HAPPY CHRISTMAS (2014)
Walau mengusung judul Happy Christmas, film mumblecore terbaru Joe Swanberg ini sekilas tidak akan terlihat sebagai film yang menjadikan natal sebagai fokus utamanya. Tapi pada resolusi konflik yang hadir, sejatinya fim ini justru mengusung semangat dan esensi natal yang mencakup keluarga, cinta kasih dan saling memaafkan. Seperti mumblecore pada umumnya, film ini pun bakal menghadirkan banyak dialog yang kesemuanya merupakan hasil improvisasi dari tiap-tiap aktor. Ceritanya sendiri berfokus pada sebuah keluarga kecil bahagia milik Jeff (Joe Swanberg). Jeff yang bekerja sebagai seorang filmmaker tinggal bersama sang istri, Kelly (Melanie Lynskey) yang sebelum memiliki anak adalah seorang novelis dan putera mereka yang masih balita, Jude (diperankan anak Joe Swanberg sendiri). Kehidupan mereka begitu bahagia dan penuh kedamaian, sampai suatu hari adik Jeff, Jenny (Anna Kendrick) datang untuk tinggal sementara disana setelah putus dengan pacarnya. Sikap Jenny yang masih "liar" jelas menimbulkan permasalahan bagi Jeff dan Kelly yang terbiasa hidup penuh ketenangan dan keteraturan.
Joe Swanberg dianggap sebagai salah satu sutradara terbaik pada genre ini karena kepiawaiannya untuk merangkai keliaran improvisasi itu menjadi satu kesatuan drama yang penuh kesederhanaan tapi juga begitu kuat. Disini, kesederhanaannya masih begitu kuat dan konfliknya cukup menarik. Hanya saja, sekilas keliaran Swanberg kali ini terasa cukup berantakan. Kesan berantakan dan kacau jadi begitu terasa akibat dialognya yang sering terdengar tumpang tindih. Tapi sesungguhnya tidak ada yang salah dari cara Swanberg mengemas dialognya. Pertama, karena amat sangat lumrah di kehidupan sehari-hari terjadi sebuah obrolan panjang kesana kemari yang begitu seru sampai-sampai terjadi barter kalimat yang begitu cepat antara satu dengan yang lain. Mereka akan saling memotong kalimat lawan bicara, bahkan terkesan "berlomba" untuk terdengar lebih keras berbicara. Kedua, karakterisasi Jenny memang mendukung tipikal interaksi semacam itu. Jenny adalah tipikal gadis yang doyan bicara. Saat dia excited dia akan berbicara, bahkan saat terjadi awkward moment dia akan berusaha menutupi itu dengan kata-kata (yang tentunya tidak akan berhasil).
Kedua poin diatas amat mendukung usaha Swanberg untuk mengemas filmnya serealistis mungkin. Pada awalnya terasa mengganggu, tapi setelah beberapa saat saya pun mulai terbiasa. Lewat Happy Christmas, Joe Swanberg kembali memperlihatkan bahwa mumblecore merupakan salah satu cara ampuh untuk menangkap realita kehidupan secara nyata guna diterjemahkan kedalam film. Bukan berarti tidak megindahkan aspek estetik, tapi memang itu merupakan salah satu fungsi dan esensi film. Dengan kebebasan improvisasi yang diberikan, masing-masing aktor pun lebih berhasil mengembangkan karakter mereka secara natural tanpa harus keluar jalur berkat outline yang ditetapkan oleh Swanberg saat syuting. Sebagai contoh lihatlah Anna Kendrick sebagai Jenny. Caranya bertutur adalah apa yang selama ini sudah sering kita lihat dalam sosok Anna Kendrick, yaitu gadis cantik yang banyak bicara. Tapi kita tidak melihat Kendrick melainkan karakter Jenny berkat tambahan beberapa detail yang membedakan keduanya. Kesan cute yang hadir dalam kecerewetan Kendrick diubah menjadi annoying, independen menjadi liar dan seenaknya, serta pengurangan aura "gadis cerdas" karena apa yang diucapkan Jenny bukan sesuatu yang bisa disebut "intelek".
Metode ini memang membebaskan para aktor dan membuat mereka natural. Terlebih lagi fakta bahwa Joe Swanberg dan putera balitanya memerankan ayah dan anak disini makin membuat interaksi yang terjadi begitu menarik dan natural. Pada akhirnya, sebagus apapun akting para aktornya tetap tidak bisa menghalangi Jude yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi scene stealer. Sosoknya spesial karena bukan hanya menjadi seorang bayi lucu yang menggemaskan, tapi juga jago berbicara dan berinteraksi. Ya, bahkan aktor balita di film ini pun mewakili secara sempurna esensi dari mumblecore. Tapi sayangnya keberhasilan Swanberg mempertahankan kekuatan interaksi dalam filmnya tidak menular ke aspek emosi. Konflik yang dihadirkan tidaklah mengikat. Saya merasa hanya diajak untuk mengamati dari balik sebuah kaca tebal sebagai pemisah antara saya dengan film ini. Saya tidak merasa pernah dibawa untuk turut masuk kedalam dunia ceritanya. Alhasil yang saya dapat hanya kesan "interaksinya menyenangkan", tidak lebih. Terasa hambar disaat pada akhirnya keberhasilan aspek-aspek teknikal diatas tidak diimbangi dengan aspek rasa.
Seperti yang telah saya singgung, hari natal pada film ini digunakan untuk membangun esensi dari konklusi yang hadir, dan pada akhirnya hal itu dilakukan dengan baik. Tapi jujur saja saya lebih menyukai jika pada akhirnya resolusi konflik yang muncul tidak sesederhana dan se-happy ending itu. Maka yang akan muncul adalah lingkaran setan yang mengandung ironi, pilu dan bittersweet. Lebih kompleks dan bagi saya akan lebih mendalam. Tapi toh memang pada dasarnya bukan itu tujuan Joe Swanberg, dan jika berkaca dari tujuannya, film ini sudah cukup berhasil mencapai kearah sana. Meski jauh dari kata maksimal, saya tetap menyukai kesederhanaan dan rasa realistis yang dihadirkan film ini, karena pada dasarnya saya memang sangat menyukai mumblecore dengan segala kecerewetannya. Saya juga selalu menyukai Anna Kendrick, dan sebagai bonus adalah pengemasan visual Happy Christmas yang menarik dengan kentalnya rasa home video era 90-an berkat gambar, font, dan musik yang hadir diawal film.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar