REVIEW - CATCH THE FAIR ONE

2 komentar

Di film aksi atau thriller arus utama, profesi berorientasi fisik protagonis dapat menyulapnya jadi one-person army. Catch the Fair One tidak demikian. Status mantan petinju tak serta merta membuat si karakter utama dengan enteng menghabisi pasukan musuh (walau tetap jadi bekal penting). Josef Kubota Wladyka membangun dunia realis, di mana satu pukulan di kepala akan membuatmu tergeletak, dan misi penyelamatan bukan melulu soal baku hantam.

Kaylee (Kali Reis), seorang Native American sekaligus mantan petinju, mencari adiknya yang hilang. Petunjuk mengarah pada kemungkinan sang adik diculik lalu dijadikan pekerja seks. Kaylee berniat menyamar sebagai salah satu pekerja seks baru, dan untuk itu beberapa persiapan dilakukan. Latihan tinju kembali dijalani, pun tiap malam ia tidur sambil mengulum silet. Rutinitas menyakitkan itu semacam "strategi rahasia", walau bisa jadi Kaylee juga memandang aktivitas melukai diri sebagai hukuman. Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya sang adik. 

Hari yang ditunggu tiba. Bersama gadis-gadis lain, Kaylee dibawa bertemu si germo, yang menyuntikkan narkoba ke tubuhnya, mengambil foto, lalu bermasturbasi sambil melihat tubuh Kaylee. Kita tidak melihat apa yang si germo lihat. Kita tidak melihat apa yang merangsang nafsu bejatnya. Kita hanya melihat ekspresi Kaylee yang campur aduk, antara bingung, marah, jijik. Wladyka bukan sedang mengeksploitasi seksualitas, tapi mengajak penonton merasakan emosi korban.

Seperti telah disebutkan, film ini tampil realis. Tepatnya, menghidupkan realita kelam, didukung oleh nuansa dingin, gelap, bahkan tidak jarang mencekik, yang diciptakan visualnya. Bahasa visual memang jadi senjata Wladyka bercerita. Bahkan pembangunan intensitas terbaik datang saat musik atmosferik generik buatan Nathan Halpern berhenti mengalun. 

Di situ Kaylee menyusup ke dalam rumah salah satu penculik. Tanpa dialog, pula tanpa menunjukkan sosok Kaylee, namun kita tahu ia sudah menjalankan aksinya berkat petunjuk-petunjuk visual. Hasilnya adalah sekuen slow-burning yang intens. 

Melalui debut filmnya, Kali Reis jadi pilihan tepat menghidupkan perannya. Tentu ia meyakinkan sebagai petinju, mengingat Reis sendiri merupakan penyandang gelar juara dunia tinju dalam dua kelas berbeda. Tapi tidak kalah penting adalah emosi raw miliknya, yang sejalan dengan visi realis sang sutradara. 

Di balik gelaran thriller-nya, Catch the Fair One menyimpan subteks terkait perbudakan modern. Bagaimana wanita, terlebih person of color, nyatanya masih coba diperbudak para pria kulit putih. Baik sebagai PSK yang cuma dianggap komoditas, maupun istri yang diperlakukan bak pelayan dan bisa disiksa kapan saja. Mengesampingkan subteks di atas, sejatinya Catch the Fair One berjalan mengikuti formula klise bagi film bertema "memburu penculik", khususnya pasca titik balik mengejutkan di pertengahan durasi.

Film yang solid, dan berpotensi jauh lebih baik kalau bukan karena pilihan konklusinya. Eksekusi Wladyka terlampau datar untuk bisa menusuk hati penonton lewat realita soal lenyapnya harapan dari dunia. Konklusinya mengecewakan bukan karena tidak bahagia atau meninggalkan rasa tidak nyaman, tetapi justru karena tak meninggalkan rasa apa pun, di tengah upaya menyajikan kepahitan.

(Klik Film)

2 komentar :

Comment Page:
Aan mengatakan...

Lbh seram mana bang kondisi psk nya ama yg di film Taken 1...?

Rasyidharry mengatakan...

Nggak dilihatin detail sih, karena ya fokusnya bukan di "seberapa parah perlakuan ke psk" tapi fakta kalo banyak dari mereka itu awalnya kerja karena diculik