REVIEW - BODIES BODIES BODIES

4 komentar

Semasa kuliah dulu saya bisa menebak mana bisa mahasiswa baru, mana mahasiswa tua. Semakin sering memakai diksi ilmiah asing, kemungkinan semakin muda si mahasiswa. Penggunaan istilah yang tak jamak dipakai dalam interaksi kasual sehari-hari bukan membuktikan kepintaran atau pehamahan. Malah sebaliknya, menandakan masih hijaunya seseorang. Dia masih begitu passionate akan suatu topik, dan ingin nampak unggul. 

Di lingkup sosial zaman sekarang, fenomena di atas juga nampak pada tuntutan Generasi Z untuk terlihat "woke". Kesadaran atas isu acap kali bukan dipicu ketulusan nurani, melainkan bentuk konformitas. Para remaja di Bodies Bodies Bodies garapan sutradara Halina Reijn ini contohnya. Di belakang, mereka saling "tusuk", saling membicarakan keburukan satu sama lain, namun kala berdebat, semua saling berlomba memamerkan politcal correctness masing-masing. 

Bee (Maria Bakalova) datang ke pesta yang diadakan teman-teman sang kekasih, Sophie (Amandla Stenberg). Rumah mewah milik David (Pete Davidson) jadi lokasi. Turut hadir adalah Emma (Chase Sui Wonders), kekasih David yang juga seorang aktris; Alice (Rachel Sennott) si podcaster bersama pacarnya yang jauh lebih tua, Greg (Lee Pace); dan Jordan (Myha'la Herrold) yang nampak menyimpan rahasia. 

Malam harinya, ketika tengah memainkan Bodies Bodies Bodies (tipikal permainan wink murder seperti Werewolf dan sebagainya), salah satu dari mereka justru benar-benar tewas terbunuh. Di saat bersamaan, terjangan badai, listrik mati, serta ketiadaan jaringan makin memperparah situasi. Apa yang muda-mudi ini dapat perbuat tanpa internet dan smartphone

Sejatinya Bodies Bodies Bodies dibuka dengan tidak spesial, bahkan setelah beberapa korban telah berjatuhan. Naskah buatan Sarah DeLappe coba menerjemahkan cara tutur khas Agatha Christie ke era modern, termasuk bagaimana konklusinya memodifikasi twist salah satu karya terkenal si novelis, guna menyentil ketergantungan Generasi Z pada media sosial yang eksistensinya menentukan kepintaran/kebodohan mereka dalam menyikapi masalah. 

Sayangnya DeLappe luput melibatkan penonton dalam proses menebak kebenaran kasus. Whodunit yang baik mampu mengombang-ambingkan perspektif, bahkan mengecoh, lalu menggiring penonton agar mengambil kesimpulan yang keliru. Bodies Bodies Bodies tidak demikian. Kita hanya menyaksikan tokoh-tokohnya saling melempar tuduhan. Sebatas debat kusir tanpa akhir alih-alih adu pikir. Mereka panik, berkeliling di rumah yang gelap, menemukan mayat, kemudian bertengkar. Repetitif, tak ubahnya slasher konvensional. 

Satu yang menonjol di tengah repetisi tersebut adalah kemampuan Halina Reijn mengolah keterbatasan lokasinya. Dibantu sinematografi garapan Jasper Wolf, Reijn memaksimalkan pilihan shot sebagai jalan menjadikan lokasi tunggal yang sempit terasa amat luas. Caranya mengambil gambar dalam gelap pun mengagumkan. Latarnya gelap. Sangat gelap. Tapi kita selalu bisa memproses apa yang muncul di layar, pula mengenali tiap karakte, entah lewat kecerdikan permainan cahaya maupun pemakaian properti seperti aksesori glow in the dark. 

Filmnya baru benar-benar menemukan pijakan di pertengahan babak kedua. Di situ jajaran pemainnya makin berkesempatan menunjukkan sinar mereka, walau sesungguhnya penokohan di naskah tak sebegitu segar apalagi mendalam. Rachel Sennott yang akhirnya kembali ke medium film panjang selepas mencuri perhatian di Shiva Baby (2020) tampil paling menonjol.

Babak keduanya turut membawa Bodies Bodies Bodies total dalam melontarkan sindiran menggelitik mengenai kultur sosial masa kini. Di tengah teror, tokoh-tokohnya berdebat. Mereka saling tuduh, tapi bukan soal identitas pembunuh, melainkan menyerang kesadaran sosial masing-masing. Kata-kata seperti gaslight, toxic, ableist, dan lain-lain terus diteriakkan. 

Lucunya, tak satu orang pun selalu konsisten pada pendiriannya mengenai siapa salah dan siapa benar. Seolah ada tendensi bahwa sikap mereka ditentukan oleh arus "correctness" ketimbang ketulusan hati. Kalau begitu, apakah hubungan pertemanan sekarang juga tak lagi didasari ketulusan? Ketika "correctness" tersebut cenderung muncul dari kesepakatan bersama di media sosial, bagaimana cara menangani problematika dunia nyata kala media sosial direnggut dari mereka? 

(Netflix)

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Jujur Saat aku tau ending film ini aku ngakak banget,Kesalah fahaman dampaknya memang bs bikin hancur semuanya...!
Endingnya Lucu dan Konyol but in a good way,Film Slaaher Comedy yg bagus,Score 8 dari aku...!

Anonim mengatakan...

film tahun 2022 yang biasa aja cenderung nyebelin alur ceritanya bikin kita pengen skip skip skip...namun...ketawa ngakak abis sambil tepok jidat lihat ending scene plot twist yang paling membagongkan dalam sejarah perfilman, keren

Bubblewrap Cimahi mengatakan...

Endingnya bikin jengkel, sama seperti waktu nonton 'tokarev'nya Nicolas cage

Anonim mengatakan...

Kejutan di tahun 2022 dari A24 sih ini. Menarik bgt buat ditonton dan seru jg. Pokoknya 30 menit terakhir dibuat deg2an sekaligus ketawa oleh dark comedy nya haha