RAMBO: LAST BLOOD (2019)

10 komentar
Berawal dari kisah tentang veteran Perang Vietnam pengidap PTSD yang malah diburu di negeri sendiri dalam First Blood (1982), seri Rambo berevolusi jadi suguhan aksi one-man army pada tiga sekuelnya. Dari kritik terhadap kelalaian Amerika Serikat menangani kondisi psikis para veteran, Rambo III (1988) justru melangkah ke arah berlawanan dengan membawa protagonisnya menyadari bahwa ia tak bisa lepas dari takdir sebagai mesin pembunuh.

Konsistensi kisah memang bukan kekuatan utama Rambo, karena satu tugas yang dibebankan kepada penulis naskahnya adalah mencari cara mengembalikan John Rambo (Sylvester Stallone)—yang selalu ada di “mode pensiun” di awal film-filmnya—ke medan pertempuran. Mau sampai kapan pun seri ini dilanjutkan bukan masalah, selama tujuan menghantarkan hiburan berhasil dicapai. Tapi film kelima ini jelas membuang kesempatan memberi akhir yang pantas bagi Rambo, meski sebagai tontonan aksi, daya pikatnya sukar ditolak.

Melanjutkan konklusi film keempat, kini Rambo menjalani kehidupan damai di rumah peninggalan orang tuanya, di mana ia menghabiskan hari merawat kuda sambil sesekali menjadi relawan. Ya, ia bukan lagi sosok apatis yang menganggap menyelamatkan segelintir nyawa takkan menciptakan perbedaan seperti di Rambo (2008). Bahkan Rambo rutin dihantui beberapa kegagalannya menyelamatkan orang lain.

Intinya, jagoan kita masih bergulat dengan masa lalu. Terbukti, biarpun telah memiliki rumah, Rambo memilih tinggal di rubanah sembari membangun terowongan entah untuk apa. Bedanya, kini dia tidak sendiri. Ada Maria (Adriana Barazza) yang telah melayani keluarga Rambo sejak lama, dan Gabrielle (Yvette Monreal), keponakan Rambo yang sudah dianggapnya puteri sendiri.

Memberi Rambo figur keluarga menghasilkan nuansa berbeda. Sebuah nuansa keintiman hangat yang tidak dipunyai film-film sebelumnya, ketika Rambo selalu jadi “serigala penyendiri”. Pun elemen itu, walau klise, merupakan pilihan jitu dari naskah garapan Matt Cirulnick (Paid in Full) dan Stallone, sebab kali ini Rambo punya alasan kuat untuk kembali mengangkat parang, busur, dan pistol.

Berniat mencari keberadaan ayah kandungnya di Meksiko, Gabrielle justru diculik kartel setempat. Setelah Vietnam, Afghanistan, dan Burma, sekarang giliran Meksiko jadi lahan pembantaian John Rambo. Tapi Last Blood hadir dengan pendekatan berbeda, khususnya dibanding film kedua dan ketiga. Sutradara Adrian Grunberg (Get the Gringo) membungkus aksinya memakai sadisme serupa Rambo, sedangkan unsur dramatik First Blood diterapkan dalam wujud drama keluarga yang membuat penonton mendukung perjuangan sang tokoh utama.

Kemudian, sebelum babak ketiga, datang momen pengecoh ekspektasi, sekaligus pembuka jalan bagi sekuel. Sekali lagi, saya dengan senang hati menyambut judul-judul berikutnya, namun tindakan berani tersebut telah membunuh peluang memproduksi akhir yang pantas bagi seorang John Rambo, bukan cuma di Last Blood, pula dalam deretan installment berikutnya (kalau ada).

Setidaknya kekecewaan saya itu sedikit terobati kala klimaksnya menghadirkan pembantaian massal brutal, tatkala Rambo kembali ke mode survival, memasang perangkap-perangkap mematikan sebagaimana saat ia membantai polisi lokal di tengah hutan dalam First Blood. Kadar kekerasannya tidak main-main. Darah mengalir, tubuh meledak, kepala terbelah, kaki serta tangan terpotong, hingga bentuk sadisme ekstrim lain yang bakal membuat pecinta gore bersorak.

10 komentar :

Comment Page:
Light Talg mengatakan...

Keren. Tulisannya ngena bgt.

Kalau berkenan mohon krisannya dong kak untuk tulisanku di  Cerita Alister N. Makasih 🙏🙏

agoesinema mengatakan...

Reviewer lain koq pada kasih rating rendah ya? Jadi ragu mau nonton.

Hugo mengatakan...

Pandangan setiap orang berbeda bro, just watch it and you will know

Anonim mengatakan...

nice review...
dari awal sampai pertengahan emang agak bikin ngantuk

untuk klimaksnya bisa bikin semangat buat melek lagi

Rasyidharry mengatakan...

Nggak semua rendah. Tapi emang mixed reviews

Gary Lucass mengatakan...

Salut sama action legend satu ini inget umurnya udah 73 (disini 73 udh kaya apa ya) cuma tetep maksimal ditambah selalu bawa penghormatan buat film"action 80-90 an dan ga jarang ngebalikin nama"legend lain di masa itu (expendables,creed) Yg mulai dlupain dan pas nnton ini pun yg dteng lintas generasi kbanyakan bapak"campur anak muda salut buat opa stallone dan untungnya third act yang gila memuaskan ga kena sensor kek hellboy

dramaaddict mengatakan...

Gak review ad astra bang?

Badminton Battlezone mengatakan...

(SPOILER) Momen pemecah ekspetasi maksudnya ternyata Gabriellenya mati ya Bang? Ane jg ga nyangka sampe dimatiin sih.

Ending scene,fatalitynya kano dipake :D

Rasyidharry mengatakan...

Yes. Normally, itu jadi alat yang efektif buat mancing emosi & simpati. Tapi PR beratnya sekarang jadi kasih konklusi yang pantes buat Rambo ke depannya. He deserves a happy ending with his new family

begins mengatakan...

ah adegan ngambil jantungnya itu saya rindu...