REVIEW - NOVOCAINE
Novocaine bercerita tentang seorang laki-laki yang tidak bisa merasakan sakit. Tidak boleh ada tali pengekang dalam eksekusinya supaya premis menarik tersebut dapat dimaksimalkan, walau mengingat statusnya sebagai rilisan arus utama, keliaran semacam itu sulit (kalau bukan mustahil) dilakukan. Setidaknya Dan Berk dan Robert Olsen selaku sutradara paham mesti berbuat apa, lalu mendorong batasan eksplorasi mereka sejauh yang bisa dilakukan, sehingga mampu menghasilkan tontonan menghibur.
Nathan "Nate" Caine (Jack Quaid) bekerja sebagai asisten manajer sebuah bank yang nampak memedulikan keselamatan karyawan mereka. Ujung pensil yang tajam ditutupi, bola tenis pun dipakai untuk melapisi sudut-sudut meja. Nate tak memerlukan segala bentuk perlindungan tersebut, karena ia mengidap CIPA (Congenital Insensitivity to Pain) yang meniadakan kemampuannya merasakan sakit.
Konon kebanyakan penderita CIPA cuma bisa bertahan hidup sampai usia 25 tahun. Tapi berkat kehati-hatiannya, termasuk pilihan untuk menjauhi konsumsi makanan padat guna mengurangi risiko menggigit lidah sendiri, membawa Nate bertahan hingga sekarang. Kondisi tersebut membuatnya jadi korban perundungan semasa kecil, oleh teman-temannya yang memberi julukan "Novocaine" (nama produk anestesi) pada Nate.
Quaid sempurna memerankan individu yang senantiasa bersikap canggung akibat selalu menghindari skenario sosial. Sewaktu jalan Nate untuk mendekati gadis impian sekaligus rekan kerjanya, Sherry (Amber Midthunder), akhirnya terbuka, filmnya pun sejenak beralih jadi komedi romantis yang likeable berkat cara Quaid menangani karakternya.
Sampai sekelompok perampok menjarah bank tempat Nate bekerja. Bukan cuma itu, Sherry pun mereka bawa sebagai sandera. Nate yang selama ini lebih banyak menghabiskan waktu berperang dalam permainan daring di depan layar komputer pun nekat terjun ke medan pertempuran dunia nyata guna mengejar para perampok itu. Biarpun banyak dari penonton mungkin bisa menebak bahwa berbeda dengan dugaan Nate, Sherry bukanlah damsel in distress.
Filmnya berutang besar pada Jack Quaid. Naskah buatan Lars Jacobson menyediakan beberapa ide humor menarik yang mayoritas berpusat pada kondisi medis protagonisnya, namun comic timing sang aktor merupakan penghasil tawa utama. Sebagai karakter, reaksi-reaksi yang Nate munculkan tiap mengalami berbagai bentuk luka seolah merupakan cara mempersilakan penonton menertawakan tragedi kehidupannya.
Sekali lagi, sebagai rilisan arus utama Novocaine memang masih terkesan menahan diri kala mengeksploitasi kondisi tokoh utamanya. Di satu titik, Nate menyusup ke rumah salah seorang perampok yang diam-diam telah dipasangi beraneka perangkap. Panah menembus kakinya, cokmar menghantam punggungnya, dan Nate pun bak bertransformasi menjadi karakter maling dalam Home Alone.
Singkatnya, kita sudah sering menyaksikan karakter dengan ketahanan ekstrim serupa di judul lain, bahkan dalam sebuah film keluarga. Untungnya pada beberapa bagian, khususnya tiap Nate mengeksekusi satu demi satu pelaku perampokan, muncul kekerasan dengan level yang membuat Novocaine sanggup menjustifikasi eksistensinya, apalagi ia turut didukung pengarahan Berk dan Olsen yang menyuntikkan energi memadai secara konsisten di tiap adegan aksi brutalnya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar