REVIEW - KRAVEN THE HUNTER
Muncul kabar bahwa Kraven the Hunter bakal menjadi judul terakhir dari SSU (Sony's Spider-Man Universe), seiring mencuatnya estimasi bahwa film ini hanya akan memperoleh 13-15 juta dollar di akhir minggu pertamanya, yang mana merupakan rekor terendah bagi franchise-nya. Menilik kualitasnya, seperti rekan-rekannya, ia cuma produk setengah hati yang tak mampu menjustifikasi eksistensinya, selain demi mengeruk pundi-pundi uang secara asal, yang bahkan gagal dilakukan. Untungnya film ini memiliki Aaron Taylor-Johnson.
Ketika naskah buatan Richard Wenk, Art Marcum, dan Matt Holloway gagal mengeksplorasi psikis sang protagonis, termasuk di konklusinya yang cenderung memunculkan ketidakjelasan ketimbang kompleksitas, penampilan Johnson membuat Kraven aka Sergei Kravinoff nampak keren. Sosok pemburu brutal dengan kecepatan melebihi citah dan mata setajam elang, yang tak kenal ampun namun memegang teguh code of honour.
Code of honour seperti apa? Itulah yang naskahnya luput tekankan. Kita dibawa mundur ke masa muda Sergei, yang bersama adik tirinya, Dmitri (Fred Hechinger), hidup di bawah didikan otoriter ayah mereka, Nikolai (Russell Crowe), yang dengan paham maskulinitas berlebihnya, ingin kedua putranya tumbuh jadi pemburu handal. Di hari ibu mereka meninggal, Sergei dan Dmitri justru diajak berburu singa oleh sang ayah.
Bahkan setelah melewati fase flashback sepanjang itu, Kraven the Hunter tetap luput mengeksplorasi dinamika psikis jajaran karakternya, dan sebatas menyuguhkan origin story klise nan membosankan ala film superhero medioker. Sebuah kecelakaan saat berburu membawa Sergei bertemu Calypso Ezili (Ariana DeBose) yang kelak akan dikenal sebagai dukun voodoo handal, namun di sini penokohannya begitu dangkal, sehingga sulit untuk mendeskripsikan individu seperti apakah dia.
Nantinya Sergei bersinggungan jalan dengan Aleksei Sytsevich alias Rhino (Alessandro Nivola terlihat bersenang-senang dengan pendekatan akting over-the-top), yang akhirnya bisa membantu kita melupakan versi konyol karakternya yang diperankan Paul Giamatti di The Amazing Spider-Man 2 (2014). Di satu titik Rhino menculik Dmitri, dan melalui satu sekuen kejar-kejaran, penokohan Kraven sebagai pemburu gigih sekaligus kakak penyayang justru jauh lebih tergali (dan dengan cara yang jauh lebih menghibur) ketimbang di flashback-nya.
Penceritaannya tidak kalah buruk. Struktur alur yang makin kacau akibat lemahnya penyuntingan, diperparah oleh banyaknya lubang menganga di naskah. Setumpuk pertanyaan seperti "Kenapa dia bisa mengetahui ini?" atau "Bagaimana caranya melakukan itu?" bakal terus menghantui kepala penonton. Belum lagi baris demi baris kalimat, yang jika tidak sedang terjerumus dalam keklisean, maka akan terdengar konyol bak dibuat oleh bocah yang tengah berfantasi dengan mainannya.
Minimal gelaran aksinya cukup menyenangkan. Didukung berbagai kekuatan menarik tokoh-tokohnya, termasuk Foreigner (Christopher Abbott) selaku anak buah Rhino dengan kemampuan hipnotisnya, J. C. Chandor memanfaatkan rating R yang ia peroleh untuk menyajikan baku hantam berdarah. Eksekusinya mungkin tidak spesial, tapi masih memiliki daya hibur. Apalagi aksi tersebut dilakoni oleh Aaron Taylor-Johnson, yang dengan kekuatan luar biasa bak menahan film ini di pundaknya, guna menjaganya supaya tidak runtuh.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar