka isi suaranya. Semua itu memastikan bahwa warisan Warkop DKI akan terus lestari dari generasi ke generasi.
1 komentar :
Comment Page:Ga review F1 ya mas?
Posting Komentar