REVIEW - LAND OF HAPPINESS
"Negara sialan ini penuh dengan bajingan", ucap salah satu karakternya, menegaskan bahwa Land of Happiness merupakan kisah mengenai amarah akibat ketidakadilan para penguasa yang menempatkan rakyat jelata di posisi tidak berdaya. Sayangnya Choo Chang-min selaku sutradara juga tidak berdaya untuk melahirkan tontonan yang benar-benar menggigit, meski dibekali materi mumpuni serta jajaran pemain yang menghadirkan performa terbaik mereka.
Masalahnya satu: filmnya tidak pernah yakin ingin menjadi apa. Kisahnya diangkat dari penembakan terhadap Presiden Korea Selatan ketiga, Park Chung-hee, pada 26 Oktober 1979. Peristiwa tersebut telah beberapa kali diangkat ke layar lebar dalam beragam bentuk. Komedi satir di The President's Last Bang (2005), shakesperean kelam di The Man Standing Next (2020), dan 12.12: The Day (2023) yang mengambil jalur drama sejarah konvensional.
Park Tae-ju (Lee Sun-kyun dalam penampilan terakhirnya sebelum meninggal), anggota militer yang juga tergabung dalam KCIA (Korean Central Intelligence Agency) termasuk satu dari beberapa tersangka pembunuhan terhadap presiden, yang konon direncanakan oleh sang direktur, Kim Young-il (Yoo Seong-ju). Sebagai tentara yang patuh, atau lebih tepatnya kaku, Tae-ju mengaku hanya menuruti perintah atasan, yang baginya haram ditentang.
Jung In-hoo (Jo Jung-suk) ditunjuk sebagai pengacara Tae-ju yang mengemban tugas berat membebaskannya dari hukuman mati di pengadilan militer, yang persentase keberhasilannya amat kecil. Belum lagi adanya intervensi dari Mayor Jenderal Jeon Sang-doo (Yoo Jae-myung) selaku kepala tim investigasi gabungan yang senantiasa mengendalikan gerak-gerik hakim. Karakter sang jenderal dibuat berdasarkan Chun Doo-hwan, yang pada 12 Desember 1979 memimpin kudera militer dan menjadi Presiden Kora Selatan kelima.
Pengarahan Choo Chang-min, juga akting kedua aktor, terutama aura intimidatif Yoo Jae-myung, menciptakan hawa menyesakkan dalam interaksi perdana antara In-hoo dan Sang-doo, yang membuatnya tersaji begitu intens. Menilik momen tersebut, Land of Happiness seperti hendak menjadi drama politis serius nan kelam.
Tapi rupanya tidak. Penokohan In-hoo yang ada kalanya menyenggol ranah komedi (dibawakan dengan begitu baik oleh Jo Jung-suk), serta masuknya keluarga Tae-ju dalam lingkup cerita, menyematkan citra melodrama arus utama yang ringan dan bertujuan menguras air mata penonton kepada filmnya.
Masalahnya, supaya berhasil mengaduk-aduk perasaan, penonton harus dibuat terkoneksi lebih dulu dengan tokoh-tokohnya, yang mana gagal film ini lakukan. Sekali lagi, semua pelakon tampil solid. Hanya saja, naskahnya lemah dalam mengeksplorasi. Penelusuran terhadap sisi personal Tae-ju cuma dilakukan di permukaan, begitu pula hubungannya dengan In-hoo. Land of Happiness ingin menggambarkan kalau ikatan mereka berdua tak hanya relasi profesional belaka, namun luput menghadirkan interaksi yang lebih bermakna.
Tanpa eksplorasi memadai, air mata pun sulit ditumpahkan. Apalagi saat sang sutradara sendiri nampak ragu membungkus babak ketiganya sebagai melodrama mengharu biru, lalu memilih presentasi yang "less-dramatic", walaupun selama durasi filmnya yang menyentuh dua jam, musik dramatis hampir selalu mengiringi. Setidaknya, di balik krisis identitas tersebut, Land of Happiness masih efektif membuat kita mengutuk para penguasa lalim yang mengontrol masyarakat lewat rasa takut.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar