REVIEW - GOOD ONE
Good One adalah film dengan presentasi yang begitu percaya diri serta berani, sampai sulit dipercaya bahwa ia merupakan sebuah karya debut. Melalui filmnya ini, India Donaldson menunjukkan soal ketiadaan ruang aman bagi perempuan, melalui kepiluan yang pelan-pelan merambat, kemudian mencengkeram dalam keheningan.
Awalnya semua nampak normal. Dibarengi musik bernuansa dreamy garapan Celia Hollander, kita berkenalan dengan Sam (Lily Collias), gadis muda yang hendak pergi berkemah bersama ayahnya, Chris (James Le Gros). Matt (Danny McCarthy), teman Chris, juga turut serta bersama putranya, Dylan (Julian Grady). Tapi di hari keberangkatan, didasari kekesalan atas perceraian orang tuanya, Dylan tiba-tiba enggan pergi.
Jadilah perkemahan ini diikuti oleh tiga orang saja. Sekali lagi, semua terlihat normal, tapi sesungguhnya Donaldson tengah mengajak penonton mengasah kepekaan mengobservasi. "Why do I have to go in the back?", ucap Sam mempertanyakan perintah sang ayah untuk pindah ke kursi belakang mobil kala mereka menjemput Matt. "Because I'm asking you so nicely", jawab Chris.
Sekilas tidak ada kejanggalan pada interaksi di atas. Tapi lambat laun sinyal-sinyal ketidakberesan lain mulai Donaldson tebar secara subtil. Ketika pembagian tempat tidur di hotel dilakukan tanpa diskusi, ketika obrolan mengenai "identitas" Sam dilakukan kala makan siang, atau ketika si protagonis merasa tidak nyaman dengan kehadiran sekelompok pria asing di area perkemahan.
Good One tidak membungkus konfliknya lewat ledakan besar, melainkan riak kecil yang seringkali tak diindahkan dan dianggap sepele. Donaldson tidak mengarahkan ke mana penonton harus memperhatikan. Sang sineas sebatas memotret realita, dan serupa di kehidupan sehari-hari, kita bebas membuat interpretasi serta respon seperti apa pun terhadap tiap situasi.
Riak-riak itulah yang nantinya membentuk miniatur dinamika gender. Bagaimana laki-laki punya tendensi menyepelekan isi pikiran perempuan dan enggan mendengarkan, atau sebaliknya, mau memberi perhatian hanya karena memiliki intensi buruk. Patut diingat, karena latarnya adalah alam liar, para laki-laki ini tak perlu terikat oleh norma dan peran-peran yang mereka jalankan sebagai bagian masyarakat, sehingga entah secara sadar atau tidak, menjadi diri sendiri, sejujur-jujurnya, seasli-aslinya, seburuk-buruknya.
Lily Collias tampil memikat, menampilkan akting kompleks yang secara tersirat memberi tahu kita, bahwa ada jauh lebih banyak hal berkecamuk dalam batin karakternya dibanding apa yang ia sampaikan. Sam memendam setumpuk dilema, hingga semua tak lagi tertahankan. Ketika figur pemegang kendali menolak membantunya mendapatkan ruang aman, sebagai perempuan, Sam memilih menciptakan ruang amannya sendiri, sebagaimana ia perlihatkan sewaktu menutup pintu mobil selama beberapa saat di penghujung film.
(Klik Film)
REVIEW - MUFASA: THE LION KING
Menilik ceritanya, Mufasa: The Lion King sesuai dengan apa yang bisa kita harapkan dari karya-karya Barry Jenkins (Moonlight, If Beale Street Could Talk). Didukung naskah buatan Jeff Nathanson, Jenkins dengan cerdik memakai konsep "Circle of Life' milik franchise-nya sebagai cara mengeksplorasi banyak isu sosial, dari gender, jurang kelas, hingga xenofobia dan rasisme. Tapi di saat bersamaan, belum matangnya sang sutradara dalam hal menggarap blockbuster juga begitu kentara.
Filmnya bertindak selaku prekuel sekaligus sekuel begi The Lion King (2019), di mana kita dibawa mundur jauh ke masa lalu, ketika Rafiki (John Kani) menuturkan sebuah kisah pada Kiara (Blue Ivy Carter), yang sedang ditinggal pergi untuk sementara waktu oleh kedua orang tuanya, Simba (Donald Glover) dan Nala (Beyoncé).
Cerita Rafiki berpusat pada Mufasa (Aaron Pierre), menyoroti bagaimana ia tumbuh menjadi raja yang begitu dihormati. Mufasa kecil terpisah dari orang tuanya akibat terseret air bah, tatkala hujan mengguyur tempat tinggalnya setelah kekeringan menahun. Ada satu detail kecil yang mengganggu kontinuitas naskahnya. Mufasa tidak tahu apa itu hujan, namun bisa menjelaskan bahwa ia terbawa arus banjir kepada seekor singa yang menolongnya.
Singa penolong itu bernama Taka (Kelvin Harrison Jr.), yang kelak akan kita kenal dengan panggilan "Scar". Raja Obasi (Lennie James) yang juga ayah Taka menolak kehadiran Mufasa, karena baginya "hewan asing" hanya akan mendatangkan bencana. Tapi akhirnya, serupa para pemimpin negara manusia yang xenophobic di dunia nyata, Obasi membolehkan Mufasa tinggal namun dengan berbagai kondisi yang memberatkan.
Mufasa hanya boleh berada bersama kawanan singa betina. Menariknya, justru itulah yang membuatnya berkembang, bahkan jauh di atas Taka dengan segala privilege-nya sebagai penerus tahta. Naskahnya memanfaatkan fakta bahwa singa betina bertindak selaku pemburu, sementara singa jantan "menjaga" teritori dengan cara tidur-tiduran, guna menyampaikan poin mengenai dinamika gender.
Di bawah asuhan Ratu Eshe (Thandiwe Newton), Mufasa tumbuh jadi singa handal dengan beragam keahlian. Lingkaran kehidupan dengan segala pertemuan dan perpisahannya memang misterius. Termasuk saat Mufasa mesti menghadapi Kiros (Mads Mikkelsen) dan kelompok singa putihnya, yang sebagaimana manusia berkulit putih, melakukan penjajahan terhadap "kaum berwarna", membunuh serta mengusir mereka dari tempat tinggalnya.
Mufasa dan Taka pun melakukan perjalanan mencari tanah impian yang disebut "Milele". Rafiki dan Sarabi (Tiffany Boone) si singa betina turut serta dalam perjalanan. Interaksi keempatnya tersaji menarik, tapi tiap narasinya rehat sejenak untuk kembali ke latar masa kini, intensitas yang telah dibangun segera menurun. Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) yang sejatinya tak memiliki kepentingan (melalui deretan dialog bernuansa meta, keduanya pun menyadari itu) diberi banyak porsi secara paksa, yang kebanyakan berkutat pada barisan lelucon tak lucu yang juga terkesan dipaksakan.
Mufasa: The Lion King diberkahi lagu-lagu buatan Lin-Manuel Miranda, yang tak hanya catchy tapi juga dipenuhi lirik kreatif. Sayang, Jenkins belum mampu menerjemahkan kekuatan milik departemen audio itu untuk melahirkan nomor musikal yang menarik. Kemeriahan dan energi yang semestinya hadir cenderung sukar ditemukan. Masalah serupa timbul kala sang sutradara menangani adegan aksi. Minim energi. Potensi menciptakan klimaks epik saat seluruh hewan berkonfrontasi di Milele gagal dimanfaatkan, dan kita pun cuma disuguhi aksi ala kadarnya.
Jenkins tahu cara menekankan problematika sosial di pengadeganannya, namun saat harus berurusan dengan teknologi, ia tampak kepayahan. Jenkins yang terbiasa mengutamakan ekspresi subtil dari perasaan manusia jelas tidak berjodoh dengan format animasi photorealistic yang membatasi guratan-guratan di raut wajah karakternya, sehingga dampak emosi kisahnya pun terlucuti. Setidaknya kelemahan tersebut adalah bagian dari proses belajar sang sineas yang belum tuntas, dan ia tetap diberi kesempatan menggarap karya sesuai kekhasannya. Di balik berbagai kekurangannya, Mufasa: The Lion King bukan blockbuster yang hampa.
REVIEW - SUGARCANE
Sugarcane dibuka oleh situasi sunyi di lokasi berdirinya St. Joseph's Mission (1867-1981). Nampak sebuah patung Maria yang dipenuhi bercak berwarna merah darah berdiri di area tersebut, yang secara puitis tetapi tragis, bak menyimbolkan bagaimana di sana agama pernah jadi kedok serangkaian perbuatan kejam. Tempat itu sudah kosong, namun kepiluannya tetap membekas.
Sebuah sekolah asrama khusus anak-anak Indian juga sempat eksis di situ, yang jadi bagian sistem pendidikan pemerintah Kanada. Sekolah itu bukan wujud kepedulian bagi pribumi, tapi tak ubahnya penjara penuh siksaan serta panggung genosida. Banyak laporan soal tindak kekerasan, pelecehan seksual, juga dugaan pembunuhan karena banyaknya murid tiba-tiba menghilang selama bertahun-tahun, namun pihak berwajib tidak pernah menindaklanjuti.
Sampai pada tahun 2021, ditemukan ratusan kuburan tak bertanda di area bekas berdirinya sekolah tersebut, yang membangkitkan kembali upaya untuk menguak kebenaran, termasuk oleh duo sutradara Julian Brave NoiseCat dan Emily Kassie melalui film mereka ini. Ayah Julian, Ed Archie Noisecat, juga mantan siswa sekolah tersebut, sekaligus satu dari sekian banyak anak yang lahir dari hasil pemerkosaan oleh para pendeta.
Pendeta memerkosa siswi, sang siswi hamil, kemudian beberapa bayinya dibakar hidup-hidup. Bayi yang selamat berujung dibuang, atau tumbuh sebagai anak perempuan yang juga menjadi siswi di sekolah tersebut, hanya untuk diperkosa oleh pendeta yang dahulu memerkosa ibu mereka. Kemanusiaan hanyalah dongeng di St. Joseph's Mission.
Sugarcane turut mengikuti aktivitas beberapa narasumber lain. Salah satunya Charlene Belleau, yang telah sekian lama melakukan investigasi bersama Whitney Spearing, dengan cara mewawancarai para penyintas dan mencari bukti-bukti terkait kebengisan para iblis bertopeng pengikut Tuhan di sekolah tersebut. Setiap kata yang terucap dari mulut para penyintas membawa kengerian, pun tiap lokasi yang dikunjungi merekam luka dan kesedihan.
Di satu titik, Charlene yang juga seorang penyintas mengunjungi bangunan yang dahulu dijadikan kurungan bagi murid. Nama anak-anak yang pernah dikurung terukir di dinding. Sembari menahan tangis, Charlene bercerita bahwa mereka diberikan nomor, dan alih-alih nama, para siswa dipanggil berdasarkan nomor itu. Menyakitkan.
Sugarcane tak hanya bertindak selaku penguak kebenaran, pula pengingat betapa peristiwa traumatis bukan sebatas menghancurkan korban, pula orang-orang di sekitarnya, bahkan hingga bertahun-tahun setelah peristiwa itu terjadi. Selepas menginjak usia dewasa pun, tendensi bunuh diri para penyintas tetap tinggi. Jikalau bertahan hidup, ada serangan depresi yang menolak pergi. Sebagaimana yang menimpa Ed, hingga ia memutuskan meninggalkan Julian kecil, yang akhirnya ikut terdampak secara emosional.
Mungkin dokumenter ini berupaya mengisi narasinya dengan terlalu banyak cerita, namun tidak bisa dipungkiri tiap cerita memiliki urgensi dan bobot emosi. Penutupnya terasa inkonklusif, tapi mungkin memang itu yang para sineasnya ingin penonton rasakan. Ketidakpuasan atas belum adanya konklusi pasti juga sesuatu yang mengganggu hati orang-orang Indian di sana.
Narasumber berikutnya adalah Rick Gilbert, mantan kepala Williams Lake First Nation yang mewakili orang-orang Secwépemc. Meski Rick juga penyintas, ia tetap tak kehilangan kepercayaan pada Katolik. Suatu ketika Paus Fransiskus mengundangnya dan perwakilan Indian lain dari berbagai tempat ke Vatikan. Di hadapan mereka Paus menyampaikan permintaan maaf, sebelum mengakhiri pidato "Bye bye!" yang terdengar (terlampau) ceria. Masalahnya mereka sudah lelah dengan permintaan maaf tanpa aksi nyata.
(Disney+)
REVIEW - THE LORD OF THE RINGS: THE WAR OF THE ROHIRRIM
Di salah satu momen aksi paling kreatif dalam filmnya, sang protagonis, Héra (Gaia Wise), secara cerdik berhasil mengalahkan seekor oliphaunt seorang diri. Beberapa menit berselang, dua prajurit lawan yang notabene adalah manusia biasa berhasil menculiknya dengan gampang. Sang putri hanya berteriak layaknya damsel in distress. Inkonsisten memang penyakit yang menjangkiti The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim.
Hadirnya inkonsistensi bukanlah suatu kejutan, sebab The War of the Rohirrim memang dibuat hanya agar New Line Cinema tetap memegang hak adaptasi terhadap karya-karya J. R. R. Tolkien, sehingga proses pembuatannya pun berlangsung buru-buru. Ada kalanya ia nampak berpeluang mendekati kehebatan trilogi buatan Peter Jackson, tapi tidak jarang pula filmnya terlihat seperti produk setengah matang.
Mengambil latar 183 tahun The Fellowship of the Ring (2001), satu hal yang paling menarik perhatian di sini jelas pemakaian format animasi. Bukan yang pertama, karena adaptasi layar lebar perdana untuk kisah The Lord of the Rings sendiri hadir dalam medium tersebut (1978). Tapi kita tidak sedang membicarakan animasi biasa, melainkan anime. Disutradarai oleh Kenji Kamiyama, The War of the Rohirrim lebih menyerupai karya-karya Hayao Miyazaki, khususnya Nausicaä of the Valley of the Wind (1984).
Sama seperti Nausicaä, Héra juga seorang putri kerajaan berambut merah, yang alih-alih bersikap anggun sembari mengenakan gaun, justru lebih senang menunggangi kuda di alam liar. Helm Hammerhand (Brian Cox) adalah ayahnya, Raja Rohan yang dikenal meledak-ledak meskipun baik hati. Terbaru, amarah sang raja menyeretnya dalam perkelahian, di mana ia tanpa sengaja membunuh Freca (Shaun Dooley), pemimpin kaum Dunlendings hanya dengan satu pukulan.
Helm Hammerhand memang raja yang badass. Rambut dan jenggot putihnya, tubuhnya yang tinggi kekar meski telah berusia lanjut, serta sebuah momen epik di pertengahan film, bakal mengingatkan penggemar One Piece terhadap sosok Edward Newgate (Whitebeard). Keputusannya berkelahi mendatangkan ancaman, saat Wulf (Luke Pasqualino), putra Freca, bersumpah menuntut balas dan mendatangkan peperangan bagi Rohan.
Walau awalnya Héra dikesampingkan, bahkan berbeda dengan dua saudara laki-lakinya, ia tak diizinkan terjun ke medan perang, kelak justru sang putri yang memegang kunci keselamatan Rohan. Masalahnya, naskah buatan Jeffrey Addiss, Will Matthews, Phoebe Gittins, dan Arty Papageorgiou seolah kebingungan hendak bagaimana mengolah karakter Héra.
Proses apa yang Héra lalui? Di akhir, ia mampu mengalahkan komandan pasukan musuh, amat tangguh bermain pedang, walau tak diperlihatkan menjalani latihan apa pun. Ataukah Héra memang sudah sekuat itu sejak awal? Kalau demikian mengapa ia semudah itu diculik dan beberapa kali kewalahan dalam pertarungan fisik?
Sekali lagi, inkonsisten. Inkonsistensi yang juga dapat ditemukan di visualnya. Kadang The War of the Rohirrim nampak bak penghormatan bagi gaya anime era 80an sampai 90an (desain karakternya begitu cantik) dengan segala ketidaksempurnaan animasinya, hanya untuk beralih menggunakan CGI modern beberapa waktu kemudian. Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para pembuatnya?
Ada beberapa ide aksi kreatif, salah satunya yang sudah tertulis di paragraf pembuka, kala Héra mampu mengalahkan seekor oliphaunt sendirian dengan cara yang tak terduga. Muncul secercah harapan untuk menghasilkan suguhan epik tiap kali filmnya melangkah ke adegan aksi. Tapi begitu pertarungan absen dari layar, ia tampil tanpa tenaga, dan hanya diisi barisan perbincangan medieval membosankan, yang nihil dampak emosi maupun kekuatan estetika.
Setidaknya film ini menolak bergantung pada fan service (kecuali sebuah cameo dan name-dropping di penghujung durasi yang sangat bisa diterima), sembari tetap memuaskan dahaga para penggemar yang ingin memahami mitologi Middle-earth secara lebih utuh.
REVIEW - RACUN SANGGA: SANTET PEMISAH RUMAH TANGGA
Sekilas Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga terlihat tak memiliki perbedaan dengan setumpuk horor lokal malas yang mengikuti tren dengan mengadaptasi kisah-kisah viral dari media sosial. Apalagi kursi sutradara diduduki oleh Rizal Mantovani, yang sebelumnya telah menelurkan enam judul (lima di antaranya horor) sepanjang tahun 2024. Siapa sangka film ini malah memberi contoh perihal apa saja yang semestinya dilakukan guna menghasilkan horor berkualitas.
Selepas kredit pembuka ala The Conjuring yang sukses mencuatkan suasana mencekam, kita diajak berkenalan dengan Maya (Frederika Cull) yang baru saja menikahi Andi (Fahad Haydra), meski keputusan itu menyakiti Duma (Wafda Saifan Lubis) yang sudah sejak lama menaruh hati padanya. Bukannya menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru, Maya dan Andi malah harus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akibat serangan santet bernama "racun sangga".
Konon santet itu tidak bisa dihancurkan, dan bakal terus ada sampai tujuannya tercapai, yakni memisahkan pasangan yang jadi target, entah melalui kematian atau membuat keduanya bercerai. Tidak lama setelah mengucap ijab, Andi mulai merasakan gatal-gatal di sekujur tubuh. Badannya pun dipenuhi luka, sementara muntah darah jadi aktivitas rutin tiap malam.
Disokong oleh naskah buatan Gusti Gina yang juga merupakan kreator dari utas viral di X yang dijadikan materi adaptasi, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Rizal Mantovani tak mengedepankan jumpscare dalam horornya. "Bercerita" jadi fokus utama, sementara pembangunan atmosfer dipakai sebagai amunisi menebar teror. Rizal tidak lagi royal mengumbar muka hantu, dan memilih mengusung prinsip "we fear what we cannot see".
