10 FILM INDONESIA TERBAIK 2022
Menyerukan "Industri perfilman Indonesia telah bangkit!" rasanya tidak berlebihan. Pasca hantaman pandemi, 2022 mengembalikan sinar yang lama memudar. Hingga tulisan ini dibuat, 13 judul telah menembus sejuta penonton (masih mungkin bertambah), dengan total penonton sepanjang tahun mencapai angka 55 juta (jelas bakal bertambah), melewati rekor 51,8 juta di tahun 2019.
Di kancah internasional pun kabar menyenangkan turut datang. Laura Basuki menyabet piala Silver Bear di Festival Film Berlin lewat aktingnya di Before, Now & Then, sementara Autobiography meraih FIPRESCI Award di Festival Film Venice. Jangan lupakan bagaimana The Big 4 memuncaki worldwide chart Netflix.
Daftar tahunan kali ini bukan bentuk penilaian, melainkan wujud perayaan serta rasa terima kasih bagi insan perfilman yang berhasil mengembalikan sinar harapan. Selamat untuk kita semua!
Sebelum masuk ke 10 besar, ada beberapa film yang patut disebut dalam honorable mentions. Capaian penonton Sri Asih boleh di bawah harapan, tapi secara kualitas, ia mengatrol film superhero Indonesia satu level lebih tinggi; Pengabdi Setan 2: Communion membuktikan bahwa Joko Anwar selalu punya amunisi untuk menyulut diskusi penonton; Dear Nathan: Thank You Salma membuktikan betapa romansa anak muda tidak melulu kosong melompong; Mendarat Darurat menghadirkan salah satu kejutan terbesar lewat perspektif sensitifnya mengenai cinta segitiga; dan rasanya tidak ada sutradara yang "naik kelas" setinggi Fajar Nugros di tahun 2022. Inang mampu mengisi kelangkaan slow-burn horror lokal, sedangkan Srimulat: Hil Yang Mustahal - Babak Pertama menampilkan guyonan menggelitik yang kentara dibuat dengan hati.
Berikut adalah 10 FILM INDONESIA TERBAIK 2022 versi Movfreak:
Sebelum lanjut, saya merasa perlu menegaskan bahwa tiga judul teratas sama-sama merupakan pemenang. Ketiganya sama-sama digarap oleh perempuan, pula mengulik persoalan yang berdekatan, yakni stigma di ruang masyarakat. Mana pun yang memuncaki daftar, jawara sejati tahun ini adalah sineas perempuan Indonesia.
REVIEW - ARGANTARA
Argantara adalah film yang berbahaya. Lebih berbahaya dari horor paling kancut, komedi paling garing, atau drama paling hambar. Jumlah penonton hari pertamanya mencapai 101 ribu. Jika target market utamanya mengisi 60% saja dari keseluruhan angka tersebut, maka sekitar 60 ribu remaja Indonesia sudah menyaksikan romantisasi nikah muda. Bukan mustahil jika banyak dari mereka pulang sambil bercita-cita mengikuti jejak dua karakternya.
Persoalan nikah muda bukan perbedaan prinsip semata. Bukan pula propaganda para "woke". Pemerintah kita cenderung konservatif, tapi mereka tetap membuat program untuk mengurangi jumlahnya. Karena ditinjau dari cabang keilmuan mana pun, baik kesehatan mental maupun psikis, pernikahan di usia remaja amat berisiko. Hanya demi mengeruk pundi-pundi rupiah dari muda-mudi polos yang belum tentu memperoleh edukasi memadai, Argantara meromantisasi isu tersebut.
Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Falistiyana, filmnya berpusat pada dua remaja 16 tahun, Argantara (Aliando Syarief) dan Syera (Natasha Wilona). Keduanya satu SMA, namun perangainya berlawanan. Syera seorang siswi teladan, sedangkan Argantara dikenal begajulan dengan statusnya sebagai pemimpin geng motor.
Alkisah ayah Argantara pernah menyelamatkan nyawa ayah Syera (Rendi Khrisna). Sebagai bentuk balas budi, ayah Syera menandatangani surat perjanjian yang mengatur perjodohan anak masing-masing. Ingin melihat contoh orang tua egois sekaligus bodoh? Tonton film ini. Kenapa anak mesti membuang hidupnya demi membayar utang orang tua? Kenapa harus di usia 16 tahun? Tidak bisakah perjodohan dilakukan di usia yang lebih layak?
Kedua keluarga akhirnya bertemu. Ayah Argantara telah meninggal, dan di pertemuan itu, ibu Argantara (Endhita) secara halus menyatakan bahwa pemenuhan janji tadi bukanlah kewajiban. Tapi ayah Syera bersikukuh. Argantara pun menyetujui, dengan alasan ingin jadi anak berbakti. Tidak bisakah wujud bakti anak disalurkan melalui hal yang tak merugikan orang lain?
Ibu Syera (Putri Patricia) berkata bahwa keputusan akhir ada di tangan sang puteri. Pernyataan itu dilontarkan kala Syera berdiri di hadapan ayahnya yang terbaring di kasur rumah sakit. Dia pun baru mendengar cerita soal bagaimana nyawa ayahnya diselamatkan ayah Argantara. Apakah Syera sampai hati untuk menolak? Apa yang kita lihat adalah bentuk guilt trip alih-alih kebebasan menentukan pilihan.
Di luar persoalan nikah mudanya, Argantara memang tidak buruk-buruk amat. Naskah buatan Riheam Junianti tampil klise mengikuti pakem romansa remaja, tapi chemistry Aliando dan Natasha (dua pelakon bertalenta yang patut mendapat proyek lebih baik) bisa memancing senyum.
Pun Guntur Soeharjanto selaku sutradara masih piawai membuat filmnya enak dipandang lewat tata kamera dinamis, serta eksekusi beberapa adegan aksi yang lumayan solid. Meski serupa karya-karya sebelumnya, dramatisasi Guntur acapkali kebablasan. Momen ketika teman-teman sekolah Syera dan Argantara mengetahui pernikahan mereka seharusnya cuma eksis di sinetron. Guntur memang serba berlebih. Serupa pemakaian flashing lights di klimaksnya yang mewarnai layar selama hampir lima menit tanpa peringatan. Jangankan penderita epilepsi, orang sehat seperti saya pun dibuat pusing karenanya.
Segelintir poin plus di atas nampak minor dibanding "dosa" yang film ini perbuat. Terselip satu ironi. Argantara lebih memilih menghabiskan waktu bersama gengnya daripada menemani sang istri yang tengah hamil. Kehamilan itu mengguncang batin Syera. Dua hal tersebut sejatinya amat wajar. Remaja belum siap hamil. Remaja masih ingin berkumpul dengan teman. Argantara meromantisasi nikah muda, beranggapan nikah muda bisa dilakukan selama ada kemauan, namun di saat bersamaan turut menunjukkan kalau fenomena itu memicu masalah yang bisa dihindari andai pernikahan dilangsungkan di usia yang tepat. Film ini membantah argumennya sendiri.
Tahun 2022 menghadirkan kegembiraan bagi industri film tanah air. Di arus utama, keseimbangan antara daya hibur dengan kualitas makin kuat. Di arus samping, beberapa judul mendulang prestasi di festival bergengsi. Ada pula film yang mampu memuncaki worldwide chart di layanan OTT. Di tengah beragam pencapaian tersebut, Argantara malah menutup 2022 dengan mengajak kita mundur beberapa tahun.
REVIEW - KKN DI DESA PENARI: LUWIH DOWO LUWIH MEDENI
Apakah membengkakkan durasi menjadi sekitar 161 menit (tambahan adegan 40 menit) meningkatkan kualitas KKN Di Desa Penari secara signifikan? Sayangnya tidak. Tapi apakah pengalaman menonton yang dihasilkan berbeda? Well, kurang lebih.
Extended version ini bak pisau bermata dua. Departemen terbaik dalam KKN Di Desa Penari adalah akting. Penambahan durasi turut menambah kesempatan kita melihat penampilan solid Tissa Biani, Adinda Thomas, serta Kiki Narendra. Nama yang disebut terakhir paling bersinar. Setiap Kiki Narendra muncul di layar, kualitas filmnya melonjak. Seorang kepala desa yang benar-benar memedulikan keselamatan para peserta KKN.
Terkait adegan baru, babak pembuka dan penutup adalah yang paling mendapat dampak positif. Sejak awal, Luwih Dowo Luwih Medeni sudah dikemas dalam format "retelling". Adegan pembukanya menampilkan wawancara dengan Nur (Tissa Biani) dan Widya (Adinda Thomas) soal pengalaman traumatik keduanya. Narasinya jadi lebih rapi dibanding versi reguler, di mana wawancara itu muncul mendadak di akhir. Sedangkan konklusinya lebih punya bobot emosi berkat keterlibatan keluarga Ayu (Aghniny Haque) dan Bima (Achmad Megantara).
Secara menyeluruh penceritannya memang lebih rapi. Alurnya tidak asal melompat antar jump scare, pun sesekali kita melihat karakternya bekerja menangani proker. Setidaknya kali ini mereka terasa benar-benar sedang KKN. Tapi seperti sudah disebut, extended version ini bak pisau bermata dua. Apabila film aslinya memusingkan akibat penuturan kacau, versi ini lebih melelahkan. Naskah buatan Lele Laila dan Gerald Mamahit tidak mengandung narasi yang mampu mengikat atensi selama lebih dari dua setengah jam.
Sisanya serupa. Masih diisi kelemahan-kelemahan yang sama, termasuk adegan mandi luar biasa konyol itu. Jelas tidak luwih medeni, sebab segala amunisi teror yang disiapkan Awi Suryadi sudah kita temui seluruhnya di versi reguler, walau CGI di beberapa titik kentara mendapat perbaikan. KKN Di Desa Penari: Luwih Dowo Luwih Medeni memang hanya ditujukan bagi penonton yang menyukai rilisan aslinya, demi menembus angka 10 juta penonton. Bukan masalah. Jika menjadi produsernya, saya pun bakal melakukan hal yang sama.
REVIEW - PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH
Saya datang menonton Puss in Boots: The Last Wish tanpa banyak berharap. Sebuah sekuel yang rilis 11 tahun setelah film pertama yang menghibur namun tidak spesial, pada masa di mana magis seri Shrek mulai dilupakan akibat dua installment terakhir yang mengecewakan. Tidak ada alasan memasang ekspektasi tinggi.
Sekuen pembukanya menampilkan pertarungan Puss in Boots (Antonio Banderas) melawan raksasa batu, dan di situ saya yakin ini bukan sebatas "cash grab". Visualnya dikemas ala ilustrasi buku cerita bergambar, yang senada dengan bangunan dunia negeri dongeng milik franchise-nya. Ada kesan dinamis saat karakternya bergerak, pilihan warnanya mencolok, desainnya imajinatif. Ketimbang Shrek, "wajah" film ini lebih dekat ke Spider-Man: Into the Spider-Verse.
Puss in Boots: The Last Wish disutradarai oleh Joel Crawford, tapi posisi itu sempat diberikan pada Bob Persichetti, salah satu sutradara Spider-Verse, yang juga pernah terlibat di penggarapan Shrek 2 dan Puss in Boots. Artinya, sejak awal DreamWorks memang ingin melahirkan pencapaian artistik lewat The Last Wish. Bukan mustahil pencapaian ini menggaransi pembuatan film kelima Shrek.
Visual cantik memang keunggulan utama The Last Wish, tapi naskah buatan Paul Fisher dan Tommy Swerdlow memastikan bahwa kecantikan itu juga terkandung dalam ceritanya, yang tampil lebih kelam. Kali ini Puss terlibat dalam petualangan mencari bintang pengabul harapan bersama Perrito (Harvey Guillén), anjing yang berdandan bak kucing, dan Kitty Softpaws (Selma Hayek), mantan kekasihnya.
Melanjutkan tradisi franchise-nya, The Last Wish dipenuhi parodi bagi cerita dongeng, baik tradisional maupun modern (baca: film Disney). Goldilocks (Florence Pugh) beserta keluarga beruangnya dari dongeng Goldilocks and the Three Bears, juga Big Jack Horner (John Mulaney) dari lagu anak Little Jack Horner menghadirkan rintangan bagi Puss dan kawan-kawan.
Apa permintaan Puss bila menemukan bintang tersebut? Sederhana saja. Dia ingin hidup. Stok sembilan nyawa miliknya tinggal tersisa satu, dan karenanya ia merasa tak lagi mampu bertualang sebagai Puss in Boots yang gemar menantang maut. Puss yang dulu menertawakan kematian kini dibuat takut olehnya. Sewaktu bertemu serigala misterius bermata merah (Wargner Moura) yang datang untuk mencabut nyawanya, bulu Puss berdiri, ia ketakutan, lalu kabur.
Siapa sangka The Last Wish bakal membicarakan mortalitas? Sang jagoan ada di titik paling rapuh, yang malah memperkuat penokohannya. Seperti kebanyakan dari kita, ia takut pada kematian.
Klimaksnya membuktikan kapasitas Joel Crawford menangani hiburan dalam medium animasi. Sekali lagi visualnya indah, gelaran aksinya seru, tapi terpenting, tersimpan bobot emosi di situ, tatkala timbul kesadaran di batin karakter-karakternya. Goldilocks sadar ia telah mempunyai keluarga yang sempurna, sementara Puss menyadari arti hidup. Hidup hanya sementara. Karena itulah hidup berharga dan mesti diperjuangkan sebaik-baiknya.
REVIEW - TILL
Pada 28 Agustus 1955, remaja kulit hitam 14 tahun bernama Emmett Till diculik, disiksa, lalu dibunuh. Tubuhnya yang membengkak ditemukan tiga hari berselang. Konon aksi itu merupakan bentuk balas dendam setelah Till melakukan pelecehan seksual terhadap Carolyn Bryant, seorang wanita kulit putih. Tidak satu pun pelaku mendapat hukuman. Pada 2017, alias 62 tahun pasca tragedi, terungkap bahwa Bryant memberi kesaksian palsu. Till tidak pernah melecehkannya.
Sekitar empat bulan lalu, Daily Mail mempublikasikan foto kondisi terbaru Bryant. Usianya 88 tahun, menderita kanker, dan secara legal dinyatakan buta. Nyaris mustahil ia dijatuhi hukuman. Faktanya, sembilan hari setelah foto tadi mencuat ke permukaan, juri pengadilan Mississippi menolak permintaan untuk mendakwa Bryant.
Till buatan sutradara Chinonye Chukwu takkan bisa membawa keadilan bagi Emmett Till. Semua sudah terlambat. Tapi Till hadir sebagai pengingat penting. Sistem peradilan mungkin menolak menghukum Carolyn Bryant, tapi eksistensi film ini merekam dosanya, mengabadikannya, menjaga agar publik tidak lupa, bahkan jauh setelah kematiannya kelak.
Alkisah, Mamie Till (Danielle Deadwyer) sedang gundah. Puteranya, Emmett Till (Jalyn Hall) hendak pergi selama beberapa waktu ke Money, Mississippi, guna mengunjungi sepupunya. Mamie gundah karena dua hal. Pertama, seumur hidup ia belum pernah terpisah dari sang putera. Kedua, berbeda dengan Chicago tempat mereka tinggal, rasisme masih amat melekat di Mississippi. Sewaktu kereta api yang dinaiki Emmett mendekati tujuan, ia dan penumpang kulit hitam lain diminta pindah ke gerbong belakang.
Bersama sepupu-sepupunya, Emmett mampir ke toko milik Carolyn Bryant (Haley Bennett). Emmett memuji kecantikan Bryant, yang menurutnya bak bintang film, kemudian menggodanya sambil bersiul. Tidak terima, Bryant langsung mengambil senapan, tapi Emmett berhasil kabur. Tiga hari kemudian beberapa pria membawa Emmett pergi lalu membunuhnya. Ketika ditemukan, nampak luka di sekujur tubuh si remaja yang sudah bengkak. Peluru pun bersarang di kepalanya.
Deretan kekerasan di atas tidak Chukwu perlihatkan. Apa gunanya? Kita sudah tahu kebrutalan terjadi malam itu. Satu yang perlu kita lihat adalah duka mendalam Mamie. Nantinya Mamie bersikeras membuka peti kala pemakaman, agar seluruh dunia menyaksikan kebiadaban yang menimpa Emmett. Bersama para pelayat, kita pun melihat kondisi jenazah si remaja yang mengenaskan. Tapi serupa Mamie, film ini memperlihatkan jenazah Emmett bukan sebagai bentuk eksploitasi, melainkan tambaran pemancing kesadaran.
Penyutradaraan Chukwu memang dibalut sensitivitas. Dia tahu setiap momen mesti ditangani dengan hati, dan pendekatan itu sejenak bisa membuat penonton lupa bahwa sebagai film biografi dan kisah anti-rasisme, penceritaan Till belum terlepas dari pakem klise.
Tapi tak ada yang klise dari penampilan Danielle Deadwyer. Till menyoroti masa sebelum Mamie dikenal sebagai aktivis. Deadwyer, dalam salah satu akting terbaik tahun ini, menghidupkan proses "terbangunnya" si karakter. Melalui dukanya, Mamie tersadar bahwa ia mesti melawan, dan kesadaran itu dibawakan secara menggetarkan oleh sang aktris. Puncaknya tentu di sekuen persidangan, terutama long take tujuh menit ketika kamera menangkap ekspresinya dari dekat.
Pada persidangan tersebut, naskah yang dibuat Chukwu bersama Michael Reilly dan Keith Beauchamp menempatkan kesaksian Carolyn Bryant di penghujung, seolah menegaskan bahwa ialah asal mula tragedi ini. Mamie memilih pergi, enggan menunggu putusan sidang. Dia tahu betul hasil diskusi para juri yang seluruhnya berkulit putih. Tapi Mamie pulang bukan dengan kekalahan. Di awal, ia berpesan "Be small down there" kepada Emmett. Di akhir, Mamie tak lagi bersikap "kecil". Dia tampak "besar" sembari berjuang agar didengar.
(iTunes US)
REVIEW - GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY
Glass Onion memang tampil seperti bawang dengan banyak lapisan. Tapi jika mengupas bawang hanya memperlihatkan lapisan lain yang sudah diketahui rupanya, sekuel dari Knives Out (2019) ini mengungkap lapisan-lapisan yang selalu berubah, berbeda, serta tak terduga sewaktu dikupas.
Miles Bron (Edward Norton), seorang tech billionaire, mengundang teman-temannya untuk menghabiskan akhir minggu di pulau pribadinya. Terletak di Yunani, pulau itu jadi lokasi rumah mewah miliknya yang diberi nama Glass Onion.
Lima kawan Miles hadir: Claire (Kahtryn Hahn), gubernur Connecticut; Lionel (Leslie Odom Jr.), ilmuwan kepercayaan Miles; Birdie (Kate Hudson), desainer rasis yang datang bersama asistennya, Peg (Jessica Henwick); Duke (Dave Bautista) si twitch streamer ternama sekaligus aktivis hak pria yang ditemani kekasihnya, Whiskey (Madelyn Cline); dan Andi (Janelle Monáe), mantan partner bisnis Miles yang kini terasingkan. Detektif ternama Benoit Blanc (Daniel Craig) juga turut serta.
Mudah ditebak bukan? Pulau terpencil, miliarder brengsek, sekelompok orang gila harta dan kuasa. Pastilah si pria kaya bakal tewas di tangan salah satu tamu. Tapi benarkah? Seolah ingin mempermainkan ekspektasi penonton, naskah buatan sang sutradara, Rian Johnson, mengungkap bahwa Miles mengadakan pertemuan itu guna menggelar permainan misteri pembunuhan. Miles korbannya, sedangkan para tamu mesti menebak siapa dalang di balik "kasus" tersebut.
Apakah permainan itu bakal jadi realita, atau muncul korban tak terduga? Mungkinkah semua ini justru panggung yang Miles siapkan bagi aksi kejahatannya? Poin ini menunjukkan bagaimana seri Knives Mout dibuat untuk pecinta whodunit, oleh pecinta whodunit, yang paham betul alur berpikir sesamanya kala mengupas lapisan misteri. Dipadukannya berbagai formula klasik, kemudian dirombak menggunakan naskah padat yang bak mengandung magnet di tiap sudutnya.
Memasuki pertengahan durasi, Glass Onion menyelipkan flashback. Suatu kilas balik sejatinya merupakan alat eksposisi standar yang mulai usang, bahkan tak jarang menunjukkan kemalasan penulis, namun Johnson membuatnya terasa esensial. Sebab dari situlah bobot emosinya berasal. Di situ pula kita mulai menyadari sebagus apa penampilan Janelle Monáe, yang serupa Daniel Craig, bisa secara konsisten "berganti wajah".
Serupa pendahulunya, Glass Onion tetap kritis dalam bertutur. Karakternya "beragam namun seragam". Ada seorang rasis, seksis, politikus korup, sampai pengusaha eksentrik nan serakah. Johnson menyentil betapa di balik arogansi yang dinampakkan ke publik, sejatinya mereka luar biasa rapuh. Kondisi mental, ikatan pertemanan, kesetiaan, dan segala aspek hidup mereka ditakar oleh pundi-pundi uang. Hilangkan itu, maka mereka pun hancur.
Sikap kritis tersebut tak membuat penuturannya berat. Sebaliknya, Johnson nampak bersenang-senang. Glass Onion mengambil latar sebuah dunia di mana obat instan penangkal Covid eksis, dan seorang miliarder mempunyai robot pembawa koper. Humornya lucu, jajaran cameo-nya mengejutkan sekaligus menghibur. Belakangan timbul anggapan dari para kosnervatif, bahwa "film woke" menghapus kesenangan menikmati film akibat propagandanya. Melalui Glass Onion: A Knives Out Mystery, Rian Johnson menampik anggapan itu.
(Netflix)
REVIEW - TUMBAL KANJENG IBLIS
Sudah sering saya menyinggung di berbagai platform, soal bagaimana horor kerap secara tidak adil dipandang sebelah mata. Realitanya, ia salah satu genre yang paling susah dibuat. Visinema telah melahirkan 28 judul film. Banyak di antaranya kelas wahid, tapi horor adalah genre yang belum juga berhasil mereka pecahkan, termasuk dalam Tumbal Kanjeng Iblis yang jadi percobaan ketiga rumah produksi kepunyaan Angga Dwimas Sasongko ini.
Padahal Angga kali ini turut berkontribusi menulis naskah. Dia tidak sendiri. M. Irfan Ramli selaku salah satu penulis unggulan Visinema, dan Ifan Ismail (Habibie & Ainun, Ayat Ayat Cinta 2, Sultan Agung) juga ikut serta. Setelah beberapa kali menjadi asisten Angga, Mizam Fadilah Ananda melakoni debut penyutradaraan di sini. Tapi bahkan tim ini masih gagal menghadirkan dampak positif secara signifikan.
Menurut bisikan misterius yang ia dengar, Tia (Sheryl Sheinafia) mesti menemukan sang kakak yang telah hilang selama dua tahun, atau ayahnya, Yusuf (Teuku Rifnu), bakal meninggal. Yusuf menderita penyakit aneh, di mana tubuhnya penuh luka dan dikerubungi belatung. Pencarian Tia membawanya singgah sementara di kos milik pasangan suami istri, Rosa (Putri Ayudya) dan Jefri (Miller Khan).
Tidak sulit menebak bahwa senyum ramah Rosa dan Jefri hanyalah topeng belaka. Tumbal Kanjeng Iblis merupakan horor ketiga Putri Ayudya tahun ini, dan akhirnya ada film yang bisa mengubah senyum hangat khas Putri jadi pemandangan creepy. Adegan kala Rosa mendadak muncul di kursi penumpang sebuah mobil sambil merapal mantra mampu menghadirkan sedikit kengerian berkat penghantaran kalimat sang aktris.
Sayang Tumbal Kanjeng Iblis gagal menyediakan materi yang layak bagi Putri. Pertama, di luar hal-hal yang berkaitan dengan akting Putri Ayudya, film ini bukanlah horor yang mencekam. Filmnya ingin terlihat berkelas dengan tak hanya mengandalkan jump scare, pula memadukannya bersama gore serta atmosfer. Tapi barisan idenya klise, sedangkan Mizam nampak belum cukup matang perihal visualisasi teror.
Kedua, para penulisnya bak tenggelam dalam pemikiran bahwa mereka sedang menciptakan horor cerdas. "Cerdas" diartikan dengan keberadaan intrik sepelik mungkin. Begitu pelik hingga naskahnya seolah kut tersesat dalam labirin konspirasi dan twist yang dibangun sendiri. Padahal cerdas tidak melulu harus kompleks. Menghindarkan repetisi alur juga termasuk kecerdasan, yang mana dilupakan oleh naskahnya. Entah berapa kali kombinasi "Tia mendapat penglihatan" dan "Rosa menyisir rambut di depan cermin" menyusun sekuen film ini.
Film cerdas takkan memberi penokohan dangkal pada Nathan (Omar Daniel). Konon ia punya ikatan khusus dengan iblis, dan bak ingin menegaskan itu, kamar Nathan dihias dengan gambar pentagram, pun ia gemar mengenakan kaos metal. Karena metal adalah satanik bung!
Film cerdas takkan menginstruksikan karakternya agar mendadak muncul di third act hanya untuk menjelaskan seluruh rahasia tanpa diminta, kepada si protagonis.....yang sedang tak sadarkan diri.
Membicarakan third act, sejatinya itulah titik terbaik Tumbal Kanjeng Iblis. Saya menyukai sosok "Kanjeng Iblis" yang diberi desain unik layaknya monster kisah fantasi. Konklusinya juga berani mengambil jalur lebih kelam, yang makin menguatkan percampuran aroma The Wicker Man dan Midsommar. Tapi konklusi tersebut tak pernah benar-benar menusuk. Sebabnya, alih-alih melibatkan penonton dengan perjalanan personal karakternya, Tumbal Kanjeng Iblis lebih sibuk mengutak-atik lika-liku yang tidak perlu.
REVIEW - CEK TOKO SEBELAH 2
Setahun pasca kegagalan bereksperimen dalam Teka-Teki Tika, Ernest Prakasa kembali ke zona nyaman dengan menggarap sekuel bagi karya tersuksesnya, yang memberinya status "sutradara jutaan penonton", sekaligus membuat Desember diidentikkan sebagai "slotnya Ernest".
Apakah itu langkah mundur? Tentu bukan, walau saya masih berharap kelak Ernest mau menantang dirinya lagi. Cek Toko Sebelah 2 ibarat proses kepulangan selepas perjalanan terjal di perantauan. Di "rumahnya" ini Ernest kembali mengunjungi hal terdekat dalam hidupnya: keluarga.
Kepulangan kerap mendatangkan retrospeksi, dan bagaimana Cek Toko Sebelah 2 dibuka bak mencerminkan itu. Kita diajak melihat pertemuan perdana Erwin (Ernest Prakasa) dan Natalie (Laura Basuki) di Bali. Diawali ban mobil yang bocor di tengah malam, berlanjut ke obrolan di warung mie, keduanya pun jatuh cinta. Sebuah situasi klise berbalut humor yang juga familiar, namun semua terasa begitu manis.
Ernest jagonya mengaduk-aduk emosi penonton lewat pemandangan dramatis, tapi romantisme intim macam ini tidak saya duga mampu ia bangun. Sekali lagi, situasinya memang familiar. Tapi seperti banyak anak rantau yang pulang ke rumah, Ernest menunjukkan pendewasaan.
Alkisah Erwin dan Natalie memutuskan menikah, namun Agnes (Maya Hasan), ibu Natalie, kerap mempersulit keadaan. Salah satunya adalah melarang Erwin bekerja di Singapura bila ingin mempersunting puteri tunggalnya. Dilema juga menimpa adik Erwin, Yohan (Dion Wiyoko), sewaktu sang ayah, Koh Afuk (Chew Kinwah), terus meminta cucu. Yohan sebenarnya ingin mempunyai anak, namun tidak dengan istrinya, Ayu (Adinia Wirasti).
Di luar soal pendewasaan yang saya singgung di atas, Cek Toko Sebelah 2 sejatinya masih menyimpan plus dan minus serupa pendahulunya. Misal terkait humor. Beberapa sanggup memancing tawa lepas, namun tidak sedikit yang meleset jauh dari sasaran. Wajar. Tidak semua comic relief punya talenta sekuat Asri Welas, yang bisa menyulap materi medioker sekalipun jadi momen komedik kelas wahid.
Serupa film pertama pula, Cek Toko Sebelah 2 lebih bersinar di presentasi dramanya. Alurnya bercabang cukup banyak, pun ada kalanya naskah buatan Ernest dan Meira Anastasia kerepotan memberi porsi seimbang, tapi mereka sanggup mempertemukan semuanya secara mulus di babak akhir. Naskahnya juga piawai merangkai kalimat. Seringkali dampak emosi sebuah momen berlibat ganda berkat pilihan katanya. Sarat perenungan, indah, tanpa perlu sok puitis.
Tentu kalimat-kalimat tersebut dapat terasa maksimal karena penampilan kuat jajaran pemain. Petuah Chew Kinwah yang masih piawai menyentuh hati (terutama petuahnya di pantai), Dion Wiyoko yang meledak-ledak, hingga Adinia Wirasti dengan permainan dinamika rasanya. Ernest masih jadi penampil terlemah, tapi aktingnya mengalami peningkatan dibanding film pertama. Salah satunya karena ia mendapatkan tandem seorang "chemistry maker".
Laura Basuki menggantikan Gisella Anastasia sebagai Natalie dalam salah satu recasting terbaik dalam perfilman Indonesia. Bukan merendahkan Giselle, tapi Laura jelas punya kapasitas olah emosi yang superior. Setiap kemunculannya membawa magnet, setiap senyumnya memancarkan cinta, setiap tangisnya mengandung bawang.
Memasuki pertengahan durasi, saya sempat pesimis menanti bagaimana Cek Toko Sebelah 2 menangani konflik tentang keraguan Ayu memiliki anak. Saya khawatir filmnya bakal mengambil jalur aman. Kekhawatiran itu rupanya keliru. Naskahnya melempar statement tajam nan relevan. Ernest kembali ke zona nyaman, dengan menjadikan keluarga sebagai sebuah zona nyaman pula bagi individu-individu di dalamnya.
REVIEW - BONES AND ALL
Sebagai film bertema kanibalisme, Bones and All garapan sutradara Luca Guadagnino bukan soal seberapa banyak darah yang tumpah, atau tulang yang dikunyah. Adaptasi novel berjudul sama karya Camille DeAngelis ini membicarakan manusia. Mereka yang dimakan bukan cuma seonggok daging, tapi individu dengan kehidupan, kerabat, serta keluarga. Mereka yang memakan, terlepas dari tatanan benar/salah, mewakili golongan terasing yang merasa berbeda dan tak punya tempat di dunia.
Maren (Taylor Russell) adalah seorang remaja. Di situasi normal pun, remaja cenderung akrab dengan perasaan teralienasi. Apalagi bagi Maren, yang hidupnya jauh dari kata "normal". Sang ayah, Frank (Andre Holland), meski bukan figur orang tua kejam, cenderung membatasi kebebasan puterinya. Segera kita menyadari bahwa tindakan itu bukan tanpa alasan. Maren adalah kanibal.
Ketika Frank pergi karena merasa tidak lagi mampu mengurus Maren, si remaja memutuskan melakukan perjalanan guna mencari sang ibu, yang sudah terlebih dahulu meninggalkannya. Di sebuah negeri yang kacau (pemberitaan soal gun control dan gejolak-gejolak lain kerap terdengar dari televisi), Maren berharap dapat menemukan "tempatnya".
Sepanjang perjalanan, Maren bertemu beberapa kanibal, yang menyebut diri mereka "eater". Sully (Mark Rylance dalam penampilan penuh teka-teki) mengajarinya cara mencium aroma sesama eater, Brad (David Gordon Green) dan Jake (Michael Stuhlbarg tampil mengerikan) menjabarkan perihal mengonsumsi tubuh manusia sampai tak bersisa (bones and all), sementara Lee (Timothée Chalamet) jadi sosok yang pelan-pelan Maren cintai.
Apakah terlalu banyak eater yang Maren jumpai? Well, di situlah poin utamanya. Para eater, sebagaimana golongan marginal yang dianggap dan/atau merasa berbeda di dunia nyata, meski tergolong minoritas, sejatinya tidak sesedikit yang mayoritas kira. Hanya saja, mereka menutup diri, bersembunyi, atau seperti dua protagonis kita, melakoni perjalanan tanpa akhir untuk menemukan rumah.
Naskah buatan David Kajganich menekankan sisi kemanusiaan. Muncul benang merah di antara eater, yakni terkait penelantaran oleh orang tua. Ibarat remaja bermasalah, yang justru dibuang alih-alih diberi uluran tangan.
Kanibalisme tetap dipandang sebagai abnormalitas yang keliru. Itu sebabnya Maren acap kali terjebak dilema. Pun di suatu kesempatan, sewaktu Maren dan Sully menyantap tubuh wanita tua, Guadagnino tak berfokus pada pemandangan berdarahnya, namun mengarahkan kamera ke foto-foto si wanita. Penonton diajak melihatnya sebagai manusia dengan setumpuk memori bersama orang-orang tercinta yang tidak sepantasnya bernasib demikian.
Satu kelemahan naskah terletak di babak pamungkas. Pilihan konklusi Bones and All sesuai dengan gagasannya mengenai sebuah romansa "sakit", dan bakal menghasilkan dampak maksimal andai dalam 30 menit terakhir naskahnya tidak terkesan menawarkan berbagai varian ending. Beberapa kali kisahnya seperti telah tuntas, hanya untuk kembali bergulir. Sewaktu akhirnya tiba di destinasi yang asli, rasa lelah terlanjur hadir.
Meski garis finish-nya kurang maksimal, Guadagnino tetap berhasil membawa penontonnya dalam perjalanan yang menyimpan keindahan di balik kebrutalan. Bayangkan perpaduan antara Badlands (1973) dengan Natural Born Killers (1994). Sensitivitas sang sutradara menghadirkan wadah yang mampu menyatukan lanskap cantik dan tata musik buatan Trent Reznor dan Atticus Ross. Musik melankolis yang bak menyimpan kerinduan mendalam, entah terhadap seseorang atau tempat tertentu. Sedangkan Russell dan Chalamet menjadi pusat, saling bertukar rasa, mengutarakan kerinduan yang cuma dipahami oleh satu sama lain.
(itunes US)
REVIEW - THE BIG 4
The Big 4 membawa Timo Tjahjanto merambah genre komedi (tepatnya aksi-komedi) untuk pertama kali. Bukan berarti ia melunak. Sebaliknya, The Big 4 menegaskan citra Timo sebagai sineas yang enggan menahan keliaran idenya.
Pada 2018 Timo merilis kebrutalan bernama The Night Comes for Us. Setahun berselang, ia menduduki posisi produser eksekutif di Hit & Run karya Ody C. Harahap. The Big 4 ibarat peleburan keduanya. Di satu titik tawa kita pecah, lalu tak lama kemudian giliran kepala karakternya yang pecah. Oh, dan Muhammad Irfan yang mengarahkan koreografi bagi dua judul tersebut turut ambil bagian di sini.
Siapa "The Big 4" yang disebut di judulnya? Mereka adalah sekelompok pembunuh bayaran yang khusus menghabisi nyawa penjahat. Topan (Abimana Aryasatya) selaku figur pemimpin, Alpha (Lutesha) si penggila ledakan dengan sindrom tourette, Jenggo (Arie Kriting) si penembak jitu yang terobsis pada hal-hal spritual, dan Pelor (Kristo Immanuel) yang masih belajar cara menjadi pembunuh.
Keempatnya beroperasi di bawah arahan Petrus (Budi Ros), yang juga membesarkan mereka layaknya seorang ayah. Petrus punya puteri kandung. Dina (Putri Marino) namanya. Ironisnya, Dina yang tidak tahu profesi sang ayah justru merupakan anggota kepolisian. Sampai pria misterius bernama Antonio (Marthino Lio) muncul dan mempertemukan jalan Dina dengan the big 4.
Film ini berhasil karena sebagai komedi-aksi, ia benar-benar mengawinkan kedua genrenya. Aksinya brutal. Sangat brutal. Darah di mana-mana, ledakan bukan cuma menghasilkan kepulan asap tapi juga menghancurkan tubuh manusia, lesatan peluru pun meremukkan kepala yang dapat kita lihat detailnya. Tapi ini bukan The Night Comes for Us. Sederet kebrutalan tadi bukan pemandangan mencekam. Naskah buatan Timo bersama Johanna Wattimena (dwilogi Teman Tapi Menikah) menjadikannya parade humor gelap.
Durasi filmnya 141 menit. Tentu ada dampak dari beberapa adegan yang bergulir lebih panjang dari kebutuhan, lelucon tak perlu, dan lain-lain, tapi lamanya durasi juga bentuk upaya Timo memaksimalkan sumber daya, selaku film orisinal Netflix. Sewaktu Russo Brothers menyia-nyiakan 200 juta dollar di The Gray Man, Timo (dengan biaya yang tentu jauh di bawah angka itu namun tergolong besar untuk produksi Indonesia) sebaliknya. The Big 4 tampak masif.
Bukan asal masif, bukan asal mewah, pula dibarengi craftmanship yang mumpuni. Pacing dinamis membuat dua setengah jam berlalu begitu saja, sementara perpaduan penyutradaraan Timo, tata kamera Batara Goempar (Sebelum Iblis Menjemput, Posesif, Before, Now & Then), serta koreografi dari Muhammad Irfan, melahirkan aksi yang tak cuma bergantung pada kekerasan. Variasinya kaya, dengan referensi membentang dari baku hantam komedik ala Jackie Chan hingga gun fu khas John Woo. Klimaks berlatar lorong sebuah rumah yang mempertemukan Topan dan Antonio tampil bak tribute ke The Raid.
Keliaran Timo juga menular ke jajaran pemainnya. Hampir seluruh cast dibebani tuntutan menyeimbangkan dua jenis performa. Meyakinkan kala melakoni adegan laga, juga menggila saat dipertemukan dengan komedi.
Empat nama tampil menonjol. Abimana bersenjatakan karisma yang membuat kalimat "Orang mati nggak usah banyak tanya" terdengar badass, sambil sesekali mengumbar kekonyolan yang terakhir ia tampilkan kala memerankan Dono; Putri Marino yang akan mengubah cara kita memandang nama "Nenek Gayung"; Marthino Lio sebagai antagonis eksentrik; dan tentunya Lutesha si langganan MVP sinema Indonesia, yang bakal membuat penonton terngiang-ngiang pada lagu Duyung Senja (mengingatkan ke Bukan Taman Safari milik Hit & Run).
(Netflix)
REVIEW - AVATAR: THE WAY OF WATER
Menonton Avatar: The Way of Water seperti mengintip masa depan. Melihat benda asing yang semestinya belum diciptakan. Banyak film telah mencoba tampil immersive, entah lewat pemaksimalan efek CGI maupun pemakaian format 3D, tapi baru kali ini otak saya dimanipulasi sedemikian rupa, hingga tanpa sadar mengulurkan tangan, berniat menyentuh apa yang muncul di layar. Sulit dipercaya Na'vi beserta dunia Pandora bukan bagian realita kita.
Tentu kata "tapi" selalu mengiringi. Bagi The Way of Water, serupa film pertamanya, opini bernada kontra bakal menyentil penceritaan yang dirasa generik, bahkan lemah. Saya termasuk golongan pemuja cerita Avatar (2009). Walau generik di permukaan, tapi blockbuster mana lagi yang berani menyusun babak keduanya dengan eksplorasi spritual ketimbang kumpulan aksi?
Kali ini James Cameron tak menulis naskahnya seorang diri. Duo Rick Jaffa dan Amanda Silver (Jurassic World, Mulan, trilogi Planet of the Apes versi reboot) turut serta. Biar demikian, alurnya tampil bak daur ulang film pertama. Babak pertama pun sekadar pemenuhan obligasi yang dituturkan setengah hati, selaku jembatan supaya latarnya dapat dipindahkan dari belantara Pandora menuju hamparan samudera.
The Way of Water yang ingin Cameron suguhkan bak baru benar-benar dimulai selepas 45 menit berlalu. Di situ, Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) membawa tiga anak mereka, Neteyam (Jamie Flatters), Lo'ak (Britain Dalton), dan Tuk (Trinity Jo-Li Bliss), beserta si puteri angkat, Kiri (Sigourney Weaver), mengungsi ke teritori milik klan Metkayina di pinggir laut guna menghindari kejaran manusia.
Lebih dari dua dekade sejak Titanic, Kate Winslet kembali ke lautan. Bukan memerankan wanita yang tak berdaya di hadapan kedigdayaan samudera, melainkan sebagai Ronal, istri Tonowari (Cliff Curtis) sang kepala suku Metkayina, yang tak kalah berpengaruh dibanding suaminya.
Kecintaan Cameron pada laut beserta segala misterinya bukan sebuah rahasia. The Abyss (1989) dan Titanic (1997) merupakan bukti, sebelum pada 2012 menjadi orang pertama yang menyelami dasar Palung Mariana sendirian. Sehingga bukan kejutan tatakala sekuel Avatar mengambil latar lautan Pandora.
Kecintaan itu nampak betul dalam visualisasinya. Tentu biotanya nampak indah, baik ikan beraneka ukuran, koral, dan lain-lain. Tapi Cameron sudah melebihi taraf tersebut. Indah saja tidak cukup. Beberapa kali kamera ia posisikan tepat di batas permukaan air. Bagaimana Cameron dan tim mengakali refleksi cahaya?
Sebagaimana pendahulunya, babak kedua The Way of Water berpusat pada eksplorasi dunia. Lo'ak dan Kiri mengambil sentral. Bila sang ayah mampu mengendarai Toruk, maka Lo'ak menjalin ikatan dengan Tulkun, makhluk serupa paus yang jadi sahabat warga Metkayina, menciptakan drama ala Free Willy (1993). Sedangkan dibanding saudara-saudaranya, Kiri nampak tak kesulitan beradaptasi dengan samudera.
Format 3D adalah kewajiban untuk mengikuti perjalanan keduanya. Efek pop-out beberapa kali muncul, tapi kejernihan gambar serta kedalaman dimensi jadi keunggulan utama. Berkatnya timbul realisme yang membuat babak kedua The Way of Water layaknya dokumenter perihal dunia bawah air yang asing. Begitu nyata, tetesan gerimis serasa bisa disentuh dengan tangan kita.
High frame rate (48fps) turut dipakai di beberapa sekuen yang melibatkan pergerakan dinamis. Saat frame rate tersebut bertemu format 3D, timbul sensasi hyperrealism yang belum pernah ditemukan sebelumnya, bahkan di karya-karya Cameron sekalipun.
Beberapa adegan masih memakai 24fps. Setidaknya terlihat demikian. Karena proyektor bioskop tak memungkinkan untuk terus mengubah frame rate di satu film, keseluruhan The Way of Water dipresentasikan dalam 48fps. Setiap diperlukan, Cameron menggandakan frame-nya untuk memanipulasi 48fps agar nampak seperti 24fps. Bagaimana ide semacam itu bisa tercetus?
Sekali lagi permasalahan cerita akan terus dikeluhkan. Garis besar alur yang nyaris sama dengan film pertama, pembagian kurang seimbang yang membuat penuturan di beberapa titik terasa kosong sementara di titik lain malah penuh sesak, durasi 192 menit yang diakibatkan terlalu lamanya beberapa pengadeganan, dan sebagainya. Avatar: The Way of Water memang jauh dari sempurna kala bercerita. Bahkan mengalami penurunan ketimbang film sebelumnya.
Tapi bukankah pencapaian teknologi yang "serba pertama" dan "serba melebihi masanya" sudah cukup menutupi lubang tersebut? Sewaktu kita tiba di klimaks, Cameron melempar deretan tribute terhadap karya-karya miliknya sendiri, khususnya Titanic. Apakah itu wujud narsisme? Bisa jadi, tapi menyaksikan keajaiban film ini, seruan "I'm the king of the world" yang diperdengarkannya di panggung Academy Awards 1998 pun sangat pantas dijustifikasi. "The king of cinema" lebih tepatnya.
REVIEW - GUILLERMO DEL TORO'S PINOCCHIO
Menyebut film ini "sangat Guillermo del Toro" mungkin terdengar seperti simplifikasi, tapi demikianlah adanya. Serupa kesaktian tongkat sihir peri yang menghidupkan Pinocchio, sensitivitas del Toro mengembuskan nyawa yang mampu memunculkan kemanusiaan dari sebuah kisah kelam.
Jangan bayangkan pendekatan semua umur ala Disney. Di sini Geppetto (David Bradley) kehilangan sang putera, Carlo, akibat ledakan bom pesawat Perang Dunia I. Sejak itu si tukang kayu tersohor yang bahkan disebut "rakyat Italia teladan", berhenti bekerja, menjadi pemabuk tua yang menghabiskan hari meratapi ketiadaan puteranya.
Penonton yang tumbuh bersama versi Christian Rub, atau masih terngiang mata berbinar Tom Hanks, mungkin bakal terkejut melihat Geppetto bersumpah serapah sambil menebang pohon pinus yang bakal ia pakai untuk membuat Pinocchio (Gregory Mann). Selepas sihir peri hutan (Tilda Swinton) menghidupkan si boneka kayu, bukannya bernyanyi bahagia, Geppetto justru ketakutan, enggan menerima Pinocchio sebagai pengganti puteranya.
Naskah buatan del Toro bersama Patrick McHale bukan asal menggiring nuansa film ke ranah lebih gelap. Kegelapan itu punya maksud, yakni menarik keluar sisi kemanusiaan dari ceritanya. Manusia tidak sempurna. Geppetto bukan ayah yang sempurna. Begitu pula Pinocchio, yang meski telah mendapat bimbingan dari Sebastian si jangkrik (Ewan McGregor), tetaplah bocah yang jauh dari kesempurnaan. Seringkali polahnya pun menyebalkan.
Di versi ini, peri hutan tak berjanji mengubah Pinocchio menjadi bocah manusia sungguhan. Kemudian di satu kesempatan, Pinocchio dan Geppetto membicarakan Carlo, dalam momen yang belum pernah dimunculkan oleh adaptasi layar lebar buku buatan Carlo Collodi mana pun. Pinocchio bukan pengganti Carlo. Dia bukan manusia, takkan pernah jadi manusia, dan memang tak perlu. Filmnya memandang "kemanusiaan" sebagai konsep yang melebihi gagasan fisik.
Seperti sudah kita tahu, Pinocchio bakal terjerat tipu daya seorang ringmaster, lalu terpaksa jadi bintang pertunjukan boneka di sirkus. Count Volpe (Christoph Waltz) nama si pria berakal bulus. Tapi kali ini timbul ancaman lain. Pinocchio juga menarik perhatian Podesta (Ron Perlman) yang memimpin kota tempat tinggalnya. Si Podesta amat membanggakan puteranya, Candlewick (Finn Wolfhard), yang disebutnya "a model facist youth".
Dua antagonis di atas tak hanya mewadahi sisi petualangan filmnya, pula berfungsi menguatkan tema. Podesta membenci "independent thinker", sementara Volpe sebagai puppeteer juga perwujudan pemegang otoritas yang mengontrol individu secara semena-mena layaknya boneka. Podesta mengatasnamakan nasionalisme, Volpe bersembunyi di balik topeng kesenian. Bidang keduanya amat berbeda, namun sebagai pemuja Mussolini (digambarkan sebagai pria kerdil bak karikatur), sama-sama memanfaatkan pihak-pihak yang tak berdaya, termasuk Pinocchio.
Sebagaimana karakter di kebanyakan film del Toro, Pinocchio menghadapi pandangan miring masyarakat akibat sosoknya yang berbeda. "Kenapa orang-orang membenci boneka kayu, tapi memuja patung kayu Yesus?", tanyanya. Pergulatan batin tersebut memperkaya penokohan. Pinocchio sempat menikmati tampil di panggung milik Volpe karena puja-puji yang diberikan penonton. Bukannya dia terbutakan popularitas, tapi Pinocchio merasa diterima.
Guillermo del Toro memang selalu berdiri di belakang individu yang dipandang sebelah mata. Sensitivitas terkait hal tersebut membantu sang sutradara memancarkan keindahan di balik keanehan, yang bagi banyak orang mungkin nampak buruk bahkan mengerikan. Film ini memang aneh. Begitu aneh, sampai petualangannya sempat mengajak kita menyambangi akhirat.
Prinsip "aneh tapi indah" turut tersalurkan ke departemen visual. Dibantu Mark Gustafson selaku co-director dengan setumpuk pengalaman di medium animasi (salah satunya menjabat sebagai animation director di Fantastic Mr. Fox), del Toro melahirkan dunia berbasis animasi stop-motion, yang secara bersamaan dapat membuat penonton mengernyitkan dahi sambil bercedak kagum. Tengok desain peri hutan. Aneh, misterius, lebih mendekati monster ketimbang bidadari, namun menghadirkan kemistisan yang menghipnotis.
Memasuki babak akhir naskahnya sedikit tersandung. Muncul inkonsistensi terkait memanjangnya hidung Pinocchio kala berbohong (seperti sebuah kesengajaan demi memfasilitasi momen hangat bersama Candlewick), konfrontasi final dengan Volpe terkesan dipaksakan, serta kentalnya aroma kebetulan mengenai timing Sebastian menemukan cara keluar dari perut monster laut.
Kekurangan di atas sebatas ketidaksempurnaan kecil. Serupa sehelai retakan yang tak sampai merusak sebuah boneka kayu. Tetap elok, tetap indah. Begitu pula perspektif filmnya terhadap manusia, yang membuat ending-nya tampil sangat emosional. Di situlah tampak manusia dengan segala ketidaksempurnaan dan keterbatasannya. Manusia tidak abadi. Guliran waktu selalu mengejar, tapi karena itulah hidup ini berharga. Guillermo del Toro's Pinocchio adalah soal keindahan di balik mortalitas manusia.
(Netflix)
REVIEW - CAUSEWAY
Seorang tentara Amerika Serikat yang bertugas di Afganistan terpaksa dipulangkan setelah mengalami cedera, yang tak hanya melukai fisik, juga psikisnya. Terdengar sederhana kalau tidak mau disebut "klise", tapi yang membuat Causeway patut dijajal adalah, bagaimana dalam debutnya sebagai sutradara, Lila Neugabauer mampu melahirkan kisah mengenai proses mencarai kedamaian yang turut memberikan rasa damai kepada penontonnya.
Si tentara bernama Lynsey (Jennifer Lawrence). Sebuah ledakan di tengah misi memaksanya pulang akibat cedera otak. Pemulihannya berjalan cukup cepat, secepat Neugabauer menggerakkan tempo khususnya di 10 menit pertama. Duo editornya, Robert Frazen dan Lucian Johnston, menerapkan quick cuts agar suatu momen tidak pernah berlarut-larut. Kala banyak drama serupa mungkin bisa berdurasi di atas 100 menit, Causeway tampil secukupnya di angka 92 menit.
Sembari menanti penugasan kembali, Lynsey pulang ke rumah ibunya, Gloria (Linda Emond). Hubungan keduanya kurang akur dan sebatas berinteraksi seperlunya. Gloria dengan segala kesibukannya memadu kasih bukan ibu kejam (sesekali ia masih berusaha memulai obrolan sembari mengutarakan kekhawatiran), tapi jelas bukan figur ibu ideal. Gloria bukan orang jahat, tapi mungkin sebaiknya ia tak mempunyai anak.
Satu-satunya sumber kebahagiaan Lynsey dalam penantiannya adalah perkenalan dengan James (Brian Tyree Henry), montir yang memperbaiki truknya. Terkadang James menemani Lynsey yang untuk sementara bekerja sebagai pembersih kolam, lalu di malam hari keduanya duduk, menenggak bir, sambil mengutarakan luka hati masing-masing.
Causeway memang berjalan cepat, singkat, dan padat, namun bukan berarti Neugabauer enggan menginjak pedal rem. Sang sutradara tahu kapan waktunya berhenti sejenak guna mengajak penonton meresapi rasa demi rasa yang karakternya bagikan.
Obrolan Lynsey dan James berlangsung santai. Konten pembicaraannya sering mengusung hal-hal menyesakkan, mengingat keduanya sama-sama memendam trauma, tapi Neugabauer tak pernah menjadikannya alat penguras air mata atau eksploitasi penderitaan. Fokus Causeway adalah membawa dua manusia di dalamnya menemukan kedamaian, dan nuansa itu pula yang Neugabauer munculkan. Ada kegetiran, tapi seiring waktu, perjalanan menonton Causeway turut menghadirkan rasa damai bagi kita. Simply said, this is a "healing movie".
Penulisan Ottessa Moshfegh, Luke Goebel, dan Elizabeth Sanders pun jeli dalam mempresentasikan emosi. Permainan kalimatnya tidak murahan, termasuk ketika membicarakan tragedi. "People screaming outside the car. Not inside", ucap James.
Causeway juga mampu menghindari kedangkalan narasi "cinta mengobati segalanya". Hubungan Lynsey dan James tidak digiring ke arah romansa. Walau secara natural tetap menyentil area tersebut, bahkan memantik salah satu konflik dari sana, namun naskahnya tahu bagaimana menarik garis batas.
Sayang, berbagai pencapaian yang Causeway raih agak dilemahkan oleh babak ketiganya. Penuturan penuh kesabaran digantikan oleh progresi alur buru-buru. Para penulis bak kewalahan menangani kompleksitas dalam gesekan dua trauma Lynsey, sehingga kebingungan mesti bagaimana menutup dinamika psikis pelik tersebut. Ada kesan, permasalahan usai semata karena durasi film memang harus diakhiri.
Tapi bahkan sewaktu narasinya melemah, Jennifer Lawrence tidak pernah kehilangan kekuatannya. Bukan performa terbaik sang aktris (menegaskan betapa luar biasa karirnya di era 2010-an), tapi menunjukkan kematangan seorang pelakon yang lihai menjaga konsistensi emosi. Sementara Brian Tyree Henry membuktikan kalau ia bukan sebatas "aktor lucu". Di tangan Henry, James membawa kehangatan yang memudahkan kita memaklumi, kenapa Lynsey dengan segala kepedihannya bisa segera betah membuka ruang intimnya di hadapan pria asing. Lynsey membutuhkan pendengar, dan kita pun demikian.
Apple TV+
54 komentar :
Comment Page:Posting Komentar