PESANTREN IMPIAN (2016)

15 komentar
Ada harapan menjulang tinggi teruntuk film terbaru karya Ifa Isfansyah ini. Utamanya jelas karena usungan genre-nya, yakni perpaduan antara religi dan thriller. Jika anda rutin membaca tulisan di blog ini, tentu paham betul akan kejengahan saya pada tipikal film religi tanah air yang cenderung doyan menggurui penonton. Gabungan religi dan romansa sudah jamak. Begitu pula komedi. Tapi thriller? Diangkat dari novel berjudul sama buatan Asma Nadia (Surga yang Tak Dirindukan), Pesantren Impian jelas bertengger di jajaran film Indonesia paling saya tunggu tahun ini. Terlebih Ifa sudah membuktikan kapasitasnya menggarap berbagai jenis film, dari Sang Penari sampai sajian semua umur macam Ambilkan Bulan atau Garuda Di Dadaku. Jadi kenapa tidak untuk thriller-religi?

Dibuka oleh sebuah pembunuhan misterius, Pesantren Impian memperkenalkan kita dengan Briptu Dewi (Prisia Nasution), seorang polisi muda bermodalkan segudang ambisi dan kepercayaan diri. Demi mengungkap kasus pembunuhan itu, Dewi menyamar sebagai Eni, guna mendatangi undangan untuk tinggal di sebuah pesantren di pulau terpencil bernama Pesantren Impian. Pesantren tersebut didirikan oleh Gus Budiman (Deddy Sutomo) khusus bertujuan menuntun para perempuan menuju jalan lurus. Termasuk Dewi/Eni, total ada 10 perempuan dari berbagai latar belakang (PSK, artis, junkie) tiba di sana. Namun teror mulai menyerbu tatkala satu per satu penghuni pesantren ditemukan tewas mengenaskan. 
Sejak opening credit-nya yang stylish, saya sudah mencium ketidakberesan dalam film ini. Tanpa ada penjelasan sedikitpun, mendadak Briptu Dewi memutuskan mendatangi Pesantren Impian. Saya tahu, tujuannya adalah untuk memecahkan kasus pembunuhan tadi, namun apa kaitannya dengan pesantren tidak dipaparkan. Sempat mengira penjelasan memang disimpan rapat guna membangun misteri, faktanya justru berkebalikan. Alur semakin kusut, meninggalkan lebih banyak lubang dan pertanyaan tak terjawab. Berbagai tanya tersebut bukan usaha bertutur secara subtil atau menyusun ambiguitas sebagai bagian misteri, melainkan murni bentuk kekacauan naskah. 

Film misteri butuh sokongan naskah kuat, supaya penonton selalu tertarik merangkai keping-keping puzzle-nya. Andai tersesat pun, pondasi cerita menjaga minat penonton berpikir keras mencari jawaban. Tapi naskahnya sungguh kacau balau. Jika sedari awal saya tidak tahu apa yang dicari oleh Dewi, bagaimana bisa timbul ketertarikan? Bahkan di pertengahan film, kasus pembunuhan tadi mendadak dilupakan begitu saja, dijawab seadanya lalu berpindah menuju konflik baru. Mungkin naskahnya coba menyelipkan red herring (pengecoh), menggiring penonton menuju suatu arah sebelum banting setir ke arah berbeda. Namun daripada kecohan cerdas, yang terasa justru lompatan out-of-nowhere. Begitu film usai, bisa jadi anda akan bingung merangkai bagaimana titik awal "A" bisa berujung konklusi "B" saat ending.

Alurnya berjalan terburu-buru, tidak memberi kesempatan mengenal lebih jauh karakter dan misterinya. Pembukaan dan konklusi sama-sama dipaksakan hadir secepat mungkin, membuat Pesantren Impian seolah hanya berisi adegan pembunuhan demi pembunuhan. Tidak menjadi masalah apabila film ini menempatkan diri sebagai slasher, masalahnya Pesantren Impian coba menonjolkan kompleksitas misteri, di mana cerita adalah bagian vital. Sebagai thriller pun filmnya minim intensitas. Cara Ifa membangun ketegangan kelewat klise, entah bersenjatakan gerak lambat karakter kala bahaya mengintip atau scoring menyayat pengundang rasa kaget. Memandang lewat kacamata slasher juga tak memuaskan, karena penyajian momen pembunuhannya terlampau "malu-malu".
Keberhasilan utama film ini justru terletak pada unsur religi yang mungkin bakal sulit diterima masyarakat luas. Pondok pesantren sebagai ajang pembantaian? Adegan pembunuhan saat karakter tengah menjalankan solat? Keberanian Ifa patut diacungi jempol. Semuanya bak tamparan bagi sudut pandang dangkal banyak orang khususnya para fanatik. Jika kebanyakan film religi akan berkata "solat, maka semua masalahmu akan tuntas", Pesantren Impian seolah menyatakan "meski ibadah memang bentuk kebaikan berpahala, bukan berarti sepenuhnya menjauhkan dari marabahaya". Bukan berarti menodai kesucian agama, karena di dunia nyata, tindak bengis dapat terjadi di manapun dan dilakukan oleh siapapun, tak terkecuali di pondok pesantren berisikan ahli agama. 

Tiada pula ceramah menggurui walaupun tetap muncul usaha menyelipkan pesan lewat kisah Briptu Dewi yang digambarkan tidak religius. Kita diajak mengamati bagaimana wanita kuat ini ternyata menyimpan kerapuhan, dan tatkala kondisi makin memojokkan, Dewi pun melemah lalu kehilangan arah. Dari sinilah unsur religi seharusnya bisa merasuk secara alami tanpa paksaan karena sejalan dengan perkembangan karakter. Sayang, dangkalnya penceritaan turut melemahkan eksplorasi sosok Dewi. Hilang sudah potensi drama mengenai perjalanan tokohnya menemukan "cahaya". Padahal Prisia Nasution telah memberi akting kuat menjadikan dua sisi berlawanan dalam diri karakternya tampak believable. Menyedihkan rasanya, mendapati Pesantren Impian bertransformasi dari one of the most awaited movie of the year menjadi one of the most disappointing one



Ticket Powered by: Bookmyshow ID

15 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

padahal genrenya unik triler becampur religi tapi sayang nya kurang menarik ya.. jdi ragu tuktuk ditonton padahal sdh ditunggu2 penayangan nya

Rasyidharry mengatakan...

Tonton aja, cuma jangan pasang ekspektasi terlalu tinggi

Unknown mengatakan...

ok lah ntar saya tonton mungkin hari senin baru ada waktu

Unknown mengatakan...

bro review film Gods of Egypt dong kan lagi tayang dibioskop

Rasyidharry mengatakan...

Duh ragu keluar duit buat itu. Mungkin malah bakal pilih London Has Fallen

Unknown mengatakan...

dari trilernya kayak menarik gtu...ada dewa dewa nya..

Rasyidharry mengatakan...

It could be dumb fun, or just plain dumb haha

CineTariz mengatakan...

Gods of Egypt itu dumb fun kok. Masih cukup menikmati filmnya, apalagi ceweknya mirip Michelle Ziudith *ngilang*

Rasyidharry mengatakan...

Dasar blogger film berhati sinetron!

Hadiy El Jaffary mengatakan...

Dari sinopsis nya ada beberapa perbedaan kisah dg novel. Padahal novel nya cukup memuaskan. Seperti bukan asma nadia seperti biasanya.

Blm sempat nonton. Di sini minim layar. Ga ada yang ngangkat layar pesantren impian. Kota kecil T.T

Rasyidharry mengatakan...

Kata penonton yang juga baca bukunya emang ada beberapa perbedaan di adegan-adegan penting

Miruka Angguna mengatakan...

Sepakat, saya ngga nemuin benang antara tiap scenenya, so sorry to say that, saya msh ngga paham pesan filmnya, sebagai penonton yg belum baca novelnya

Anonim mengatakan...

Aih baru diputer nih di sctv, dan cukup mengecewakan karena ekspektasi udah tinggi tadinya,liat nama prisia sama ifa isfansyah. ternyata ancur endingnya. masih ga ngerti jadi ini motif pembunuhnya apa ya,sepenting itukah?

Anonim mengatakan...

Iya bener nih. Jane itu intinya kenapa ngebunuh semuanya dan yaaa ga nangkep benang merahnya.

Anonim mengatakan...

Filmnya gk memahamkan dan gk nyambung dg kronologi awalnya. Si fachri jg ngomongnya gk jelas