REVIEW - STORY OF KALE: WHEN SOMEONE'S IN LOVE

2 komentar

Suka atau tidak, Kale (Ardhito Pramono) merupakan salah satu karakter paling memorable dari Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Ditambah kesan misterius yang menempel padanya, pembuatan spin-off berjudul Story of Kale: When Someone’s in Love ini sangat beralasan. Masih ditangani Angga Dwimas Sasongko, yang menulis naskahnya bersama M. Irfan Ramli (Surat dari Praha, Love for Sale), ini mungkin bukan karya terkuat sang sutradara, namun kalau penyebab Kale menjadi “fuckboy” adalah apa yang anda cari, filmnya memberikan jawaban memuaskan.....bahkan lebih.

Kita tahu Kale di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini dibentuk oleh kegagalan hubungan di masa lalu, dan momen pembukanya langsung memperlihatkan berakhirnya hubungan tersebut. Sang gadis bernama Dinda (Aurelie Moeremans). Kalimat pertama yang ia ucapkan berisi ajakan pada Kale untuk putus. Kenapa? Sebelum menjawabnya, kita diajak lebih dahulu mundur ke masa tatkala Dinda masih berstatus manajer band Arah, posisi yang nantinya ditempati oleh Kale.

Dinda berpacaran dengan Argo (Arya Saloka), dalam suatu hubungan tidak sehat, di mana Argo kerap memukuli kekasihnya. Sampai suatu hari, pertengkaran keduanya di belakang panggung mendorong Kale mengambil langkah. Kale menyarankan agar Dinda meninggalkan Argo, dan tidak menerima perlakuan kasarnya. “Lo pantes dapet yang lebih baik”, ucap Kale. Tentu kita tahu, yang Kale maksud dengan “yang lebih baik” adalah dirinya sendiri.

Singkat cerita, Kale dan Dinda akhirnya berpacaran. Apakah Kale sering menyakiti Dinda secara fisik? Tidak. Apakah Kale sepenuhnya berbeda dibanding Argo? Ini yang patut dipertanyakan. Argo manipulatif. Dinda wajib menuruti kemauannya. Jika tidak, ia langsung dicap bersalah, lalu mesti siap menerima teriakan dan pukulan Argo. Tapi bukankah Kale juga manipulatif? Tidak ada teriakan, tidak ada pukulan, namun dengan senyum serta kata-kata yang lebih halus nan tertata, Kale terkesan mendorong Dinda agar tak melakukan apa yang Kale tak ingin Dinda lakukan. Benarkah demikian?

Kita diajak mencari tahu kebenarannya lewat penceritaan non-linear. Gaya penceritaan tersebut membuat penonton terdorong agar menjaga kepekaan mengobservasi, mencari petunjuk-petunjuk, guna memahami alasan keputusan karakternya, yang sudah lebih dulu kita ketahui. Petunjuk itu berasal dari banyak elemen, seperti reaksi subtil karakter hingga kalimat yang mereka ucapkan. Beberapa informasi yang tertanam dalam kalimat sayangnya terkesan repetitif, acap kali mengalami pengulangan dengan hanya sedikit, atau bahkan tanpa modifikasi. Contohnya sewaktu Kale bicara tentang perilaku abusive Argo. Beruntung, kelemahan itu cuma muncul di paruh awal.

Hanya bergulir sekitar 78 menit, durasi pendek itu memang sesuai kebutuhan film, yang berskala kecil, berfokus pada keintiman melalui eksplorasi momen spesifik, yakni berakhirnya sebuah hubungan. Sekali lagi, Angga memang jagonya menangkap keintiman, berkat kemampuannya menyalurkan emosi melalui interaksi sederhana manusia. Sebaliknya, Angga tak terlalu kuat kala menangani adegan berisi lebih banyak aksi, seperti nampak pada staging canggung yang membungkus pertengkaran Kale dan Dinda saat berebut kunci rumah.

Tentu akting memegang peran vital untuk suguhan intim semacam ini. Serupa dengan penampilannya di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Ardhito nyaman disaksikan ketika melakoni obrolan kasual. Sebaliknya, di momen lebih dramatis, Ardhito perlu menggali variasi perihal intonasi, juga bentuk luapan amarah yang tetap “menggigit” tanpa harus meledak-ledak. Tapi hal tersebut bakal membaik seiring bertambahnya pengalaman akting.

Aurelie tampil lebih solid, mampu menyampaikan rasa dengan lebih subtil melalui tuturan non-verbal, sebagaimana diperlihatkannya dalam shot penutup adegan “pertengkaran di hotel” jelang akhir film. Melalui sorot mata Aurelie, kita bisa membaca gejolak di hati Dinda. Di situlah awal dari akhir suatu fase, sekaligus titik di mana filmnya, setelah menghabiskan hampir sepanjang durasi menjelaskan soal Kale, akhirnya membuat penonton memahami keputusan Dinda.

Diiringi lagu-lagu Ardhito Pramono, dalam Story of Kale: When Someone’s in Love, musik sebagai pemegang peranan penting di cerita. “Lagu kita udah selesai”, kata Kale, di tengah usahanya membuat Dinda mau bertahan. Sayangnya bukan cuma lagu, hubungan keduanya pun sudah selesai. Di film ini, hubungan romansa ibarat proses penulisan lagu. Kamu mengisinya dengan nada-nada. Beberapa cocok, beberapa tidak. Beragam variasi instrumen pun dicoba demi melahirkan mahakarya. Setelah lagu itu usai, apa yang terjadi selanjutnya? Kamu bisa membuat karya lain, entah dalam jenis berbeda, atau serupa. Apa pun langkah yang diambil, lagu tadi sudah terabadikan, terekam, dan tak pernah mati.


Available on BIOSKOP ONLINE

2 komentar :

Comment Page:
wibs mengatakan...

kalo menurut gw Dinda beberapa scene kurang natural malah, pas awal adegan emosi nangisnya kurang dapet. Trus chemistry Kale-Dinda kurang berasa karena tiba2 Dinda minta putus, ga digali happy times-nya seperti apa dan putusnya sama Kale karena apa. Btw Argo marahnya lebay banget di awal film haha

Rasyidharry mengatakan...

Itu bukan kurang digali, tapi emang tujuannya biar penonton observasi. Makannya habis itu alurnya maju mundur.