REVIEW - WEAPONS

Tidak ada komentar

Film horor identik dengan kegelapan. Penampakan setan di area temaram, lorong-lorong tanpa cahaya, hingga basemen penyimpan rahasia, seolah jadi sentuhan wajib. Weapons karya Zach Cregger yang tiga tahun lalu menghentak dunia horor lewat Barbarian, adalah perwujudan dari identitas tersebut. Sebuah film mengenai kegelapan. 

Suatu malam, tepatnya pukul 2:17 dini hari, 17 anak yang semuanya tergabung dalam satu kelas, secara serentak terbangun, keluar dari rumah masing-masing, dan berlari entah ke mana, melintasi jalanan suburban yang seperti digelayuti kegelapan tanpa ujung. Mereka berlari dengan tangan direntangkan, bak menirukan kepak sayap burung yang melayang di angkasa. Apakah karena bocah-bocah ini merasa bebas, atau sebaliknya, kebebasan itu hanya kepalsuan selaku dampak manipulasi?

Ide cerita Weapons sesungguhnya jauh dari kesan baru. Konsep serupa sudah ratusan kali dipakai oleh horor lokal, sehingga saat kelak twist-nya diungkap, rasanya penonton Indonesia takkan seberapa terkejut. Tapi saya selalu percaya bahwa kebaruan cerita bukan poin terpenting. Metode eksekusi memiliki bobot lebih besar. Cerita seusang apa pun bakal terasa segar bila sang sineas membawa pendekatan kreatif dalam eksekusinya. 

Weapons memiliki kreativitas itu. Tengok bagaimana alurnya dibagi jadi beberapa segmen. Setiap segmen mengetengahkan sudut pandang karakter yang berbeda: Justine Gandy (Julia Garner), guru dari kelas yang dihuni 17 anak tersebut; Archer Graff (Josh Brolin), ayah dari salah satu anak; Alex Lilly (Cary Christopher), satu-satunya penghuni kelas Justine yang tidak hilang; Paul Morgan (Alden Ehrenreich) si polisi; Anthony (Austin Abrams) si pecandu narkoba sekaligus maling kelas teri; sampai Andrew Marcus (Benedict Wong) si kepala sekolah. 

Segmen-segmen di atas tak ubahnya susunan domino yang saling membutuhkan agar bisa menciptakan pergerakan. Cregger begitu jeli mendesain segmennya, di mana masing-masing ditutup oleh cliffhanger yang senantiasa menjaga atensi penonton. Alurnya bergerak secara non-linear sehingga terus mencuatkan tanda tanya, pula tidak takut menyelipkan humor walau mengusung cerita yang cenderung kelam. Lihatlah saat Cregger, yang seperti baru saja menempuh kursus kilat di kelas Quentin Tarantino, memaksa Josh Brolin terlibat baku hantam di babak puncak, yang tak hanya menegangkan, tapi juga sangat menggelitik. 

Kembali ke soal kegelapan. Dia mengambil banyak wujud sepanjang 128 menit durasi Weapons. Entah sebagai misteri yang belum kita ketahui jawabannya, rahasia mencengangkan yang karakternya pendam, atau secara literal, yakni kegelapan mencekam di tiap sudut area suburban. Beberapa kali Cregger membiarkan penonton memandang ke satu titik gelap untuk beberapa lama, sebelum membiarkan sosok menyeramkan perlahan keluar dari balik kehampaan. 

Jumpscare-nya pun memiliki efek kejut luar biasa, sebab sebelum memasuki paruh akhir, kita tidak punya gambaran sedikit pun terkait sumber ancamannya. Kita tidak tahu hal apa (atau siapa) yang bakal Cregger munculkan di layar. Sewaktu tirai misteri mulai terbuka, dan figur sang villain perlahan terungkap, Cregger tak memerlukan monster atau hantu bermuka rusak untuk menciptakan kengerian. Hanya anomali sederhana. Sesuatu/seseorang yang terlihat familiar sekaligus janggal di waktu bersamaan. 

Cregger membiarkan penonton terhanyut dalam kegelapan dunia suburban yang menghipnotis. Filmnya tidak butuh gore dengan kuantitas berlebih agar bisa tampil seru, namun sekalinya mengisi layar, sadisme selalu hadir dengan dampak besar, sebagaimana dibuktikan oleh klimaksnya yang amat memuaskan. Itulah momen saat segala bentuk kegelapan sarat tanda tanya, sepenuhnya tersapu oleh nyala terang dari cahaya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: