REVIEW - KANG MAK

1 komentar

Kang Mak dibuat oleh orang-orang yang memahami hal apa saja yang mesti dipertahankan dan dimodifikasi dalam sebuah remake. Berkatnya, proyek yang cukup nekat ini   karena membuat ulang film populer asal Thailand, Pee Mak (2013)   justru berhasil menjadi suguhan yang meramaikan seisi studio bioskop dengan tawa penonton. 

Naskah buatan Alim Sudio mempertahankan pondasi cerita, yang secara garis besar masih sama dengan versi aslinya. Makmur alias Kang Mak (Vino G. Bastian) berangkat ke medan perang di saat istrinya, Sari (Marsha Timothy), tengah mengandung anak pertama mereka. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dari Supra (Indro Warkop), Jaka (Tora Sudiro), Fajrul (Indra Jegel), hingga Solah (Rigen Rakelna), Makmur berhasil selamat dari peperangan dan kembali pulang untuk menemui Sari. 

Tapi kita tahu bahwa Sari yang menanti Makmur di rumah bukanlah Sari yang sama. Dia telah tiada, namun arwahnya masih bersemayam di sana sampai membuat seisi desa ketakutan. Sekali lagi, sama dengan apa yang terjadi di Pee Mak. Tidak hanya di persoalan alur, tim produksi Kang Mak bahkan mampu membuat rumah Makmur-Sari, yang jadi latar di mayoritas durasi, tampak semirip mungkin dengan kediaman Mak-Nak. Sesuatu yang bakal diapresiasi oleh para penggemar.

Bukan berarti film ini adalah salinan yang sepenuhnya sama, sebab Alim Sudio tetap menerapkan modifikasi di beberapa titik, dengan tujuan "melokalkan" Pee Mak. Entah dari penceritaan, seperti mengganti perang di Siam pada pertengahan abad ke-19 menjadi perang kemerdekaan Indonesia, maupun perihal caranya memancing tawa. Semuanya dilakukan secara mulus, sebagaimana telah sering dilakukan Alim di berbagai remake yang ia tangani, terutama Hello Ghost (2023). 

Tidak perlu mempermasalahkan akurasi, baik cara bicara karakter yang ada kalanya terlalu kekinian, atau kehadiran hal-hal yang semestinya belum eksis di masa perjuangan. Serupa Pee Mak, Kang Mak sesekali memakai gaya absurd dalam melucu, yang tak jarang mengesampingkan akurasi atas nama komedi. Bukan suatu kekeliruan. 

Humornya pun cukup sering menemui sasaran berkat penampilan para pemain, terutama kuartet sahabat Makmur. Indro, Tora, Indra, dan Rigen saling berceloteh, melempar kelakar layaknya sekelompok orang yang sudah bertahun-tahun melucu bersama. Masing-masing pun memiliki peran pasti. Indra dan Rigen sebagai ujung tombak (baca: paling sering melakukan kebodohan), Indro menambah daya humor yang keduanya lontarkan, sedangkan Tora sebagai karakter yang cenderung lebih serius hadir selaku penyeimbang. 

Di sisi lain, Vino dan Marsha bertugas membawakan elemen dramanya, lewat chemistry solid yang memberi bobot emosional bagi kisah cinta Makmur dan Sari. Dinamika mereka pun menyenangkan disaksikan. Vino sebagai Makmur yang lebih cerewet dan berisik, Marsha sebagai Sari yang tenang (juga menyeramkan kala diperlukan). Seimbang. Ditutup oleh twist di babak ketiga yang tak hanya ingin mengejutkan tapi turut berjasa meningkatkan kekuatan rasa dalam presentasi drama romansanya, Kang Mak membuktikan kalau keputusan membuat ulang film populer nan berkualitas tidak selalu menjadi misi bunuh diri. 

1 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Ternyata komedinya banyak yg meleset menurut saya