A LITTLE THING CALLED LOVE (2010)
Film yang punya 2 judul lain (First Love & Crazy Little Thing Called Love) ini memang menjadi salah satu film sleeper hit Asia terbesar tahun ini. Bagi saya sendiri hasil yang disuguhkan oleh duo sutradara Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon dan Wasin Pokpong ini cukup melebihi ekspektasi. Thailand yang biasanya dikenal dengan film horror kembali mengejutkan saya. Setelah "Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives" yang menang Palme d'Or tahun lalu, giliran film ini yang berhasil menyuguhkan kejutan manis berupa sebuah komedi romantis yang ringan, down to earth, sekaligus menyentuh.
Nam (Baifern Pimchanok Luevisadpaibul) adalah gadis cilik yang sedang merasakan cinta pertamanya kepada kakak kelasnya yang berselisih 3 angkatan bernama Shone (Mario Maurer). Yang jadi masalah, Shone merupakan idola di kalangan gaids-gadis di sekolah tersebut mulai dari yang seangkatan sampai adik angkatannya termasuk Nam. Nam sendiri bagaikan bumi dan langit dengan Shone. Nam adalah gadis yang jelek, hitam dan punya selera fashion buruk. Nam juga bukan anak yang pintar. Untungnya Nam punya sahabat-sahabat yang baik hati. Mereka membantu Nam guna meraih impiannya mendapatkan cinta Shone mulai dari merubah penampilan Nam sampai melakukan hal-hal konyol seperti yang tertulis dalam buku "resep cinta" yang mereka baca.
Plot yang disajikan memang sangat sederhana dan super predictable. Tapi untungnya penyajian yang diberikan tidak sesederhana jalan ceritanya. Paruh awal film adalah bagian yang sangat menyenangkan. Bagian dimana Nam dan kawan-kawannya melakukan usaha-usaha konyol yang guna membuat Nam mendapatkan Shone sangat berhasil memancing tawa saya. Apalagi adanya tokoh Guru Inn yang diperankan Sudarat Budtporm juga turut menjadi "badut" yang begitu lucu dimana dia mendapatkan subplot yang kurang lebih sama dengan Nam, yaitu wanita buruk rupa mengejar pria tampan yang menjadi idola.
Sayangnya, memasuki pertengahan film ini makin terjerumus pada segala hal klise yang membosankan sekaligus bertele-tele. Plot standar yang di paruh awal tertolong dengan segala kelucuan yang ada di paruh kedua ini makin menjadi tanpa ada satu faktorpun yang mampu menolong, kecuali paras cantik gadis-gadis Thailand di film ini. Selebihnya, plot disaat Nam sudah berubah menjadi gadis cantik yang menjadi rebutan sangat membosankan. Dan ditambah konflik perpecahan antara Nam dan sahabatnya yang sudah saya prediksi dari awal akan terjadi. Transformasi Nam menjadi cantik juga terasa terlalu cepat. Tiba-tiba saja Nam yang buruk rupa itu menjadi cantik setelah dia didandani untuk pertama kali saat pementasan drama? Kisah cinta segitiga di pertengahan film juga masih kurang bisa membantu. Singkat kata paruh kedua film nyaris membuat saya tergoda untuk mempercepat durasi.
Untunglah paruh akhir film ini kembali menaikkan minat saya. Jika paruh awal suguhan komedi yang lucu jadi andalan, paruh akhir menghadirkan kisah dramatis yang cukup mengharu biru. Akhir film ini seperti apa memang predictable, tapi bagaimana kisah bergulir hingga akhir itulah yang agak tidak terduga sekaligus menyentuh. Kesederhanaan yang ada justru membuat saya hampir menangis menonton paruh akhir film ini. Jujur hampir tidak ada romcom yang mampu membuat saya terharu selain (500) Days of Summer. Dan ternyata film dari Thailand ini mampu menyuguhkan hal tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:actually basi sebenarnya nih film, tapi gatau kenapa kebasian itu yg membuat menarik,,,
cuma plot hole soal betapa cepat dia jadi cantik yang membuat gue jetlag dikit. hehe
eh tukeran link blog satunya dong
www.movie-snack.blogspot.com
Naah itu dia tuh bisa tiba" cantik begitu dari mana ceritanya. Untung cantik jadi betah dah mantenginnya :P
Oke, sudah dilink
dia kan jadi cantik tu , itu bukan orang yang sama kan ?
masak iya sih ke ajaiban kosmetik , just penasaran hahahahaha
Hoho itu cewek yg sama kok, sama-sama si Pimchanok Luevisadpaibul dan cuman hasil dari make up :)
saya suka film itu
Posting Komentar