Di satu titik, Andi nampak ketakutan sembari menunjuk ke salah satu sudut rumah. Maya tidak bisa melihat apa yang Andi lihat, begitu pula penonton. Suasana mencekam mampu dimunculkan meski tak menyertakan penampakan, karena pada dasarnya manusia memang cenderung takut akan hal-hal yang tak kita pahami.
Sayang, ada kalanya penggunaan musik yang kurang bijak terasa mengkhianati pendekatan atmosferik filmnya. Seperti belum bisa sepenuhnya lepas dari penanganan serba berisik di karya-karya sebelumnya, Rizal kerap terlalu berlebihan dalam menempatkan musik garapan Aghi Narottama. Lucunya, masalah ini justru menjangkiti adegan non-horor. Dialog antar karakternya sering sulit didengar akibat iringan musik orkestra megah dengan volume maksimal.
Untunglah terornya tetap terjaga. Bukan hanya melalui hal-hal subtil, Racun Sangga juga mempersenjatai diri dengan hal-hal yang lebih bombastis. Jumpscare memang tak mendominasi, namun bukan berarti sama sekali lenyap. Kuantitasnya benar-benar dikontrol, sehingga efektivitasnya perihal mengageti penonton tetap terjaga tiap kali dihadirkan.
Tidak kalah impresif adalah caranya membungkus gore. Ketika banyak sineas horor kita hanya gemar mengumbar kesadisan tanpa menguasai "seni menumpahkan darah", Rizal di film ini, dibantu oleh tata kamera garapan Hani Pradigya, serta Sastha Sunu di departemen penyuntingan, memberi contoh bagaimana semestinya sadisme diperlihatkan.
Contoh sempurna terletak saat akibat santet yang ia terima, Andi terdorong untuk memarut tangannya sendiri. Rizal terlebih dahulu membangun antisipasi penonton, meningkatkan kecemasan kita ke tingkat tertinggi lewat permainan kamera dan efek suara, sehingga saat akhirnya tiba ke "menu utama", ada kepuasan yang belakangan jarang terasa di horor Indonesia.
Pencapaian lain Racun Sangga adalah terkait elemen budayanya. Biarpun banyak dari jajaran pemainnya bukan warga lokal, naskahnya tak tergoda untuk memakai narasi "orang daerah merantau ke Jakarta" dan tetap menggunakan Kalimantan sebagai latar. Pertemuan dengan Nini Bulan (Elly D. Luthan) jadi gerbang menuju salah satu momen terbaik filmnya, tatkala sebuah upacara diadakan guna membersihkan racun sangga dari tubuh Andi. Doa-doa religius dan jampi-jampi dengan kemenyan ala klenik Jawa yang sudah terlampau sering menghiasi horor tanah air dihantikan oleh ritual tari-tarian, yang tak hanya unik secara estetika, pula mampu menguatkan atmosfer.
Setelah beragam peristiwa yang kita saksikan, babak puncaknya memang terasa terlalu generik dan antiklimaks (meski tidak digarap dengan buruk), tapi setidaknya, Racun Sangga: Santet Pemisah Rumah Tangga masih menawarkan konklusi memuaskan yang layak didapatkan oleh karakternya. Tidak bermain aman, tidak pula memaksakan hadirnya tragedi. Begitulah contoh penulisan yang baik.
REVIEW - JUROR NO. 2
"They don't make movies like this anymore" sudah jadi ungkapan klise (kalau tak mau disebut "malas") untuk mengutarakan kekaguman akan sebuah karya sinema dengan rasa klasik. Tapi dalam kasus Juror No. 2 memang begitulah faktanya. Sebuah film yang layak berjaya di musim penghargaan tanpa kehilangan daya hibur bagi penonton luas. Tidak mengejutkan pula saat karya semacam itu dilahirkan oleh Clint Eastwood, yang kala film ini diproduksi telah menginjak usia 93 tahun.
Naskahnya ditulis oleh Jonathan Abrams, yang akan terasa familiar jika anda sudah menonton 12 Angry Men (1957). Premis dasarnya serupa, yakni tentang proses persidangan suatu kasus pembunuhan, di mana berdasarkan setumpuk barang bukti yang dipresentasikan, rasanya hanya memiliki satu kesimpulan: sang terdakwa bersalah. Hampir semua juri berpikiran demikian, hingga salah satu di antara mereka muncul dengan opini berbeda.
Juri dengan opini berbeda itu adalah Justin Kemp (Nicholas Hoult), jurnalis yang tengah menanti sang istri, Ally Crewson (Zoey Deutch), melahirkan anak pertama mereka, setelah sebelumnya pernah mengalami keguguran. Tapi tidak seperti karakter Henry Fonda di 12 Angry Men, Justin meminta 11 juri lain memikirkan ulang putusan mereka bukan semata didasari alasan kemanusiaan, namun karena ia tahu bahwa James Sythe (Gabriel Basso) yang dituduh telah membunuh kekasihnya, Kendall Carter (Francesca Eastwood) sesungguhnya tidak bersalah.
Mengapa Justin beranggapan begitu, di saat para juri, masyarakat umum, serta Faith Killebrew (Toni Collette) selaku pihak penuntut yang berniat menjadikan kasus ini sebagai pemulus jalan kemenangannya di pemilihan jaksa daerah, meyakini hal yang berlawanan? Di sinilah poin yang membuat premis filmnya terdengar "seksi" diungkap. Melalui flashback, kita mendapati bahwa ada kemungkinan bahwa Justin adalah pelaku sesungguhnya yang menghilangkan nyawa Kendall.
Di situlah letak perbedaan paling mendasar antara Juror No. 2 dengan 12 Angry Men. Kisahnya bukan lagi soal juri yang menentukan apakah sang terdakwa bersalah, melainkan tentang juri yang dihantui rasa bersalah. Protagonisnya datang bukan untuk menegakkan keadilan, tapi menimbang-nimbang untuk lari dari proses peradilan. Jika 12 Angry Men diakhiri dengan perasaan lega saat para juri keluar dari ruang sempit yang pengap setelah beberapa lama, maka Juror No. 2 sebaliknya, ditutup dengan perasaan sesak.
Presentasi Eastwood mengingatkan ke film-film yang lalu-lalang di ajang penghargaan pada era 90-an. Walau intensitasnya tak pernah benar-benar memancing kecemasan, penceritaannya rapi sekaligus memiliki bobot emosi, dengan barisan karakter yang tidak sukar untuk dipahami motivasinya. Melalui perdebatan antara 12 orang tersebut, kita memperoleh gambaran mendasar seputar hal-hal yang melandasi sudut pandang masing-masing.
Tapi filmnya tidak selalu mengurung kita di ruang juri. Melalui pendekatan bercerita yang lebih konvensional, investigasi kasusnya acap kali bergerak ke luar ruangan. Justin ingin memastikan kebenaran ingatannya, juri lain bernama Harold Chicowski (J. K. Simmons) yang merupakan mantan polisi ingin menjalankan penyelidikan sendiri, dan seiring waktu, Faith (tak seperti namanya) mulai meragukan keyakinannya.
Juror No. 2 boleh tampil konvensional, tapi ia tidak miskin kompleksitas. Dia bukan film yang memudahkan penonton memilih mesti menaruh simpati pada siapa. Apakah Justin yang sejatinya adalah orang baik dan begitu menyayangi keluarganya? Atau Faith yang awalnya dibutakan ambisi sebelum pelan-pelan menyadari kewajibannya menegakkan keadilan? Mungkin Eastwood tengah mengajak penonton berandai-andai soal terciptanya dunia sempurna yang tak mengharuskan terjadinya gesekan antara ideologi dengan nurani.
(Catchplay)