REVIEW - A NORMAL WOMAN
A Normal Woman menempatkan karakter utamanya di tengah keluarga borjuis yang dari luar nampak sempurna berkat segala kerupawanan mereka, namun sejatinya akrab dengan kekacauan serta hati yang hampa. Sayangnya kondisi serupa turut menimpa karya terbaru Lucky Kuswandi ini. Film yang kulit luarnya begitu cantik, tetapi begitu ditelusuri lebih dalam, ada kesemrawutan yang tak lagi bisa diuraikan.
Milla (Marissa Anita) dianggap mempunyai hidup idaman semua perempuan setelah menikahi Jonathan (Dion Wiyoko) si pebisnis kaya. Suatu ketika keduanya diwawancarai sebuah majalah ternama, dan si jurnalis berkata kepada Jonathan, "You have the most beautiful family...and wife." Seolah Milla bukan dianggap sebagai bagian keluarga terpandang itu.
Mungkin kenyataannya memang demikian. Si ibu mertua, Liliana (Widyawati), memperlakukannya bak asisten rumah tangga yang selalu berbuat dosa. Milla memang bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya (Maya Hasan) pun masih sering meminta uang untuk berjudi. Angel (Mima Shafa), sang putri yang kerap menerima ejekan terkait fisiknya, baik oleh warganet maupun neneknya sendiri, jadi alasan Milla terus bertahan di rumah yang terkesan dingin tersebut.
Kemewahan rumah si tokoh utama diterjemahkan dengan baik oleh Teddy Setiawan selaku desainer produksi. Sinematografi arahan Batara Goempar menguatkan keindahan visualnya, mengajak penonton mengamati sudut-sudut penuh estetika mahal yang nampak asing bagi rakyat jelata seperti saya. Misal salib di kamar Jonathan dan Milla yang dibentuk oleh tata lampu, yang turut menandakan tingginya religiositas keluarga ini. Sederhananya, rumah ini berkarakter.
Tapi sebagaimana ia tidak lahir dari keluarga kaya, Milla tak menjadikan agama sebagai tuntunan utama hidupnya. Jurang perbedaan dengan keluarga Jonathan pun makin lebar. Sampai tiba-tiba Milla mengidap penyakit aneh yang membuat lehernya merasakan gatal-gatal parah. Bukan cuma itu, ia mulai sering mendapat penglihatan tentang gadis cilik bernama Grace.
Naskah buatan Lucky Kuswandi dan Andri Cung memakai anomali yang Milla alami sebagai representasi dari "penyakit" yang banyak menjangkiti manusia: kepura-puraan. Bagaimana individu acapkali memakai topeng yang amat berlawanan dengan wajah aslinya, sembari berlakon di atas panggung sandiwara bernama "norma sosial". Tapi toh seberapa pun si individu jago berakting, lambat laun kepalsuan tersebut bakal menyulut ketidaknyamanan.
Lain cerita dengan akting Marissa Anita. Ada kepuasan melihatnya tiba-tiba bertransisi, dari melafalkan Bahasa Inggris secara fasih menjadi berbicara memakai logat Surabaya. Pergulatan emosi Milla pun disuarakannya secara luar biasa. Marissa ibarat jangkar yang menjaga filmnya tidak tenggelam, tatkala naskahnya bak kehabisan akal mesti bagaimana mengembangkan gagasan dasar yang dibawa.
A Normal Woman masih menerapkan trik generik, di mana 110 menit durasinya dipenuhi oleh halusinasi yang protagonisnya alami. Semakin lama semakin melelahkan, apalagi kala tiap adegan dibawakan dengan tempo berlarut-larut. Ide besar pun bakal terasa kecil, bila alih-alih dieksplorasi secara menyeluruh, ia sebatas dipaksa memanjang.
Filmnya bergantung pada hadirnya titik balik, saat karakter Erika (Gisella Anastasia), tukang rias yang amat disukai Liliana, masuk dalam kehidupan Milla. Tapi bukannya memperkaya cerita, penambahan tokoh baru tersebut, lengkap dengan twist yang dibawanya, sekadar memperkeruh. Kacau.
Secara tersirat, Liliana berharap Erika bisa menggantikan peran Milla sebagai pendamping Jonathan. Mengapa Liliana yang sedemikian angkuh, juga membenci Milla karena berasal dari keluarga miskin, malah ingin menjadikan tukang rias biasa sebagai menantu baru? Kenapa pula para ART di rumah semegah itu dibiarkan memakai pakaian kumal alih-alih diberikan seragam? Tidakkah para borjuis selalu ingin segala hal di sekitar mereka nampak memukau? Entah apa maunya film ini.
(Netflix)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar