JAFF 2018 - LOVE IS A BIRD (2018)

4 komentar

Love is a bird.
It flies where it wants to. It’s hard to hang on to.
Love is a bird.
You’re gonna get hurt if you try to cage it.

Lirik Love is a Bird yang dinyanyikan Gene Vincent di atas menggema sepanjang film berjudul sama karya Richard Oh (Melancholy is a Movement, Terpana) ini, yang mengisahkan aktivitas menguntit seorang fotografer terhadap penari di Yogyakarta, memotretnya, mengamati kesehariannya.

Menurut Richard, karya terbarunya ini terinspirasi dari buku Please Follow Me karya Sophie Calle dan Jean Baudrillard, di mana selaku fotografer, Sophie menghabiskan 12 hari mengikuti pria asing di Venesia. Dari situ, Sophie mendapati bahwa dengan mengungkap hidup orang lain, sejatinya ia turut mengungkap dirinya sendiri. Begitu pula karakter utama kita, Dharma (diperankan wibawa memesona khas Bront Palarae), saat bayangan masa lalunya datang menghampiri seiring prosesnya membayangi Naira (Ibel Tenny).

Love is a Bird adalah film Richard yang termudah diakses (baca: gampang dimengeri) pasca surealitas Melancholy is a Movement (2015) dan gelaran obrolan scientific (plus filosofis) milik Terpana (2016). Tokoh-tokohnya hidup di dunia yang bekerja layaknya dunia kita, bicara seperti kita, bertingkah serupa kita. Walau tetap saja, perilaku mereka juga perwujudan subtil dari gagasan yang Richard coba paparkan, termasuk “The art of following”.

Sepanjang perjalanan, kita mempelajari jika Naira terkurung oleh tuntutan sang kekasih, yang mendorongnya terlibat dalam pertunjukkan tari di bawah arahan Mas Eko (penampilan spesial Eko Supriyanto). Naira tidak bahagia, sehingga begitu bertemu Dharma, ia pun meminta untuk dibawa pergi agar bisa terbang bebas. Tapi percintaan Dharma sendiri belum dinaungi kebebasan. Setiap ia mulai beranjak dari masa lalu, si mantan kekasih (Gemilang Sinatrya) senantiasa datang kembali. Demikian pula di Yogyakarta, sewaktu ketiga manusia tersebut duduk bersama di satu meja, memicu argumentasi yang sayangnya kurang berdampak akibat akting ala sinetron dari Gemilang.

Love is a Bird pun merupakan eksperimen Richard terkait pergerakan kamera. Sebelumnya, ia gemar menerapkan static shot, khususnya di Melancholy is a Movement (yang amat saya kagumi), sedangkan di sini, dibantu sinematografer Marsio Juwono, Richard coba menekan penggunaan fixed frame, lalu memanfaatkan gerak kamera guna membangun emosi. Tujuan itu terhampar jelas, ketika hampir di tiap obrolan antara karakter, kamera menolak diam, seolah meniru burung yang melayang bebas, rutin memindahkan fokus dari tubuh aktor hingga lingkungan sekitar.

Namun sebagaimana jalannya eksperimen, selalu ada trials and errors, di mana kegagalan bisa saja mendahului kesuksesan. Sayangnya itu yang terjadi. Intensinya terasa, tidak dengan hasilnya. Mungin dalam mengaplikasikan gerak, Richard dan Marsio (terlalu) mengandalkan kognisi, kala semestinya, rasa lebih dikedepankan mengingat tujuannya adalah memancing penonton merasakan.

Di tata suara, beberapa ambient absen, dan sekalinya hadir, terdengar artificial. Entah disengaja karena Richard ingin berfokus pada presentasi visual ketimbang audio atau murni kesulitan teknis, pastinya, hal tersebut menghilangkan interaksi manusia dengan semesta, menjadikan filmnya kosong. Menariknya, satu momen yang lebih emosional justru dipicu sebuah tuturan verbal melalui kalimat sederhana tapi tepat sasaran sekaligus relevan terkait realita hubungan romansa, yang kurang lebih berbunyi, “Jagalah dirimu baik-baik sebelum kamu menjaga orang lain”. Overall, the effort is admirable, yet ‘Love is a Bird’ ended up as a not-so-emotionally moving experiment to moves our emotions through a movement.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Gimana nih komentarnya mengenai jumlah penonton Love is a Bird yang sangat sedikit, bahkan nggk menyentuh angka puluhan ribu?

Padahal sudah pasang pemain sekelas Bront Palarae yang nggk diragukan lagi akting dan dengalaman nya..

Menurut Mas Rasyid, faktor apa yang membuat sebuah film tidak bisa menarik penonton, khususnya film Love is a Bird ini?
Dari sisi artis nya kah?

Rasyidharry mengatakan...

Nggak kaget. Semua hal nggak ada yang mendukung. Pemain nggak ada yang bankable. Kecuali orang yang demen film, Bront ya nggak ada yang kenal. Tema segmented. Judul kurang menjual. Poster jelek. Trailer terlalu ambigu. Jumlah layar dikit. Ya emang dirilis bukan buat dapet penonton banyak

Unknown mengatakan...

Matur nuwun nggih mas, jawaban sampeyan apik tenan..

Maksudnya "sebuah film di rilis bukan buat dapet penonton banyak" itu apa?

Apakah maksudnya,Love is a Bird ini di buat untuk tujuan kompetisi di festival² gitu?

Menurut Mas Rasyid, apakah Love is a Bird bakal mengikuti berbagai festival film di luar negeri?
Karena, as always, film² yang ikut ke festival² luar negeri itu justru yang mendapatkan jumlah penonton sedikit di bioskop Indonesia..

Nggk munafik sih ya, tujuan utama pembuatan film pasti untuk menarik banyak penonton, supaya mendapatkan pundi² keuntungan..

Itu pemikiran saya sebagai orang awam..
Mungkin bagi orang dunia film, gengsi di festival² luar negeri lebih penting dibanding pundi² keuntungan yang didapat yak?

Nahlo, jadi banyak pertanyaan..
Mboten nopo² nggih mas.. ๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜

Maturnuwun..


Rasyidharry mengatakan...

Maksudnya, dari awal bikin, Richard pasti tahu jumlah penonton bakal dikit. Bahkan mungkin juga ragu filmnya bakal tayang di jaringan bioskop komersil. Tujuannya emang mau berkarya aja.

Saya yakin sih film ini didaftarin di festival international, tapi mungkin nggak lolos seleksi. Dan dari kualitasnya, ya wajar.

Soal pengaruh masuk festival international ke pendapatan, sebenernya balik lagi ke strategi promo. The Raid pertama misal. Oke, film action bukan arthouse, tapi di masanya (bahkan sampai sekarang) film action lokal jarang laku sebesar itu. Terus ada Marlina yang bisa tembus ratusan ribu penonton. Artinya, kalau tim marketing bisa manfaatin, status "film jawara festival" itu bisa jadi modal jualan yang potensial selama filmnya sendiri emang oke. Sayangnya banyak yang lupa/nggak sadar/nggak peduli ini, dan cuma mentingin "pokoknya masuk festival, pasti penonton tertarik"