REVIEW - SNOW WHITE

Tidak ada komentar

Ketika karakter Evil Queen   yang tak segan menghancurkan rumah orang-orang tak berdosa   diperkenalkan, terdengar narasi "She was evil" yang mengiringi penampakan Gal Gadot di depan cermin. Banyak film mampu menangkap wajah realita, tapi sangat sedikit yang melakukannya dengan begitu nyata namun terjadi tanpa disengaja seperti remake live-action dari Snow White and the Seven Dwarfs (1937) ini.

Dihadang banyak kontroversi jelang perilisannya, terutama seputar sudut pandang berlawanan dua aktris utamanya ("sudut pandang" di sini berarti salah satu di antara mereka adalah individu berperikemanusiaan, sedangkan satunya pendukung genosida) yang secara kebetulan melahirkan situasi "art imitates life" dalam kisahnya, Snow White kembali memperlihatkan upaya Disney memodernisasi formula klasik mereka.

Secara garis besar, alur dalam naskah buatan Erin Cressida Wilson masih mengikuti pakem versi animasinya. Snow White (Rachel Zegler) adalah putri kerajaan yang terbuang dan dipaksa menjadi pembantu, sementara Evil Queen (Gal Gadot) menancapkan kuasanya yang membawa penderitaan bagi rakyat. Nantinya Snow White bakal kabur, bertemu tujuh kurcaci, mati suri akibat apel beracun Evil Queen, sebelum bangkit kembali berkat ciuman sang cinta sejati. 

Pola alurnya serupa, namun tidak dengan penggambaran si tokoh utama. Snow White bukan lagi gadis naif (kalau tak mau disebut "bodoh") yang mudah luluh oleh rasa takut. Lihat saja reka ulang terhadap sekuen ikonik kala sang putri tersesat di hutan. Snow White memang ketakutan sebagaimana wajarnya manusia, namun ia nampak berjuang menekan segala bentuk kelemahan. 

Zegler pun bermain tanpa cela sebagai Snow White, dengan selalu bersinar terang di tiap kemunculannya. Nomor musikal Whistle While You Work mungkin salah satu puncak kinerjanya, di mana Zegler berhasil memadukan nyanyian indah dengan variasi gestur serta penggunaan ekspresi mikro. Begitu berlawanan bila dibanding Gal Gadot yang bahkan masih kesulitan memamerkan ekspresi makro secara natural. Gaun-gaun cantik (pujian patut disematkan bagi Sandy Powell) yang dikenakan tak kuasa menutupi segala keburukannya. 

Biarpun kini tampil tangguh, bukan berarti sang putri enggan jatuh cinta. Tapi bukan kepada pangeran tanpa nama yang diam-diam menguntit gadis di bawah umur, melainkan pemberontak bernama Jonathan (Andrew Burnap). Romansa keduanya masih terkesan serba instan, tapi setidaknya lebih muda dipercaya dan membumi ketimbang percintaan Snow White di animasi aslinya. 

Ketidaksengajaan menghadirkan cerminan dengan situasi dunia nyata memang (secara tidak sengaja pula) menambah bobot filmnya, sekaligus alasan untuk memihak sang protagonis. Tapi ketidaksengajaan adalah ketidaksengajaan, yang takkan mampu mengubah wajah asli film ini. Pada dasarnya Snow White adalah suguhan lemah, dengan alur yang seolah digulirkan sebagai cara menghabiskan durasi.

Kebodohan pun acap kali muncul di sepanjang 109 menit durasinya. Misal saat di babak ketiga, para rakyat yang konon mulai melupakan eksistensi Snow White karena sang putri telah bertahun-tahun lenyap dari hadapan publik, dapat dengan mudah berbaris di belakangnya guna menentang Evil Queen tanpa perlu mendengar bujukan atau seruan perlawanan. Apa pula fungsi para kurcaci di klimaksnya? 

Tapi yang paling bertanggung jawab meruntuhkan kualitas Snow White adalah pengarahan Marc Webb. Dipersenjatai deretan lagu catchy tak lantas membuat sang sutradara sanggup memunculkan nuansa magis di tiap nomor musikalnya, yang mayoritas berakhir minim kreativitas. Tidak ada keajaiban. 

Webb sempat berusaha mengolah imajinasinya, yakni pada momen ikonik saat Snow White berlarian di tengah hutan. Di situ Webb membuat pepohonan yang menyulut rasa takut sang putri nampak seperti monster sungguhan, sehingga luput menekankan bahwa peristiwa itu menyimbolkan keterkejutan Snow White yang untuk kali pertama setelah sekian lama menginjakkan kaki di alam liar. Mungkin Webb memang tidak pernah menyukai cerita Putri Salju. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: OldestLatest