REVIEW - THE FANTASTIC FOUR: FIRST STEPS

Tidak ada komentar

Alih-alih pertarungan melawan penjahat super atau petunjuk soal invasi alien yang segera datang, The Fantastic Four: First Steps dibuka oleh pemandangan intim saat Sue Storm (Vanessa Kirby) mengabarkan kehamilannya ke sang suami, Reed Richards (Pedro Pascal). Tone dan tema film ini pun dipatenkan. Ketakutan terbesar karakternya bukan semata kehancuran dunia, melainkan kegagalan melindungi anggota keluarga mereka yang eksis di dunia tersebut. 

Di awal pertemuan kita, sudah empat tahun Fantastic Four jadi pelindung dunia. Masyarakat mencintai mereka, dan mereka pun mencintai masyarakat. Sebaris montase (yang diisi beberapa easter eggs) merangkum origin story kelompok berjuluk "Marvel's First Family" itu. Penokohan masing-masing anggota pun sekilas dijabarkan. Reed si ilmuwan jenius, Sue yang terlahir sebagai pemimpin, Ben Grimm (Ebon Moss-Bachrach) si manusia batu berhati lembut, dan Johnny Storm (Joseph Quinn) yang semangatnya selalu membara seperti tubuhnya. 

Singkat, tepat guna, menyenangkan. Walau ada kalanya gaya tutur montase di atas menular ke narasi normalnya, yang bergerak terlampau cepat terutama di paruh awal. Terkadang saya berharap filmnya sejenak menginjak pedal rem, supaya memberi penonton waktu menikmati nuansa retrofuturistik yang filmnya kedepankan. Teknologinya (mata H.E.R.B.I.E. si robot nampak bak pemutar kaset pita), efek suara, hingga sinematografi arahan Jess Hall, semua nampak "sangat 60-an". Andai beberapa kelemahan CGI-nya mampu diatasi, sebagaimana saat miniatur dipakai untuk menghidupkan New York di babak ketiga.

The Fantastic Four: First Steps turut meneruskan rute baru yang MCU tempuh sejak Thunderbolts*, dengan mengesampingkan humor konyol guna memberi ruang bagi pengembangan karakter. Peran melempar candaan lebih banyak diserahkan pada Johnny dan Benn, namun mereka tak disulap jadi "mesin lelucon". 

Tapi kompleksitas paling besar terletak pada figur Sue dan Reed, yang diperankan secara luar biasa oleh Vanessa Kirby dan Pedro Pascal. Saya suka bagaimana Sue, si perempuan tangguh yang bahkan sanggup bertarung di sela-sela kontraksi, senantiasa bisa mengatur emosinya, paling berkepala dingin, kecuali jika keselamatan buah hatinya terancam. Di situlah amarahnya dapat meledak hebat. Di sisi lain, Reed tidak digambarkan sebagai figur kepala keluarga sempurna. Sebagai individu yang terombang-ambing di antara sensitivitas hati dan kejeniusan otak, beberapa gagasannya terkesan problematik. 

Dinamika tersebut mendapat ujian saat Shalla-Bal / Silver Surfer (Julia Garner) mengabarkan kedatangan tuannya, Galactus (Ralph Ineson), yang akan segera menyantap Bumi. Fantastic Four pun menyambangi Galactus di luar angkasa untuk berunding, kemudian mendapati sang "Devourer of Worlds" sedang asyik melahap sebuah planet yang hancur seketika, sementara musik gubahan Michael Giacchino, yang sebelumnya memperdengarkan nada-nada klasik, seketika berubah menjadi lantunan teror mencekam. 

Galactus nampak intimidatif, bak personifikasi kiamat yang kehadirannya mampu mencuatkan ketidakberdayaan di babak ketiga. Shalla-Bal tidak luput mencuri perhatian. Adegan kejar-kejaran berlatar lubang hitam    yang kembali jadi panggung bagi Giacchino memamerkan keunikan aransemennya sekaligus menunjukkan kelihaian Matt Shakman mengolah intensitas di kursi sutradara    menegaskan bahwa ia bukan sosok pembawa kabar belaka. 

Banyak misinterpretasi terkait Fantastic Four. Berbeda dengan Avengers, mereka lebih dekat ke arah penjelajah dan ilmuwan ketimbang pahlawan super. Sewaktu Galactus menebar ancaman, insting pertama Fantastic Four bukanlah melawan balik layaknya sekelompok jagoan, tapi mencari solusi sebagaimana ilmuwan semestinya berlaku. Ketika Reed mencuatkan strategi absurd mengenai cara menyelamatkan Bumi dari Galactus, di situlah saya yakin The Fantastic Four: First Steps benar-benar memahami materi aslinya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: