REVIEW - CAUSEWAY

3 komentar

Seorang tentara Amerika Serikat yang bertugas di Afganistan terpaksa dipulangkan setelah mengalami cedera, yang tak hanya melukai fisik, juga psikisnya. Terdengar sederhana kalau tidak mau disebut "klise", tapi yang membuat Causeway patut dijajal adalah, bagaimana dalam debutnya sebagai sutradara, Lila Neugabauer mampu melahirkan kisah mengenai proses mencarai kedamaian yang turut memberikan rasa damai kepada penontonnya. 

Si tentara bernama Lynsey (Jennifer Lawrence). Sebuah ledakan di tengah misi memaksanya pulang akibat cedera otak. Pemulihannya berjalan cukup cepat, secepat Neugabauer menggerakkan tempo khususnya di 10 menit pertama. Duo editornya, Robert Frazen dan Lucian Johnston, menerapkan quick cuts agar suatu momen tidak pernah berlarut-larut. Kala banyak drama serupa mungkin bisa berdurasi di atas 100 menit, Causeway tampil secukupnya di angka 92 menit. 

Sembari menanti penugasan kembali, Lynsey pulang ke rumah ibunya, Gloria (Linda Emond). Hubungan keduanya kurang akur dan sebatas berinteraksi seperlunya. Gloria dengan segala kesibukannya memadu kasih bukan ibu kejam (sesekali ia masih berusaha memulai obrolan sembari mengutarakan kekhawatiran), tapi jelas bukan figur ibu ideal. Gloria bukan orang jahat, tapi mungkin sebaiknya ia tak mempunyai anak.

Satu-satunya sumber kebahagiaan Lynsey dalam penantiannya adalah perkenalan dengan James (Brian Tyree Henry), montir yang memperbaiki truknya. Terkadang James menemani Lynsey yang untuk sementara bekerja sebagai pembersih kolam, lalu di malam hari keduanya duduk, menenggak bir, sambil mengutarakan luka hati masing-masing. 

Causeway memang berjalan cepat, singkat, dan padat, namun bukan berarti Neugabauer enggan menginjak pedal rem. Sang sutradara tahu kapan waktunya berhenti sejenak guna mengajak penonton meresapi rasa demi rasa yang karakternya bagikan. 

Obrolan Lynsey dan James berlangsung santai. Konten pembicaraannya sering mengusung hal-hal menyesakkan, mengingat keduanya sama-sama memendam trauma, tapi Neugabauer tak pernah menjadikannya alat penguras air mata atau eksploitasi penderitaan. Fokus Causeway adalah membawa dua manusia di dalamnya menemukan kedamaian, dan nuansa itu pula yang Neugabauer munculkan. Ada kegetiran, tapi seiring waktu, perjalanan menonton Causeway turut menghadirkan rasa damai bagi kita. Simply said, this is a "healing movie". 

Penulisan Ottessa Moshfegh, Luke Goebel, dan Elizabeth Sanders pun jeli dalam mempresentasikan emosi. Permainan kalimatnya tidak murahan, termasuk ketika membicarakan tragedi. "People screaming outside the car. Not inside", ucap James. 

Causeway juga mampu menghindari kedangkalan narasi "cinta mengobati segalanya". Hubungan Lynsey dan James tidak digiring ke arah romansa. Walau secara natural tetap menyentil area tersebut, bahkan memantik salah satu konflik dari sana, namun naskahnya tahu bagaimana menarik garis batas. 

Sayang, berbagai pencapaian yang Causeway raih agak dilemahkan oleh babak ketiganya. Penuturan penuh kesabaran digantikan oleh progresi alur buru-buru. Para penulis bak kewalahan menangani kompleksitas dalam gesekan dua trauma Lynsey, sehingga kebingungan mesti bagaimana menutup dinamika psikis pelik tersebut. Ada kesan, permasalahan usai semata karena durasi film memang harus diakhiri.  

Tapi bahkan sewaktu narasinya melemah, Jennifer Lawrence tidak pernah kehilangan kekuatannya. Bukan performa terbaik sang aktris (menegaskan betapa luar biasa karirnya di era 2010-an), tapi menunjukkan kematangan seorang pelakon yang lihai menjaga konsistensi emosi. Sementara Brian Tyree Henry membuktikan kalau ia bukan sebatas "aktor lucu". Di tangan Henry, James membawa kehangatan yang memudahkan kita memaklumi, kenapa Lynsey dengan segala kepedihannya bisa segera betah membuka ruang intimnya di hadapan pria asing. Lynsey membutuhkan pendengar, dan kita pun demikian.  

Apple TV+

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

trauma membutuhkan healing dan pertemanan curhat dalam film causeway

Anonim mengatakan...

Ottessa Moshfegh?! My fav writer!! Dia jago sih emang bikin cerita model begini. Novel2nya juga ga jauh jauh dari topik tokoh utama mencari jalan buat healing.

Print Kalkir A0 A1 A2 mengatakan...

perjuangan untuk healing
manteb