REVIEW - IT ENDS WITH US

Tidak ada komentar

Satu poin yang membuat It Ends with Us menonjol adalah bagaimana adaptasi novel berjudul sama karya Colleen Hoover ini mampu memotret proses berpikir serta dinamika emosi korban kekerasan dalam rumah tangga, sembari mengajak penonton memahami alasan banyaknya korban melepaskan diri dari hubungan berbahaya yang tengah mereka jalani. 

Protagonis kita adalah seorang perempuan dengan nama unik bernuansa floral, yakni Lily Bloom (Blake Lively), yang secara kebetulan juga hendak membuka toko bunga. Bersama pegawai yang kelak menjadi sahabatnya, Allysa (Jenny Slate), Lily mewujudkan cita-cita tersebut. Di sisi lain, ia mulai menjalin kedekatan dengan kakak Allysa, seorang ahli bedah saraf bernama Ryle (diperankan Justin Baldoni yang turut menduduki kursi sutradara).

Pertemuan perdana Lily dan Ryle di sebuah atap gedung, diisi oleh naskah buatan Christy Hall (yang konon cukup setia pada novelnya) dengan banyak kalimat cheesy. Kemudian saat obrolan mulai berubah jadi kemesraan yang lebih intim, Baldoni menggunakan lagu Hymn milik Rhye sebagai pengiring. Sebuah nomor R&B bertempo lambat, yang pemakaiannya selaku latar adegan seksual terasa klise, dan sekali lagi, cheesy. 

It Ends with us memang tampil bak sinetron dengan teknis layar lebar. Bahkan filmnya sendiri tidak menampik itu, ketika di salah satu adegan, Ryle menyebut dirinya sebagai "laki-laki dari opera sabun". Berbagai kebetulan dramatis, perkelahian meledak-ledak, sampai romantika sarat drama makin menguatkan identitas tersebut. 

Tidak serta merta berarti buruk. Bukankah sinetron seru untuk ditonton? Begitulah It Ends with Us bergulir, terutama di paruh pertama ketika percintaan Lily dan Ryle bakal memancing senyum di bibir para penyuka romansa, sementara Jenny Slate senantiasa mencuri perhatian di tiap kemunculan berkat kesempurnaan comic timing-nya. 

Segala tawa bahagia itu takkan berlangsung lama. Selagi kita sesekali dibawa mengunjungi masa remaja Lily (diperankan Isabela Ferrer), mengikuti hubungannya dengan Atlas (Alex Neustaedter), pula melihat sang ayah (Kevin McKidd) melukai sang ibu (Amy Morton) baik secara fisik maupun psikis, di masa kini, berbagai "tanda bahaya" pun mulai muncul di balik perilaku Ryle yang awalnya sempurna. 

Tapi benarkah Ryle sempat menjadi sempurna? Di sinilah naskahnya secara cerdik menyusun alurnya sebagai wadah untuk menempatkan penonton di proses berpikir (dan "merasa") yang sama dengan sang protagonis. Bagaimana tiap hubungan toxic bakal tetap diawali oleh kemesraan manis, dipenuhi godaan-godaan romantis yang membutakan calon korban walau banyak pertanda telah nampak di depan mata (sebelum mereka berpacaran, Ryle pernah memaksa Lily untuk menciumnya meski secara halus). 

Romantisme dapat membutakan, bahkan mengaburkan perspektif para korban terhadap kekerasan yang mereka terima. Itulah yang coba It Ends with Us sampaikan pada penonton supaya bisa mengerti kondisi korban. 

Penceritaannya memang tak selalu mulus. Misal signifikansi karakter Atlas (versi dewasa diperankan Brandon Sklenar) yang patut dipertanyakan. Atlas seperti eksis hanya untuk menambah konflik antara Lily dan Ryle, mengingat tugas "penolong" sebenarnya bisa diemban oleh Allysa. 

Untungnya inkonsistensi kualitas itu ditutupi oleh penampilan Blake Lively yang selalu mengagumkan. Momen terbaiknya adalah obrolan menyakitkan dengan Ryle berlatar rumah sakit di babak akhir. Blake mengutarakan kalimat demi kalimat dengan penuh martabat, menolak runtuh di hadapan rasa sakit yang ia rasakan baik di luar maupun di dalam dirinya. 

Konklusi yang ditawarkan pun tidak naif. Bukan sebatas iklan layanan masyarakat mengenai KDRT yang menutup mata pada kompleksitas kasusnya. Tindakan Ryle tak mendefinisikan keseluruhan pribadinya, namun di saat bersamaan, kekerasan yang ia lakukan tetaplah kesalahan yang haram untuk ditoleransi. Ryle, sebagaimana kebanyakan manusia, menyimpan luka, tapi memahami luka tersebut bukan berarti menjustifikasi perbuatan buruknya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: