REVIEW - RELAY
Relay tidak bergantung pada kecanggihan absurd seperti teknologi pengenalan wajah yang bisa mendeteksi gambar dengan resolusi luar biasa rendah, atau aksi peretasan sarat kemustahilan. Sebaliknya, dia memanfaatkan peralatan analog, layanan konvensional, serta celah dalam sistem untuk menggambarkan kepintaran si protagonis.
Ash (Riz Ahmed) punya pekerjaan unik sebagai penengah netral dalam mediasi antara perusahaan korup dan whistleblower yang memegang rahasia kejahatan mereka. Tidak seorang pun mengetahui identitasnya, sebab seluruh kontak dilakukan via layanan relai, di mana Ash mengetik pesannya memakai alat telekomunikasi untuk orang tuli. Mustahil membongkar aksi laki-laki jenius super teliti ini, kecuali dengan memaksanya melakukan kesalahan.
Klien terbarunya bernama Sarah (Lily James), yang awalnya berniat membocorkan praktik ilegal perusahaannya, namun memilih berdamai pasca menerima intimidasi dari Dawson (Sam Worthington) beserta anak buahnya. Naskah buatan Justin Piasecki memilih berfokus pada rangkaian prosedur yang Sarah jalani atas instruksi Ash, termasuk beberapa taktik cerdik guna mengecoh Dawson, ketimbang cheap thrills atau aksi medioker.
Ash memutar otak, menerapkan kecohan psikologis, didukung pemahaman mendalamnya atas detail berbagai layanan sederhana yang bisa diakses siapa saja. Lihat caranya mengeksploitasi sistem layanan pengiriman barang kantor pos. Di kursi sutradara, David Mackenzie tahu cara mengeskalasi ketegangan secara bertahap nan mulus dalam masing-masing set piece.
Intensitas sedikit mengendur kala Ash dan Sarah sejenak memasuki "fase rehat" untuk menantikan dampak strategi mereka. Alurnya mengalami stagnasi, biarpun ada upaya dari naskahnya menggeser fokus ke elemen dramatik mengenai dinamika sepasang manusia kesepian yang saling menemukan. Riz Ahmed tampil meyakinkan sebagai individu berotak brilian dengan masalah psikis, demikian pula Lily James kala mengeksplorasi kecemasan karakternya menghadapi kesendirian.
Perlahan kita diajak mengenali latar belakang Ash. Memahami alasannya menekuni profesi unik seperti sekarang, pula motivasinya saat kelak memutuskan tak lagi bersikap netral dan berdiam diri di hadapan ketidakadilan para pemegang kuasa. Presentasinya belum mampu memproduksi dampak emosional, namun cukup efektif memanusiakan Ash, yang di awal terkesan kurang manusiawi karena kecerdikannya.
Sayangnya selepas deretan kecerdikan yang filmnya tawarkan, seolah diharuskan memenuhi obligasi, Relay beralih ke format lebih generik di babak ketiganya lewat parade baku tembak dan kejar-kejaran. Belum lagi eksistensi twist-nya, yang meski berjasa menjelaskan beberapa keputusan bodoh karakternya, juga keintiman instan antara Ash dan Sarah yang dipaksakan hadir, lebih terkesan bermain curang ketimbang pintar. Yah, mungkin Relay tidak sepintar protagonisnya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar