RED, WHITE & BLUE (2010)
Pergulatan hati manusia yang tengah dilanda kegundahan dan kesedihan hingga level yang amat dalam adalah sajian utama film ini. Kisah 3 orang yang kesemuanya pernah dan sedang menghadapi fase kehidupan yang amat berat dan suram ternyata bukan hanya sulit untuk ditonton tapi juga sulit untuk dibuat menjadi film secara memuaskan. Setidaknya hal itulah yang saya tangkap setelah menonton film garapan sutradara Simon Rumley ini. Bercerita mengenai Erica (Amanda Fuller), Nate (Noah Taylor) dan Franki (Marc Senter) yang masing-masing saling mempunyai hubungan yang mulai menyambung disaat mereka tengah mengalami cobaan luar biasa dalam hidup mereka.
Erica adalah seorang gadis yang hampir tiap malamnya dihabiskan untuk minum sendirian di bar sembari menanti ada pria yang mendekati lalu mengajaknya berhubungan seks. Erica sendiri adalah gadis yang seolah hidupnya diisi dengan kemurungan dan kebahagiaan semu yang didapat setelah dia berhubungan seks dengan lelaki yang berbeda tiap malam. Erica sendiri melakukan itu akibat masa lalunya yang memilukan. Erica sebenarnya tidak sendiri karena ada Nate yang sebenarnya mencintai Erica dengan tulus dan tidak hanya mengejar seks belaka.
Tapi Erica tidak tertarik dan selalu mengacuhkan perhatian yang diberikan oleh Nate. Sampai suatu hari Erica berhubungan seks dengan Franki dan kedua temannya. Franki sendiri adalah seorang anak band yang sedang berada di ambang sukses tetapi sedang mempunyai masalah dimana sang ibu dalam kondisi sekarat akibat kanker. Tanpa ada yang menduga hubungan seks yang diperlihatkan diawal film tersebut akan menjadi awal dari sebuah tragedi berdarah yang terjadi akibat pergulatan jiwa dan emosi kesedihan yang tidak terbendung lagi.
Film ini berpotensi menjadi film yang sangat kompleks dan menarik untuk disimak. Segala persoalan yang saya sebutkan dalam sinopsis diatas masih belum mencakup keseluruhan persoalan yang hadir karena bisa berpotensi menimbulkan spoiler. Seiring berjalannya cerita dan saling terhubungnya karakter yang satu dengan yang lain dan terungkap beberapa fakta yang cukup mengejutkan maka permasalahan yang muncul ke permukaan makin rumit saja. Tapi nampaknya Simon Rumley tidak mampu mengarahkan berbagai persoalan hidup yang berpotensi menjadi sebuah suguhan pergulatan jiwa karakter-karakternya. Berbagai persoalan yang muncul terasa hanya sambil lalu sehingga saya sebagai penonton sama sekali tidak ikut merasa iba atau mungkin depresi dengan masalah yang ada.
Editing buruk dari Robert Hall yang acak-acakan juga ikut membuat penceritaan film ini kurang jelas sehingga berdampak pada keberhasilan film ini dalam menyalurkan berbagai konflik yang muncul. Film ini seperti diedit oleh anak SMA atau mahasiswa yang baru saja mencoba membuat film pertama mereka. Padahal Robert Hall pernah bekerja sebagai editor dalam film kedua "Resident Evil" tapi dalam film ini editingnya terasa begitu amatir dan kasar. Hal itu seringkali menciptakan plot hole. Misal setelah Erica dan Nate bertengkar, tiba-tiba saja mereka sudah menghadiri sebuah pesta bersama dan bercengkerama dengan hangat. Hal seperti itu sering terjadi dalam film ini akibat proses editing buruk. Tapi sutradara Simon Rumley juga turut berperan dalam keburukan tersebut akibat kurang cakapnya dia dalam men-direct.
Masih banyak keburukan lain jika menilik sisi editing film ini yang berbuntut dengan munculnya hal-hal yang tidak berkolerasi satu sama lain yang sebenarnya bukanlah kesalahan pada naskah tapi lebih karena editing yang ngawur tersebut. Tapi kalau boleh jujur naskah film ini juga kurang sempurna melihat karakter Franki yang penggambaran awalnya adalah anak yang dasarnya baik tapi perbuatannya terhadap Erica yang menjadi sumber konflik terasa terlalu dipaksakan. Berbeda dengan Nate yang tiba-tiba bisa berubah karakter dari pendiam menjadi sadis yang memang terasa wajar dan bisa ditolerir, perubahan sifat Franki terasa dipaksakan.
Beruntung ada beberapa hal positif yang membuat saya tidak membenci film ini. Yang pertama adalah ceritanya yang pada dasarnya bagus sehingga walaupun beberapa segi teknis berantakan saya tetap merasakan segi bagusnya. Cukup menarik juga menunggu apa yang akan terjadi setelah semua fakta terungkap. Yang kedua adalah cukup kentalnya unsur seks dan sadisme dalam film ini walaupun sadisme dalam 15 menit terakhir masih bisa lebih vulgar lagi tapi sudah cukup untuk mengangkat mood saya kembali. Yang terakhir dan akhirnya menjadi pelengkap adalah akting Noah Taylor sebagai Nate yang bisa bertransformasi dengan cukup baik. Ketiga hal itulah yang membuat "Red, White & Blue" masih bisa saya golongkan sebagai film layak tonton yang kurang dari segi eksekusi. Amat disayangkan.
RATING:
Erica adalah seorang gadis yang hampir tiap malamnya dihabiskan untuk minum sendirian di bar sembari menanti ada pria yang mendekati lalu mengajaknya berhubungan seks. Erica sendiri adalah gadis yang seolah hidupnya diisi dengan kemurungan dan kebahagiaan semu yang didapat setelah dia berhubungan seks dengan lelaki yang berbeda tiap malam. Erica sendiri melakukan itu akibat masa lalunya yang memilukan. Erica sebenarnya tidak sendiri karena ada Nate yang sebenarnya mencintai Erica dengan tulus dan tidak hanya mengejar seks belaka.
Tapi Erica tidak tertarik dan selalu mengacuhkan perhatian yang diberikan oleh Nate. Sampai suatu hari Erica berhubungan seks dengan Franki dan kedua temannya. Franki sendiri adalah seorang anak band yang sedang berada di ambang sukses tetapi sedang mempunyai masalah dimana sang ibu dalam kondisi sekarat akibat kanker. Tanpa ada yang menduga hubungan seks yang diperlihatkan diawal film tersebut akan menjadi awal dari sebuah tragedi berdarah yang terjadi akibat pergulatan jiwa dan emosi kesedihan yang tidak terbendung lagi.
Film ini berpotensi menjadi film yang sangat kompleks dan menarik untuk disimak. Segala persoalan yang saya sebutkan dalam sinopsis diatas masih belum mencakup keseluruhan persoalan yang hadir karena bisa berpotensi menimbulkan spoiler. Seiring berjalannya cerita dan saling terhubungnya karakter yang satu dengan yang lain dan terungkap beberapa fakta yang cukup mengejutkan maka permasalahan yang muncul ke permukaan makin rumit saja. Tapi nampaknya Simon Rumley tidak mampu mengarahkan berbagai persoalan hidup yang berpotensi menjadi sebuah suguhan pergulatan jiwa karakter-karakternya. Berbagai persoalan yang muncul terasa hanya sambil lalu sehingga saya sebagai penonton sama sekali tidak ikut merasa iba atau mungkin depresi dengan masalah yang ada.
Editing buruk dari Robert Hall yang acak-acakan juga ikut membuat penceritaan film ini kurang jelas sehingga berdampak pada keberhasilan film ini dalam menyalurkan berbagai konflik yang muncul. Film ini seperti diedit oleh anak SMA atau mahasiswa yang baru saja mencoba membuat film pertama mereka. Padahal Robert Hall pernah bekerja sebagai editor dalam film kedua "Resident Evil" tapi dalam film ini editingnya terasa begitu amatir dan kasar. Hal itu seringkali menciptakan plot hole. Misal setelah Erica dan Nate bertengkar, tiba-tiba saja mereka sudah menghadiri sebuah pesta bersama dan bercengkerama dengan hangat. Hal seperti itu sering terjadi dalam film ini akibat proses editing buruk. Tapi sutradara Simon Rumley juga turut berperan dalam keburukan tersebut akibat kurang cakapnya dia dalam men-direct.
Masih banyak keburukan lain jika menilik sisi editing film ini yang berbuntut dengan munculnya hal-hal yang tidak berkolerasi satu sama lain yang sebenarnya bukanlah kesalahan pada naskah tapi lebih karena editing yang ngawur tersebut. Tapi kalau boleh jujur naskah film ini juga kurang sempurna melihat karakter Franki yang penggambaran awalnya adalah anak yang dasarnya baik tapi perbuatannya terhadap Erica yang menjadi sumber konflik terasa terlalu dipaksakan. Berbeda dengan Nate yang tiba-tiba bisa berubah karakter dari pendiam menjadi sadis yang memang terasa wajar dan bisa ditolerir, perubahan sifat Franki terasa dipaksakan.
Beruntung ada beberapa hal positif yang membuat saya tidak membenci film ini. Yang pertama adalah ceritanya yang pada dasarnya bagus sehingga walaupun beberapa segi teknis berantakan saya tetap merasakan segi bagusnya. Cukup menarik juga menunggu apa yang akan terjadi setelah semua fakta terungkap. Yang kedua adalah cukup kentalnya unsur seks dan sadisme dalam film ini walaupun sadisme dalam 15 menit terakhir masih bisa lebih vulgar lagi tapi sudah cukup untuk mengangkat mood saya kembali. Yang terakhir dan akhirnya menjadi pelengkap adalah akting Noah Taylor sebagai Nate yang bisa bertransformasi dengan cukup baik. Ketiga hal itulah yang membuat "Red, White & Blue" masih bisa saya golongkan sebagai film layak tonton yang kurang dari segi eksekusi. Amat disayangkan.
RATING:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar