20 FILM INDONESIA TERBAIK TAHUN 2025

Tidak ada komentar

Tidak berlebihan rasanya menyebut 2025 sebagai tahun yang gemilang bagi perfilman Indonesia. Apiknya performa komersil, termasuk potensi adanya dua judul peraih 10 juta penonton (sampai tulisan ini dibuat, Agak Laen: Menyala Pantiku berada di kisaran 9,2 juta), fakta bahwa horor malas tak lagi selalu mendominasi peringkat penjualan tiket, hingga banyaknya film berkualitas yang dirilis sepanjang tahun. 

Poin terakhir mendorong saya untuk menambah jumlah daftar, dari yang biasanya diisi 10 film menjadi 20, dengan tujuan mengapresiasi sebanyak mungkin karya sineas kita.  

Ada beberapa judul yang saya tonton di festival atau penayangan khusus dan belum tayang secara luas, ada pula film-film yang rilis di bioskop selama 2025 namun sudah disertakan di daftar tahun lalu (Samsara misalnya, yang bercokol di peringkat pertama dalam daftar terbaik 2024) sehingga takkan anda temukan di sini. 

Berikut adalah daftar 20 FILM INDONESIA TERBAIK 2025 versi Movfreak:

Tidak semua orang akan cocok dengan humornya yang bakal dengan gampang dicap "aneh" atau "garing", tapi bagi yang familiar dengan gaya bercanda "gojek kere" khas tongkrongan Jawa (terutama Yogyakarta),  bisa jadi bukan cuma menikmati, bahkan merasa terwakili seleranya oleh Sah! Katanya...

Mungkin bukan karya luar biasa progresif bila dipandang lewat kacamata penonton kota besar, tapi sebagai orang yang menghabiskan masa muda di latar serupa, saya sadar betapa relevan Judheg karya Misya Latief ini sebagai potret paham patriarki di lingkungannya.

Di tengah kemonotonan horor klenik lokal, Dia Bukan Ibu selaku karya sophomore Randolph Zaini, yang juga jadi panggung bagi performa intimidatif Artika Sari Devi, memberi bukti bahwa selalu ada cara untuk memberi daya tarik serta modifikasi pada adaptasi utas horor. 

Koesroyo: The Last Man Standing mengajak penonton mengunjungi ruang personal Koesroyo alias Yok Koeswoyo, selaku satu-satunya personel Koes Bersaudara yang masih hidup, lalu memanusiakannya, di saat negara luput melakukan itu. 

Biarpun tak mendobrak pakem klasik horor zombi secara general, Abadi Nan Jaya terasa unik berkat asimilasi antara formula genrenya dengan budaya Indonesia. 

Mungkin cara bertuturnya agak repetitif, tapi melihat para queer dengan nyaman dan aman membicarakan identitas mereka, sudah cukup menjadikan Jagad'e Raminten sebuah karya yang spesial. 

Lupakan Timur dengan segala propaganda menyebalkan serta eksekusi aksi setengah matanya. Ikatan Darah adalah produksi Uwais Pictures yang semestinya dikedepankan, berkat pengarahan Sidharta Tata yang bak baru lulus dengan nilai cemerlang dari "sekolah pembuatan film aksi Gareth Evans". 

Mungkin Kita Perlu Waktu mengedepankan proses observasi terhadap interaksi individu, baik dengan individu lain maupun hatinya sendiri, dalam upaya mereka menangani duka, yang dipaparkan tanpa harus sejalan dengan norma standar masyarakat.

Meleburkan drama keluarga berurai air mata dengan fiksi ilmiah beraroma Black Mirror, Esok Tanpa Ibu mengeksplorasi rapuhnya dinamika ayah-anak, yang terjebak dalam kenyamanan dependensi terhadap figur ibu.

Tatkala banyak horor religi Indonesia melihat salat sebagai ritual sepele, Charlez Gozali enggan memandang sebelah mata kesakralannya. Ketika film adiwira Hollywood membentangkan jurang antara pahlawan dan manusia biasa, Qodrat 2 tidak mengeksklusifkan kekuatan super sang ustaz. Semua bisa memilikinya selama bersedia menguatkan iman. 

Banyak sineas tanah air cenderung mengeksploitasi perihal duka guna menjadikan tiap adegan sebagai alat penguras air mata, tapi melalui Tukar Takdir, Mouly Surya menolak pendekatan nirempati dengan menaruh fokus pada keintiman humanis untuk mengajak penonton memahami duka tersebut.

Agak Laen: Menyala Pantiku memberi definisi sejati terhadap istilah "blockbuster comedy" dengan bukan asal mencanangkan ambisi sampai membuatnya kehilangan identitas, tapi penegas bahwa di luar tugasnya sebagai spektakel pengocok perut, komedi patut digarap sungguh-sungguh di segala lini, dari penceritaan hingga artistik. 

Pengepungan di Bukit Duri memotret rasisme yang menandai bagaimana pengarahan Joko Anwar mencapai titik termatangnya sejauh ini. Dibantu tata kamera olahan Ical Tanjung yang bergerak begitu dinamis tanpa batasan, Joko menjaga supaya banyaknya kuantitas adegan aksi tak melahirkan banyak momen serba tanggung nan canggung.

Suka Duka Tawa, selaku debut penyutradaraan film panjang solo dari Aco Tenriyagelli, adalah dramedi sarat sensitivitas, di mana kebanyakan tokohnya hidup untuk memproduksi tawa orang lain biarpun hati mereka dihantui luka. 

Lewat 1 Kakak 7 Ponakan, Yandy Laurens kembali mengingatkan bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, beserta segala momen-momen kebersamaan yang semestinya tak terhalang oleh dinding pemisah berbentuk apa pun. 

Melalui Pangku, Reza Rahadian yang notabene merupakan salah satu pelakon terbaik negeri ini, memakai kecakapan aktor untuk mengobservasi, kali ini bukan untuk berlaku di depan kamera, melainkan bertutur di belakangnya selaku sutradara.  

Di Perang Kota yang punya estetika memanjakan mata ini, Mouly Surya coba mengingatkan bahwa aroma memuakkan peperangan acap kali dipakai untuk menyamarkan bau-bau lain yang diciptakan oleh kebusukan manusia. 

Bukan semata karena pencapaiannya sebagai animasi Indonesia, Jumbo terasa bermakna karena ia menolak memandang sebelah mata penonton muda, sehingga bersedia menaruh hormat pada kecerdasan pikir mereka. 

Sore: Istri dari Masa Depan menangani elemen perjalanan waktunya lewat pendekatan magical realism alih-alih fiksi ilmiah yang berupaya memberi penjelasan logis. Keajaibannya, yang menelusuri gagasan bahwa cinta mampu menembus ruang dan waktu, memang bukan untuk dijabarkan, tapi dirasakan. Kisah yang indah!

Kristo Immanuel bukan cuma melenggang memasuki industri lewat Tinggal Meninggal yang jadi debutnya sebagai sutradara. Dia mendobrak pintunya hingga hancur, lalu memperkenalkan diri dengan suara begitu lantang bersenjatakan kepercayaan diri yang mampu mengguncang seisi ruangan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: