REVIEW - THE SLEEPOVER
Selain merujuk pada
aktivitas yang karakternya lakukan ketika konflik utama terjadi, judul “The Sleepover” juga cocok menggambarkan
filmnya. Sebuah tontonan yang pas dinikmati ketika menginap di rumah teman,
sambil menikmati camilan, saling melempar guyonan, dan hanya perlu menengok ke
layar tiap beberapa waktu sekali tanpa harus khawatir melewatkan hal penting.
Menyenangkan. Tapi di kesempatan menginap berikutnya, kalian takkan menontonnya
lagi.
Bayangkan Spy Kids (2001), tapi dengan kecanggihan
teknologi serta imajinasi yang diturunkan kadarnya. Kevin (Maxwell Simkins)
adalah bocah korban perundungan di sekolah. Setelah videonya menari di toilet
viral, ejekan pun makin ramai menghampiri. Sementara kakaknya, Clancy (Sadie
Stanley), jengah terhadap kekangan ibu mereka, Margot (Malin Åkerman), yang
bahkan tak mengizinkannya memiliki handphone.
Sedangkan sang ayah, Ron (Ken Marino), merupakan sosok nerdy yang selalu menuruti apa kata istri.
Lalu tiba malam yang
sepenuhnya mengubah persepsi kakak-beradik itu pada sang ibu. Teman Kevin,
Lewis (Lucas Jaye), datang untuk menginap. Lewis adalah bocah yang hidup
bersama aturan-aturan aneh ibunya, termasuk persoalan remeh seperti larangan
makan keju, dan lain-lain. Bahkan ia wajib memakai celana khusus dilengkapi
alarm, yang akan berbunyi kalau ia mengompol. Intinya, fungsi Lewis adalah
sebagai running jokes.
Di saat bersamaan, Clancy
yang dihukum pasca pertengkaran dengan Margot, berencana kabur bersama
sahabatnya, Mim (Cree Cicchino), guna mendatangi pesta di rumah pria pujaannya,
Travis (Matthew Grimaldi). Rencana mereka berempat buyar, begitu mengetahui
Margot dan Ron diculik. Tapi kejutan belum berhenti. Margot yang selama ini
terkesan kolot, rupanya merupakan pencuri tersohor di masa mudanya. Kini, ia
dipaksa kembali untuk bekerja sama dengan mantan tunangan sekaligus partner
kriminalnya dulu, Leo (Joe Manganiello), guna mencuri sebuah mahkota.
Layaknya film-film lain
bertema serupa, Kevin dan Clancy memutuskan mengikuti petunjuk yang
ditinggalkan Margot, dan berupaya membebaskan orang tua mereka sendiri. Apakah
mereka tidak punya pilihan? Tidak juga. Henry (Erik Griffin), US Marshals yang sejak lama bertugas
melindungi Margot datang menawarkan bantuan. Pun nantinya mereka bertemu Jay (Karla
Souza), seorang pencuri yang juga kawan lama Margot. Tapi dalam debutnya
menulis naskah, Sarah Rothschild memaksakan dengan berbagai cara konyol, agar
keempat bocah itu berjuang sendirian. Lebih terkesan bodoh ketimbang bentuk
pengorbanan menyentuh demi keluarga.
Ringan. Begitulah The Sleepover. Kata “mudah” adalah
kunci. Petualangan memecahkan teka-teki ala The
Da Vinci Code versi anak dijaga agar tetap mudah dimengerti.
Kebetulan-kebetulan yang memudahkan penyelesaian masalah pun kerap ditemui.
Sesuatu yang bahkan sempat disadari sendiri oleh karakternya. Bahkan di satu
titik, saat naskah membutuhkannya untuk menyingkirkan rintangan yang dihadapi, tiba-tiba
Lewis memutuskan lepas dari larangan-larangan ibunya, walau tak sampai lima
menit sebelumnya, baru mengeluh soal larangan menaiki kendaraan umum seorang
diri.
Lubang-lubang di atas
merupakan wujud penulisan malas, bahkan di ranah hiburan ringan semacam ini,
yang biasanya tetap berusaha menyuguhkan alasan, entah logis atau tidak.
Karenanya, The Sleepover patut
berterima kasih pada jajaran cast
yang mempunyai talenta memadai guna menyulap materi medioker jadi humor yang
cukup memancing tawa. Khususnya Simkins dan Jaye. Tentu penampilan keduanya
hiperbolis demi kebutuhan komedi, namun tak sampai taraf menciptakan tipikal
tokoh “anak-anak menyebalkan”. Keduanya tetap likeable, membuat penonton betah menghabiskan perjalanan bersama. Cicchino
juga tak kalah menghibur berkat celotehan-celotehan yang sesekali bernuansa
sarkasme.
Bukan kejutan tatkala Manganiello
dengan postur serta karismanya, tampak meyakinkan memerankan kriminal tangguh
yang sanggup menghajar musuh semudah membalikkan telapak tangan. Tapi
sebagaimana putera-puteri Margot, saya terpukau menyaksikan Åkerman melakoni
adegan aksi, yang mengembalikan memori satu dekade lalu ketika sang aktris
mengenakan kostum Silk Spectre di Watchmen.
Di samping hiburannya, The Sleepover mengusung pesan
kekeluargaan mengenai seorang istri sekaligus ibu, yang bersedia meninggalkan
masa lalunya yang “menarik”, demi kehidupan domestik “membosakan” atas dasar
cinta terhadap keluarga. Masalah ada pada tokoh Ron. Filmnya berusaha membuat
penonton mendukung pria konyol nan menyebalkan yang berkali-kali mengancam
keberlangsungan misi ini daripada Leo. Rothschild pun nampaknya menyadari
kemustahilan ini, sehingga merasa perlu memaksakan sebuah twist demi “menurunkan nilai” Leo.
Tapi lupakan lemahnya
penghantaran pesan tersebut. Lupakan juga lubang-lubang kisahnya. Setidaknya
selaku sutradara, Trish Sie (Step Up: All
In, Pitch Perfect 3) mampu menyajikan hiburan dengan pacing terjaga yang terus bergerak dari satu titik ke titik
berikutnya tanpa banyak basa-basi. Tapi tentu saja, begitu durasi berakhir, The Sleepover pun bakal seketika
dilupakan.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar