THE TREE OF LIFE (2011)
Pertama melihat trailer-nya yang begitu unik dan kalau boleh dibilang terlihat absurd, "The Tree of Life" langsung menarik perhatian saya. Apalagi setelah film ini memenangi Palm d'Or di Cannes tahun ini. Menonton karya terbaru Terrence Malick ini bagaikan kita diperdengarkan sebuah puisi penuh kata-kata metafora, kemudian bayangan visualisasi puisi tersebut muncul di otak kita. Tentu saja yang muncul di bayangan kita adalaha berbagai macam adegan sekaligus nuansa-nuansa yang absurd. Menonton film ini bagaikan menyaksikan sebuah visualisasi puisi dimana begitu banyak adegan-adegan yang terasa janggal, aneh dan membingungkan namun harus diakui sebagai hal yang indah.
Kisah drama yang diceritakan sesungguhnya "hanya" sebuah sajian yang bagus. Sebuah drama yang bagus tapi jalinan ceritanya tidaklah mencapai titik luar biasa, yaitu dimana sepasang suami sitri yang diperankan oleh Brad Pitt dan Jessica Chastain baru saja menerima kabar duka disaat salah satu dari ketiga anaknya telah meninggal dunia. Kita lalu dibawa secara acak menuju masa sebelum kejadian tersebut dan masa berpuluh tahun sesudahnya. Masa sebelum yaitu dimana ketiga putra mereka masih anak-anak dan dididik dengan sangat berbeda oleh kedua orang tuanya dimana sang ibu sangat sabar dan menyayangi mereka sedangkan sang ayah menyayangi dengan jalan yang keras dan mendidik mereka dengan sangat disiplin. Masa sesudah kejadian yaitu dikala salah satu dari ketiga anak itu, Jack (Sean Penn) diperlihatkan terus teringat akan masa lalu dan saudaranya yang telah meninggal.
Ada beberapa hal yang membuat drama sederhana tersebut berkembang menjadi sajian luar biasa dan salah satunya sekaligus yang paling berperan besar adalah visualisasinya. Disinilah perjalanan menuju dunia antah berantah seorang Terrence Malick dimulai,. Dengan spesial efek Douglas Trumbull yang menggarap "2001: A Space Odyssey", sinematografer Emmanuel Lubezki dan tentunya gaya penceritaan super puitis ala Malick, "The Tree of Life" memberikan kita adegan flashback sepanjang 20 menit yang bisa dibilang adegan flashback paling berani dan yang mundur paling jauh sepanjang sejarah perfilman. Bayangkan, dari setting tahun 1950 kita diajak mundur hingga waktu berjuta bahkan mungkin bermilyar tahun sebelumnya saat Bumi dan alam semesta belum terbentuk.
Sejak sekitar menit ke-20, selama kurang lebih 15 menit kita akan diajak menyaksikan proses pembuatan alam semesta beserta isinya termasuk Bumi dan matahari. Seolah menjawab pertanyaan salah satu tokoh dalam film mengenai keberadaan Tuhan, kita akan disuguhkan bagaimana jika Tuhan sudah bertindak menciptakan maha karya-Nya yang luar biasa ini. Diiringi dengan scoring music yang sangat megah dipadu visual efek megah pula, adegan 15 menitan ini sukses membuat saya merinding dan terpana. Mulai dari awal terbentuknya benda-benda langit dan lapisan alam semesta yang apabila kita pause dan capture adegan tersebut maka akan memberikan begitu banyak gambar indah yang patut dipasang sebagai wallpaper laptop, lalu lanjut ke pembentukan planet termasuk Bumi, dan tidak lupa....Dinosaurus!
Setelah 15 menit yang luar biasa itu Malick akan mengajak kita untuk menuju dunianya yang lebih normal tapi terkadang tetap abusrd termasuk ending yang memberikan kesan damai tersendiri bagi saya. Maksud dari berbagai sajian metafora bak puisi ini memang hanya Malick yang tahu sedangkan kita sebagai penonton hanya bisa berasumsi masing-masing. Saya sendiri lebih menganggap hal tersebut sebagai pembahasan metafora mengenai awal dan akhir kehidupan sekaligus simbol kebesaran Tuhan yang sempat dipertanyakan keberadaannya.
Cukup mengenai adegan penciptaan alam semesta yang sudah pasti luar biasa itu, bagaimana dengan dramanya yang sebenarnya punya cerita tidak terlalu spesial? Masih dibalut dengan berbagai adegan absurd yang dosisnya sudah berkurang, sebenarnya drama keluarga dari Malick ini bagus. Orang-orang yang dimasa kecilnya punya kenangan yang mirip dengan Jack dan kedua saudaranya dimana mereka mendapat didikan keras dari sang ayah pasti akan mudah mencintai film ini. Sosok ayah yang diperankan Brad Pitt juga bukan sosok seorang ayah jahat yang mudah diidentifikasi begitu saja. Saya yang sempat mengalami hal serupa disaat kecil dulu (walau tidak sekeras yang disajikan disini) dapat langsung memahami bahwa sang ayah pada dasarnya menyayangi ketiga anaknya hanya saja caranya dalam menyalurkan rasa dan mendidik anak-anaknya sangat salah. Hal itulah yang membuat sajian drama sederhana ini jadi jauh lebih menarik.
Film macam sebenarnya tidak terlalu membutuhkan akting kualitas Oscar, tapi akting dari Brad Pitt dan aktor muda Hunter McCraken sangat memuaskan. Sedangkan Sean Penn seolah hanya menjadi templean dan magnet bagi para penonton. Tapi dengan akting yang bagus dari para pemainnya film ini tidak hanya menjadi ajang pertunjukkan visualisasi indah dan penceritaan unik belaka. Akting bagus? Ada. Cerita yang dalam? Ada. Efek visual dan sinematografi indah? Ada. Scoring super megah? Ada. Sebuah perjalanan spiritual dan sajian visual luar biasa hebat dari Terrence Malick.
RATING:
Kisah drama yang diceritakan sesungguhnya "hanya" sebuah sajian yang bagus. Sebuah drama yang bagus tapi jalinan ceritanya tidaklah mencapai titik luar biasa, yaitu dimana sepasang suami sitri yang diperankan oleh Brad Pitt dan Jessica Chastain baru saja menerima kabar duka disaat salah satu dari ketiga anaknya telah meninggal dunia. Kita lalu dibawa secara acak menuju masa sebelum kejadian tersebut dan masa berpuluh tahun sesudahnya. Masa sebelum yaitu dimana ketiga putra mereka masih anak-anak dan dididik dengan sangat berbeda oleh kedua orang tuanya dimana sang ibu sangat sabar dan menyayangi mereka sedangkan sang ayah menyayangi dengan jalan yang keras dan mendidik mereka dengan sangat disiplin. Masa sesudah kejadian yaitu dikala salah satu dari ketiga anak itu, Jack (Sean Penn) diperlihatkan terus teringat akan masa lalu dan saudaranya yang telah meninggal.
Ada beberapa hal yang membuat drama sederhana tersebut berkembang menjadi sajian luar biasa dan salah satunya sekaligus yang paling berperan besar adalah visualisasinya. Disinilah perjalanan menuju dunia antah berantah seorang Terrence Malick dimulai,. Dengan spesial efek Douglas Trumbull yang menggarap "2001: A Space Odyssey", sinematografer Emmanuel Lubezki dan tentunya gaya penceritaan super puitis ala Malick, "The Tree of Life" memberikan kita adegan flashback sepanjang 20 menit yang bisa dibilang adegan flashback paling berani dan yang mundur paling jauh sepanjang sejarah perfilman. Bayangkan, dari setting tahun 1950 kita diajak mundur hingga waktu berjuta bahkan mungkin bermilyar tahun sebelumnya saat Bumi dan alam semesta belum terbentuk.
Sejak sekitar menit ke-20, selama kurang lebih 15 menit kita akan diajak menyaksikan proses pembuatan alam semesta beserta isinya termasuk Bumi dan matahari. Seolah menjawab pertanyaan salah satu tokoh dalam film mengenai keberadaan Tuhan, kita akan disuguhkan bagaimana jika Tuhan sudah bertindak menciptakan maha karya-Nya yang luar biasa ini. Diiringi dengan scoring music yang sangat megah dipadu visual efek megah pula, adegan 15 menitan ini sukses membuat saya merinding dan terpana. Mulai dari awal terbentuknya benda-benda langit dan lapisan alam semesta yang apabila kita pause dan capture adegan tersebut maka akan memberikan begitu banyak gambar indah yang patut dipasang sebagai wallpaper laptop, lalu lanjut ke pembentukan planet termasuk Bumi, dan tidak lupa....Dinosaurus!
Setelah 15 menit yang luar biasa itu Malick akan mengajak kita untuk menuju dunianya yang lebih normal tapi terkadang tetap abusrd termasuk ending yang memberikan kesan damai tersendiri bagi saya. Maksud dari berbagai sajian metafora bak puisi ini memang hanya Malick yang tahu sedangkan kita sebagai penonton hanya bisa berasumsi masing-masing. Saya sendiri lebih menganggap hal tersebut sebagai pembahasan metafora mengenai awal dan akhir kehidupan sekaligus simbol kebesaran Tuhan yang sempat dipertanyakan keberadaannya.
Cukup mengenai adegan penciptaan alam semesta yang sudah pasti luar biasa itu, bagaimana dengan dramanya yang sebenarnya punya cerita tidak terlalu spesial? Masih dibalut dengan berbagai adegan absurd yang dosisnya sudah berkurang, sebenarnya drama keluarga dari Malick ini bagus. Orang-orang yang dimasa kecilnya punya kenangan yang mirip dengan Jack dan kedua saudaranya dimana mereka mendapat didikan keras dari sang ayah pasti akan mudah mencintai film ini. Sosok ayah yang diperankan Brad Pitt juga bukan sosok seorang ayah jahat yang mudah diidentifikasi begitu saja. Saya yang sempat mengalami hal serupa disaat kecil dulu (walau tidak sekeras yang disajikan disini) dapat langsung memahami bahwa sang ayah pada dasarnya menyayangi ketiga anaknya hanya saja caranya dalam menyalurkan rasa dan mendidik anak-anaknya sangat salah. Hal itulah yang membuat sajian drama sederhana ini jadi jauh lebih menarik.
Film macam sebenarnya tidak terlalu membutuhkan akting kualitas Oscar, tapi akting dari Brad Pitt dan aktor muda Hunter McCraken sangat memuaskan. Sedangkan Sean Penn seolah hanya menjadi templean dan magnet bagi para penonton. Tapi dengan akting yang bagus dari para pemainnya film ini tidak hanya menjadi ajang pertunjukkan visualisasi indah dan penceritaan unik belaka. Akting bagus? Ada. Cerita yang dalam? Ada. Efek visual dan sinematografi indah? Ada. Scoring super megah? Ada. Sebuah perjalanan spiritual dan sajian visual luar biasa hebat dari Terrence Malick.
RATING:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:gw malah suka banget sama cerita dramanya :)
Gw juga lumayan suka, cuma karena habis nonton 15 menit yg super keren itu jadi agak berkurang aja kesannya. Lagian dramanya hampir mirip jaman kecil gw sih :P
Posting Komentar