REVIEW - CYBER HELL: EXPOSING AN INTERNET HORROR

Tidak ada komentar

"It was just seen as another violence case against women", ucap seorang narasumber menyikapi dinginnya reaksi publik atas kasus yang diangkat oleh dokumenter ini. Saking seringnya terjadi, kekerasan seksual terhadap wanita mulai dianggap biasa. Muncul pembiaran. Sebuah kasus dipandang sebagai tambahan data statistik belaka. Seolah lupa, atau bahkan tidak peduli, bahwa satu kasus baru berarti satu lagi hidup manusia di ambang kehancuran. 

Cyber Hell: Exposing an Internet Horror menyoroti investigasi terhadap kasus Nth Room yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 2018-2020. Modus operandinya adalah memeras korban yang dicuri data pribadinya (termasuk foto) lewat metode phishing. Jika tak ingin data itu disebar, korban harus menuruti kemauan pelaku, dari mengambil foto telanjang, hingga merekam video sensual. 

Foto dan video itu lalu dibagikan ke beberapa grup Telegram, yang punya anggota tidak kurang dari 60 ribu orang. Total ada 103 korban, dengan 26 di antaranya masih di bawah umur. Tentu dengan jumlah pelaku sebanyak itu, kemungkinan untuk bertatap muka di dunia nyata amat besar. Alhasil, beberapa korban takut beraktivitas di luar rumah. 

Filmnya mengajak penonton menelusuri detail kasus melalui investigasi berbagai pihak. Jurnalis koran The Hankyoreh yang menerima petunjuk anonim dari surel, sepasang wartawan muda, pembuat acara televisi di SBS dan JTBC, sampai kepolisian. Masing-masing dari mereka turut hadir selaku narasumber.  

Prosesnya jauh dari mulus, akibat tingkat kerahasiaan dan sistem yang dipakai pelaku. Apalagi kala terungkap bahwa ada lebih dari satu pelaku. Bagi yang belum familiar dengan kasusnya, saya akan sedikit memberi penjelasan. Target utamanya adalah Baksa, pengelola grup Doctor's Room di Telegram. Tapi bukan Baksa pelaku pertamanya, melainkan God God, sosok misterius di balik penciptaan Nth Room, yang menginspirasi banyak grup lain termasuk Doctor's Room. 

Kenapa saya merasa perlu menjelaskan hal di atas ketika filmnya sendiri mengupas tentangnya? Di situ masalahnya. Sebagai sutradara, Choi Jin-seong mampu melahirkan dokumenter stylish. Pernak-perniknya kreatif. Google Map dipakai menjabarkan detail lokasi, shot estetis menghiasi layar, sementara animasi jadi cara cerdik mengakali penggambaran situasi agar tak terkesan eksploitatif. Sayangnya, ia bukan pencerita handal. 

Pendekatan bergaya tersebut, ditambah permainan tempo cepat, memang menghasilkan tontonan menghibur, namun runtutan investigasi jadi kurang rapi. Bila belum familiar dengan kasusnya, poin-poin seperti siapa Baksa dan God God, pula kaitan antara mereka, berpotensi membingungkan. 

Sebagai sineas pria, Choi juga luput menaruh simpati kepada para korban yang notabene wanita (pun menyaksikan perkataan jajaran narasumber, sangat kentara perbedaan perspektif pria dan wanita). Tidak adanya narasumber dari pihak korban bukan berarti sisi emosional mereka boleh terlupakan. Cyber Hell lebih tertarik merangkai spektakel ketimbang menyentuh humanisme atau mengulik problem sosial masyarakat yang lebih esensial guna memahami akar persoalan. 

Cyber Hell: Exposing an Internet Horror bisa berbuat lebih, tapi ia tetap penting disimak. Terutama bagi penonton di luar Korea Selatan, minimal dokumenter ini bak pembawa kabar, pemberi informasi mengenai betapa mengerikannya neraka dunia di era internet. Setidaknya informasi itu memberi peluang bagi individu guna melindungi diri, tatkala sistem dan masyarakat masih menolak untuk peduli.  

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page: