REVIEW - KARATE KID: LEGENDS

Tidak ada komentar

Karate Kid: Legends memakai semua jurus andalan film orisinalnya, yang mana bukan kali pertama diulangi. The Next Karate Kid (1994) dan The Karate Kid (2010) juga menempuh jalur serupa. Mengingat bentuknya selaku penghormatan terhadap franchise-nya, sebenarnya pengulangan tersebut bukan masalah besar, kalau saja kisahnya tidak bergerak lebih cepat dari aksi akrobatik Jackie Chan di usia primanya. 

Li Fong (Ben Wang) baru saja pindah ke New York, meninggalkan Beijing beserta perguruan milik Mr. Han (Jackie Chan) yang jadi tempatnya belajar kung fu. Li Fong berniat sepenuhnya melupakan dunia bela diri, bukan saja karena menuruti perintah sang ibu (Ming-Na Wen), pula didasari trauma akibat tragedi yang merenggut nyawa kakaknya, Bo Fong (Yankei Ge). 

Kita tahu Li Fong takkan selamanya mengesampingkan kung fu. Kita juga tahu seorang gadis lokal bakal merebut hatinya (Mia, diperankan Sadie Stanley), tapi si antagonis sekaligus mantan kekasih sang gadis (Conor, diperankan Aramis Knight), yang mengasah kemampuan karatenya di sebuah dojo amoral, bakal merundung Li Fong. Semuanya begitu familiar. Keseluruhan seri The Karate Kid didefinisikan oleh pakem tersebut. 

Daripada kebaruan, franchise-nya memang lebih condong menjadikan pesona para pelakon selaku nilai jual utama, yang mana kembali diterapkan oleh film ini. Ben wang dan Sadie Stanley menciptakan pasangan yang tidak melelahkan untuk kita ikuti romantismenya. Biarpun naskah buatan Rob Lieber dipenuhi kalimat-kalimat generik, kenaturalan kedua aktor mampu menyulap setiap interaksi menjadi pemandangan yang lucu, manis, dan tak jarang menggemaskan. 

Karate Kid: Legends sejatinya sempat beralih sejenak dari formula, tatkala Li justru mengemban peran sebagai mentor bagi Victor (Joshua Jackson), ayah Mia yang hendak kembali ke atas ring tinju demi melunasi utangnya. Sang murid kini menjadi guru. Menarik. Status Victor sebagai murid, teman, sekaligus ayah dari love interest Li melahirkan dinamika untuk di antara mereka. 

Tidak butuh waktu lama sampai alurnya kembali ke status quo, tatkala Li memulai persiapan menuju turnamen bela diri yang bakal membawanya beradu jurus melawan Conor. Dari sinilah filmnya coba menjembatani linimasa orisinal dan versi 2010-nya, ketika Mr. Han meminta bantuan Daniel LaRusso (Ralph Macchio) untuk turut melatih Li. 

Sayangnya penyatuan dua mentor tersebut tidak lebih dari sekadar fan service murahan. Tidak ada cerita kuat mampu dihasilkan, tidak ada pula kesan bahwa kombinasi Daniel dan Han berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan Li. Bandingkan dengan bagaimana Daniel 40 tahun lalu mempelajari setumpuk nilai-nilai kehidupan dari Miyagi (Pat Morita).

Semua akibat penuturan yang terlampau buru-buru. Karate Kid: Legends bak individu hiperaktif yang tak mampu bersikap tenang meski hanya sejenak dan terus bergerak dengan kecepatan di atas rata-rata. Ada kalanya sebuah adegan berakhir sebelum kita diberi kesempatan untuk mengolah peristiwa apa yang muncul. Bukannya kesan dinamis, pendekatan itu justru menyulitkan penonton untuk memedulikan kisahnya.

Begitu latihan Li dimulai, filmnya memberi hitung mundur selama tujuh hari sebelum turnamen dilangsungkan. Tapi entah karena alasan apa, mendadak tiga hari terakhirnya dilompati, seolah di kursi sutradara, Jonathan Entwistle tak sabar untuk menyelesaikan penceritaan mediokernya. Kenapa saya harus memedulikan film yang bahkan tidak cukup peduli pada pilihan narasi yang sudah dipilihnya? 

Setidaknya gelaran aksinya berhasil datang sebagai penyelamat. Agak mengecewakan melihat Jackie Chan dan Ralph Macchio hanya diberi segelintir momen yang juga dieksekusi secara ala kadarnya guna memamerkan jurus-jurus mereka, namun Ben Wang dengan segala aksi akrobatik yang membuatnya nampak bak "Jackie Chan kecil" mampu menyuntikkan energi yang filmnya butuhkan. Tapi bukankah The Karate Kid seharusnya lebih dari sekadar baku hantam?

Tidak ada komentar :

Comment Page: