REVIEW - SINGSOT
Satu poin yang patut diapresiasi dari Singsot adalah keotentikannya. Mengambil latar di Jawa, diisi oleh jajaran aktor dengan kemampuan Bahasa Jawa yang bukan dipilih karena alasan popularitas atau tampang semata, pun kisahnya tak mengharuskan adanya perspektif dari karakter asal ibukota yang tengah mengunjungi desa. Tidak banyak horor rilisan rumah produksi besar bersedia memperhatikan semua itu.
Mengadaptasi film pendek berjudul sama yang juga digarap oleh Wahyu Agung Prasetyo, Singsot versi layar lebar masih mengetengahkan jalinan kisah yang senada. Alkisah, karena kerap memperhatikan sang kakek (Landung Simatupang) merawat burung, bocah bernama Ipung (Ardhana Jovin Aska Haryanto) mulai berbagi ketertarikan serupa. Siulan pun makin sering keluar dari mulut Ipung, termasuk di waktu magrib meski sang nenek (Sri Isworowati) telah menghardiknya. Benar saja, siulan Ipung jadi awal rangkaian pemandangan mengerikan yang ia saksikan.
Naskah yang Wahyu tulis bersama Vanis coba mengakali alih medium ke film panjang dengan cara memperluas cakupan cerita, yang tak lagi cuma berpusat di rumah protagonisnya, tapi turut menyoroti fenomena misterius di desa setempat. Dikisahkan, seorang warga bernama Agus Pete (Jamaluddin Latif) ditemukan di tengah hutan dalam kondisi katatonik. Kini ia cuma bisa berbaring di kasur dan sepenuhnya bergantung pada sang istri, Wiwik (Siti Fauziah).
Muncul pemandangan jenaka tatkala dua ibu-ibu kampung mulai bergunjing mengenai kondisi Agus Pete. Siti Fauziah yang selepas kesuksesan Tilik (2018) mulai terjebak dalam typecast sebagai perempuan desa penyuka gosip bermulut tajam, di sini berubah 180 derajat menjadi korban gosip.
Patut disyukuri bagaimana tambahan konflik seputar teror yang warga setempat alami tidak lantas menggoda para penulisnya untuk memaksa ceritanya membengkak secara berlebihan jika dibandingkan sumber adaptasinya. Durasi versi layar lebarnya pun cenderung pendek, hanya 75 menit.
Tapi bahkan dengan durasi sependek itu alurnya masih terasa tipis, karena mayoritas cuma tersusun atas kompilasi teror yang Ipung hadapi, sambil sesekali diselingi oleh interaksi dua tetua desa (termasuk kakek Ipung), kala mereka membicarakan perihal klenik yang mungkin tengah terjadi. Diskusi kedua tetua tersebut merupakan esensi dari elemen budaya mistis Jawa yang mengakar kuat di kisahnya, alih-alih jadi pernak-pernik semata.
Pembangunan intensitas dari Wahyu Agung Prasetyo sejatinya cukup apik. Biarpun acap kali berujung pada trik jumpscare generik, di mana para hantu sebatas memamerkan wajah mereka yang jauh dari cantik, hampir semua terornya disokong oleh build-up yang tampil creepy berkat pendekatannya yang tidak takut mengandalkan kesunyian.
Masalahnya, penulisan teror dalam naskahnya benar-benar kacau, terutama akibat terlalu bergantung pada adegan mimpi. Di versi film pendek, pemakaian mimpi bisa diterima karena tidak berlebihan dan sesuai dengan kepercayaan terkait pantangan tertidur di waktu magrib. Di sini, mimpi bagaikan cara malas minim kreativitas yang terus direpetisi supaya naskahnya punya alasan memunculkan hantu.
Sesungguhnya ada niat baik dari naskahnya yang enggan berlebihan menyuapi penonton, lalu membiarkan kita mencari dan menyatukan keping-keping puzzle sendiri. Sayang, akibat lemahnya penulisan, ketimbang proses memecahkan teka-teki yang menstimulus kerja otak, Singsot lebih seperti kekacauan yang membingungkan.
Setidaknya, seperti yang telah disinggung pada awal tulisan, film ini merupakan presentasi yang otentik. Ditunjang akting kuat jajaran pemain yang fasih melafalkan Bahasa Jawa, pula berperilaku layaknya manusia normal, dunia yang filmnya munculkan tidak terasa berbeda dengan realita tempat kita tinggal. Andai saja ia berhasil memberi teror mumpuni.
Tidak ada komentar :
Comment Page: OldestLatestPosting Komentar