REVIEW - I SAW THE TV GLOW

2 komentar

Bagaimana genre film didefinisikan? Acap kali ia cenderung didasari oleh apa yang dipasarkan ketimbang filmnya sendiri. Penonton "mengetahui" genre sebuah film bahkan sebelum menontonnya. Dari situlah datangnya ekspektasi. Tatkala ada karya yang luput memenuhi ekspektasi penonton yang merupakan hasil strategi tim pemasaran, dan dianggap tak memenuhi kaidah suatu genre yang disepakati publik, ia pun mendapat cap "gagal".

Padahal tendensi mengkotak-kotakkan semacam itu hanya membatasi perspektif kita terhadap film. I Saw the TV Glow adalah karya yang menolak dikurung dalam kotak. Lahir dari buah pikir Jane Schoenbrun, sebagaimana karya yang sutradara sebelumnya, We're All Going to the World's Fair (2021), besar kemungkinan film ini bakal menyisakan kekecewaan bagi mereka yang mengharapkan horor konvensional. 

Sederhananya, jangan mengharapkan terpenuhinya formula di sini. Terima filmnya sebagaimana adanya. Penerimaan itu juga yang ingin didapatkan oleh Owen (Justice Smith). Hidupnya terkekang oleh aturan-aturan ketat sang ayah. Meski sudah cukup dewasa, Owen masih dilarang terjaga hingga larut malam. Keinginan menonton serial televisi The Pink Opaque   yang oleh ayahnya disebut "acara perempuan"   pun mesti ia urungkan.

Untungnya ia bersahabat Maddy (Brigette Lundy-Paine) yang juga terobsesi pada serial tersebut. Owen kerap diam-diam bermalam di rumah Maddy untuk menonton The Pink Opaque, sampai pada suatu hari acara itu mendadak dihentikan penayangannya. 

Di situlah naskah yang juga ditulis oleh Schoenbrun mencapai titik balik menarik, di mana rasa penasaran berhasil dipantik, dan penceritaan bertransformasi dari drama coming-of-age menjadi misteri yang piawai menggaet atensi, dengan visual sarat warna-warna mencolok bak nyala neon bertindak selaku sampul dari kisah tersebut. 

Temponya cukup lambat, namun itu adalah pilihan yang sang sutradara ambil sesuai kebutuhan penceritaan, ketimbang sebatas gaya-gayaan. Alhasil penuturannya terasa nyaman diikuti. Apalagi Justice Smith dan Brigette Lundy-Paine tampil solid sebagai dua individu penyendiri yang terjebak dalam kegamangan batin masing-masing. 

Beberapa orang mungkin bakal mempertanyakan, "Di mana letak horornya?", karena di luar beberapa kemunculan monster di serial The Pink Opaque (yang punya desain unik, serta diciptakan dengan kombinasi tepat guna antara efek praktikal dan komputer), praktis I Saw the TV Glow bergulir layaknya drama remaja kelam. 

Itulah mengapa sebaiknya kita tidak terjebak dalam ekspektasi dan pendefinisian dangkal. Mungkin Schoenbrun memang tidak berniat membuat horor. Dia hanya ingin bercerita, dan jika hasilnya memenuhi formula suatu genre, itu merupakan kebetulan semata (yang kemudian dijadikan materi jualan guna mendatangkan penonton). 

I Saw the TV Glow mempunyai banyak elemen horor, tapi ia tidak terasa seperti horor. Jadi apa jati diri film ini sesungguhnya? Saya rasa ini bukti bahwa genre bersifat fluid. Sama seperti gender, dan fluiditas gender (khususnya tentang transgender) merupakan subteks yang bersemayam di dalam alur I Saw the TV Glow. Semakin jauh kisahnya bergulir, pertanyaan soal "Apakah hidup ini nyata?" mulai menggelayuti pikiran karakternya. Owen mempertanyakan realitas, dan seiring waktu juga mempertanyakan identitas. 

(Catchplay)

2 komentar :

Comment Page:
Rian mengatakan...

Coba review "Twillight of the warriors Walled in" bang rasyid gaasss....sekali kali action packed hehehehe

dududu mengatakan...

Udaaahh