REVIEW - ENEMIES OF THE STATE

Tidak ada komentar

"The truth is rarely pure and never simple". Kalimat tersebut membuka Enemies of the State. Sebuah kalimat yang cocok mendasari dokumenter, selaku medium yang bertujuan memaparkan realita (walau subjektivitas dan bias mustahil dihilangkan). Kebenaran punya banyak wajah, dan lewat filmnya ini, sutradara Sonia Kennebeck berusaha menggali kebenaran, sembari memaknai definisi kebenaran itu sendiri. 

Kisahnya mengingatkan pada The Internet's Own Boy: The Story of Aaron Swartz (2014), dokumenter lain dengan tema serupa. Figur sentralnya bernama Matt DeHart, yang boleh publik kerap disandingkan dengan Aaron Swartz hingga Edward Snowden. Dia adalah mantan analis intelijen di ANG (Air National Guard), yang mengaku dipersekusi oleh FBI, difitnah dengan tuduhan palsu mengenai kasus pornografi anak. 

DeHart, bersama orang tuanya, Paul dan Leann yang juga sama-sama pernah tergabung di militer, mencari suaka ke Kanada akibat kasus itu. Mereka yakin tuduhan palsu tersebut dibuat pemerintah Amerika Serikat, dalam rangka mengincar dokumen rahasia yang bocor ke tangan DeHart. Konon, dokumen itu diunggah ke server milik DeHart, yang juga anggota kelompok peretas Anonymous, pun ditengarai punya keterlibatan dengan WikiLeaks. 

Kasusnya kompleks, namun sekilas, kebenarannya terdengar sederhana. Matt DeHart adalah satu lagi aktivis yang coba dibasmi pemerintah akibat berjuang mengungkap fakta. Kita mendengar penuturan Paul dan Leann, pula opini-opini netral beberapa ahli serta jurnalis. Semuanya mengarah ke satu kesimpulan: Matt DeHart difitnah. 

Kemudian pihak-pihak seperti jaksa hingga penyelidik mulai angkat suara, membeberkan poin-poin perihal tudingan pornografi anak, yang membuat Enemies of the State tampil tidak sesederhana kelihatannya. Karena sekali lagi, kebenaran tidak pernah sederhana. Pun semakin jauh cerita dikupas, kepantasan Matt menyandang status "whistleblower pembela kebenaran" turut dipertanyakan, sebab ia memang tidak pernah mengungkapkan apa pun. Apalagi mencuat rumor jika sejatinya Matt berniat menjual dokumen itu pada negara lain, alih-alih menjadikannya konsumsi publik. 

Filmnya berhasil menawarkan kompleksitas, bahwasanya terdapat tiga kemungkinan skenario: 1) Matt seorang whistleblower; 2) Matt adalah pelaku pelecehan kepada anak; 3) Semua benar. Kompleksitas diutarakan, tentang tidak adanya manusia yang sungguh-sungguh bersih. Seseorang bisa saja pahlawan dalam satu persoalan, sekaligus pesakitan di persoalan lain. 

Secara teknis, Enemies of the State juga digarap solid, di mana Kennebeck merangkai beberapa bentuk reka ulang, baik yang menggunakan rekaman suara asli, maupun berbasis transkrip persidangan resmi. Reka ulang ini tentu bukan hal baru dalam dokumenter. Terkesan obligatif malah, namun keberadannya berguna menjaga penceritaan agar tidak monoton.

Bicara soal penceritaan, sayangnya cara Kennebeck menyusun narasi jadi masalah terbesar film ini. Strukturnya berantakan. Berusaha mencerna susunan linimasa jadi proses yang amat membingungkan, karena filmnya berulang kali melompat maju-mundur seenaknya. Persepsi penonton akan kasus pun berpotensi menjadi kacau. 

Belum lagi terkesan ada ambisi dari si pembuat film untuk berkata, "Lihat, kasus ini sungguh mencengangkan dan penuh kejutan!". Sejak awal, yang dijadikan senjata adalah pernyataan para narasumber yang menyebut, "Kasus ini sangat aneh!", "Kasus ini membawa teori konspirasi ke level yang lebih tinggi!", "Kasus ini penuh kejutan!", dan semacamnya. Rasa penasaran penonton tentang seberapa mengejutkan fakta sesungguhnya terus dipancing.

Masalahnya, pendekatan itu berkontradiksi dengan substansi kisahnya tentang "kompleksitas kebenaran" yang di awal sudah dibangun dengan baik. Tatkala jawaban demi jawaban terungkap, daya kejutnya tidaklah seberapa, sebab penonton telah dibiasakan untuk meragukan segalanya.

Enemies of the State ditutup lewat pernyataan, yang intinya berbunyi, "Kalau ingin hidup di dunia yang berisi kebenaran, harus ada evaluasi seiring munculnya fakta baru, pun kita mesti bersedia mengubah sudut pandang bila fakta itu terbukti tepat". Sebuah pesan yang amat relevan di era cancel culture seperti sekarang ini. Poinnya bukan anjuran berdiam diri atau bersikap pasif sambil mengatasnamakan "menunggu klarifikasi kedua sisi", melainkan berpikiran terbuka, mau mengoreksi perspektif andai ternyata kita keliru. Andai filmnya berfokus pada pemaknaan hal tersebut alih-alih menjual twist. 


(Hulu)

Tidak ada komentar :

Comment Page: