REVIEW - THE GIRL WITH THE NEEDLE

Tidak ada komentar

The Girl with the Needle, yang jadi perwakilan Denmark di Academy Awards 2025 (berhasil menyabet nominasi), merupakan drama sejarah yang dibungkus layaknya horor arthouse. Tidak ada hantu dalam definisi konvensional di dalamnya. Hantu di sini tak bisa kita lihat namun dapat dirasakan, sebagai manifestasi kesendirian karakternya yang jatuh ke jurang terdalam akibat terus-menerus mengalami pembuangan.

Kopenhagen, 1919: Karoline (Vic Carmen Sonne) baru diusir dari apartemen akibat 14 minggu lalai membayar uang sewa. Suaminya, Peter (Besir Zeciri), sudah setahun tak memberi kabar dari medan perang. Hubungannya dengan Jørgen (Joachim Fjelstrup), bos pabrik tempatnya bekerja, berawal indah. Tapi niatan menikahi si lelaki selepas mendapati dirinya hamil ditentang keras oleh ibu Jørgen. 

Sekali lagi, Karoline merasakan sakitnya dibuang. Magnus von Horn selaku sutradara kerap menempatkan si protagonis di tengah layar seorang diri. Terkadang figur Karoline dibingkai oleh objek di sekelilingnya, atau diselimuti kegelapan yang ditangkap dengan begitu cantik dalam tata kamera arahan Michał Dymek. Semuanya mewakili kondisi psikis Karoline.

Sampai di satu titik Karoline memutuskan untuk berbalik melakukan hal yang selama ini menyiksanya. Dia ingin membuang. Targetnya adalah janin yang ia kandung. Tapi sebelum sempat melakukan itu (memakai jarum raksasa yang dibawa ke pemandian umum), Karoline ditolong oleh Dagmar (Trine Dyrholm), perempuan yang sekilas nampak baik hati. Tapi karena karakternya terinspirasi dari Dagmar Overbye, pembunuh berantai yang dari tahun 1913-1920 konon telah merenggut nyawa 25 korban, kita tahu kalau kebaikan tersebut hanya ilusi belaka. 

Ditemani sinematografi hitam putih remang-remang yang menjelaskan betapa kegelapan senantiasa menaungi karakternya, kita pun turut diajak mengobservasi lingkungan tempat Karoline menghabiskan keseharian. Semuanya kotor, jauh dari kesan higienis, bahkan tidak jarang menjijikkan. 

Bersama tempo lambat yang digerakkan secara presisi, Magnus von Horn berhasil menjadikan The Girl with the Needle sebagai perjalanan mengarungi kekacauan batin Karoline, yang meski dipenuhi ketidaknyamanan, nyatanya juga terasa menghipnotis. Apalagi Vic Carmen Sonne tampil luar biasa merepresentasikan ketersesatan Karoline, terutama melalui permainan ekspresi wajahnya. 

Karoline tengah hilang arah. Tidak tahu harus melangkah ke mana, bahkan tidak benar-benar yakin akan wajah asli dirinya maupun orang-orang di sekitarnya. Sebagaimana ditampilkan oleh sekuen pembukanya yang begitu mencekam bak sebuah mimpi buruk absurd, The Girl with the Needle menunjukkan bahwa individu cenderung menyembunyikan wajah asli mereka. Wajah asli yang lebih buruk rupa, dan tak jarang, merupakan wajah yang sangat mengerikan. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: