A GIRL WALKS HOME ALONE AT NIGHT (2014)
Pada waktu masih kecil, saya sering merasa takut di malam hari saat sedang mencoba tidur. Saya selalu terbayang-bayang ada sosok (hantu) wanita dengan gaun panjang tengah mondar-mandir di jalanan depan rumah. Wanita itu tidak melakukan apapun kecuali berjalan perlahan sambil menanti ada orang lewat untuk ia jadikan mangsa. Belasan tahun berselang bayangan tersebut mulai terlupakan hingga malam ini saat Ana Lily Amirpour membangkitkan kembali mimpi buruk tersebut dalam debut penyutradaraannya. A Girl Walks Home Alone at Night ber-setting di sebuah kota di Iran bernama Bad City. Dengan nama seperti itu pastinya ini bukanlah kota yang indah. Bad City adalah kota yang sunyi, khususnya di malam hari. Jalanan sepi dan gelapnya malam yang hanya disinari lampu-lampu jalan adalah lokasi yang bakal sering dikunjungi penonton. Dilengkapi visual hitam-putih dan ambience sound layaknya film David Lynch, makin kuatlah atmosfer mencekam film ini.
Tapi kota tersebut bukan hanya mengerikan secara suasana, kehidupan yang dijalani warganya pun tidak lebih menyenangkan. Setidaknya itu yang kita lihat dalam diri Arash (Arash Marandi) pemuda bergaya ala-James Dean lengkap dengan jaket kulit, kaus putih dan mobil klasik keren. Dalam kesehariannya, Arash bekerja sebagai tukang kebun, dan lewat kerja kerasnya itulah ia membeli mobil meski hanya mendapat gaji yang tidak seberapa. Tapi beban yang harus ditanggung Arash begitu besar karena sang ayah (Marshall Manesh) adalah seorang pecandu kokain, hobi berjudi dan main wanita. Dia juga punya hutang besar pada seorang germo bernama Saeed (Dominic Rains). Kondisi tersebut semakin membuat Arash merasa tak berdaya dan dihantui kesepian. Sampai pada suatu malam ia bertemu wanita misterius yang mengenakan cadar hitam besar (Sheila Vand). Arash tidak tahu bahwa sang gadis adalah vampir yang selama ini berkeliaran, membuntuti orang-orang di jalan setiap malam dan telah membunuh banyak orang.
A Girl Walks Home Alone at Night adalah film modern bernafaskan horor yang paling baik dalam memanfaatkan visual hitam-putih. Pewarnaan seperti itu memang efektif memunculkan suasana kelam, tapi Ana Lily Amirpour melakukan lebih dari itu. Judulnya memang menyebut seorang wanita yang berjalan sendirian di malam hari, tapi atmosfer yang dibangun justru membuat penonton serasa menjadi orang yang berada sendirian di jalan pada gelap malam. Perasaan tidak nyaman hingga kesan paranoid kalau-kalau ada sosok yang mengikuti berhasil disalurkan pada penonton. Kita familiar dengan perasaan tidak aman tersebut. Kemunculan sang vampir wanita beserta tampilannya pun tidak berlebihan. Tidak perlu make-up berlebihan atau kemunculan tiba-tiba yang "berisik". Cukup dengan kerudung hitam dan kehadiran yang diam-diam tapi tak terduga sudah cukup membangkitkan kembali rasa takut.
Poin utama ceritanya ada dua, yaitu kesepian dan penderitaan. Penderitaan dari mereka orang-orang yang tak berdaya, entah itu seperti Arash dan ayahnya yang terhimpit masalah ekonomi serta kecanduan, atau korban dari sang vampir yang hanya bisa pasrah menunggu ajal. Beberapa scene menunjukkan alat-alat industri yang bekerja aktif, tapi kota di sekitarnya justru dipenuhi suasana depresif akibat kehidupan yang jauh dari kata makmur. Ironis memang disaat benda mati bagi industri tersebut terus hidup, para makhluk hidupnya sendiri terasa "mati". Mereka pun diselimuti kesepian yang tidak jauh berbeda dengan kesunyian kota di malam hari. Kita tahu Arash merasakan hal itu, begitu juga Atti (Mozhan Marno), sang pelacur yang tidak bahagian dengan pekerjaannya. Tapi siapa mengira sang vampir merasakan hal yang sama. Pada siang hari ia harus berada di dalam rumah, sendirian sambil menikmati koleksi musik yang kadang ia dapatkan dari para korban. Tapi sekalinya keluar di malam hari, yang ia temui hanya jalanan kota yang senyap.
Film ini mengajak kita untuk memandang sosok vampir wanitanya secara lebih mendalam. Observasi pun dilakukan, menjadikannya tidak hanya sebagai monster haus darah melainkan sosok yang terjebak dalam kesepian. Karena itu saat berkeliaran di malam hari, hanya beberapa kali saja kita meihatnya mencari mangsa. Sisanya ia habiskan untuk mengikuti orang-orang, membuat mereka takut tanpa melukai, sampai menjelajahi kota dengan skateboard yang diambilnya dari seorang anak kecil. Bahkan dalam suatu adegan kita melihatnya merambat perlahan di dinding sambil tetap berada di atas skate. Daripada perbuatan jahat seperti yang ia tuturkan pada Arash, vampir ini lebih sering melakukan hal-hal iseng. Kekosongan yang ia rasakan dan tingkah polah yang seringkali menggelitik membuat saya mudah memberikan simpati pada karakter ini.
Lalu pada pertengahan, filmnya juga menambahkan sisi romansa. Kisah cinta antara Arash dan sang vampir dibuka dengan pertemuan menarik antara keduanya. Tapi seiring berjalannya waktu daya tarik itu sedikit luntur. Saya dibuat memahami alasan ketertarikan keduanya, tapi tidak seperti pada sang vampir, hubungan tersebut tidak membuat saya sampai peduli. Unik? Pastinya. Tapi kehangatan romansa yang tersaji di tengah atmosfer dingin ini tak pernah sekuat atmosfer creepy-nya. Walau begitu sampai akhir sekalipun penampilan Sheila Vand masih begitu mengikat. Pada beberapa momen, sosoknya lengkap dengan tatapan dingin memunculkan rasa ngeri. Tapi di momen lain, tatapan dingin itu berubah menjadi tatapan seorang gadis yang kesepian, bosan, tak tahu harus berbuat apa saat sedang berjalan sendirian di malam hari.
Verdict: Sepertiga akhir dengan selipan romansa sedikit mengendurkan intensitas mood selaku penggerak utama film ini. Tapi dua pertiga awal adalah perjalanan atmosferik yang memberikan satu lagi perspektif baru terhadap film bertemakan vampir dan membuat saya ingin bertemu lagi dengan sang vampir wanita.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Bad City, a sequel to Sin City? *eh
downloadnya dimana ini bang? gak nemu2..T.T.Mauu
Di torrent udah banyak kok :)
Kurang seru
Posting Komentar