IN TIME (2011)
"Waktu adalah uang". Begitulah ungkapan yang sering kita dengar tentang bagaimana setiap orang harus menghargai waktu yang mereka miliki. Tapi bagaimana jika ungkapan itu menjadi kenyataan? Bagaimana jika waktu memang menjadi sebuah uang yang harus digunakan untuk menyambung hidup manusia setiap harinya? Bagaimana jika suatu saat untuk membeli secangkir kopi kita tidak lagi harus mengeluarkan uang tapi kita harus menyerahkan beberapa menit dari sisa umur kita untuk membayarnya? Begitulah konsep yang ditawarkan oleh Andrew Niccol dalam film terbarunya ini. Yang patut dicatat naskah In Time adalah hasil tulisan Niccol sendiri dan bukan adaptasi ataupun remake sehingga jelas ini jadi sebuah nilai plus dan daya tarik tersendiri, apalagi untuk menciptakan sebuah konsep baru dalam dunia sci-fi butuh kreativitas yang ekstra.
Pada tahun 2161, semua manusia diceritakan akan berhenti bertambah tua setelah mencapai usia 25 tahun. Setelah mencapai 25 tahun, mereka harus berusaha untuk bisa mendapatkan perpanjangan usia. Dalam hal ini konsepnya sama saja dengan orang bekerja lalu dia dibayar. Bedanya mereka bukan dibayar dengan uang tapi dengan tambahan usia. Jadi dengan kata lain orang kaya akan bisa hidup lama hingga ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun, sedangkan orang miskin harus menyambung hidup hari demi hari. Will Salas (Justin Timberlake) yang berusia 28 tahun adalah salah satu dari orang-orang yang harus berusaha menyambung hidup per-hari. Suatu malam Will bertemu dengan orang kaya bernama Henry Hamilton (Matt Bomer) yang mempunyai sisa umur lebih dari 100 tahun. Henry menjadi sasaran para pencuri waktu yang berusaha mengambil sisa umurnya. Tapi sebelum itu terjadi Will berhasil menyelamatkan Henry. Merasa berhutang budi dan merasa juga telah terlalu lama menjalani hidup, Henry memberikan sisa umurnya pada Will. Namun ternyata Will justru harus berurusan dengan timekeeper bernama Leon (Cillian Murphy) setelah dia dituduh mencuri sisa umur Henry.
Ide yang sangat menarik, kreatif sekaligus cerdas dituangkan Andrew Niccol dalam film ini. Premise dasarnya saja sudah menarik dimana manusia hidup menggunakan sisa waktu hidupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dunia yang dia ciptakan amat menarik disaksikan. Melihat setiap orang mempunyai jam yang meperlihatkan sisa hidupnya, lalu dimana mereka harus bertansaksi dengan membayarkan beberapa waktu dari umur mereka. Tentu semua itu adalah sebuah ide yang unik. Tapi bukan itu saja, Niccol juga cukup berambisi untuk menghadirkan beberapa pesan moral yang muncul dalam berbagai gambaran metafora dalam kisah film ini. Yang paling terasa mungkin bagaimana manusia seringkali tidak menghargai waktu. Satu detik, menit, jam atau mungkin hari tidaklah terasa sebagai berkah yang besar.Tapi dalam dunia yang diciptakan Andrew Niccol, ada kalanya satu sampai dua menit jadi amat berharga dan sebenarnya dalam waktu yang singkat itu kita bisa melakukan berbagai macam hal yang berguna.
Ada juga gambaran tentang perbedaan jarak yang amat lebar antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya bisa hidup enak dan berumur panjang yang membuat mereka bisa lebih menikmati kehidupan mereka dan tidak pernah merasa kekurangan waktu. Tapi orang miskin harus berjuang keras untuk bisa hidup tiap harinya bahkan terkadang tiap jamnya. Dan mereka tinggal dalam tempat yang terpisah yang punya kondisi jauh berbeda. Pemerintah juga digambarkan menerapkan berbagai kebijakan yang memberatkan orang miskin sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa bertahan hidup. Sebuah metafora sosial yang bisa dengan mudah terbaca karena sebenarnya sudah sangat sering digambarkan dalam sebuah film dan tidak lagi spesial. Entah sudah berapa kali sebuah film mengkritisi tentang jurang pemisah antara kaya dan miskin atau ketidak adilan pemerintah. Toh memang sebenarnya isu sosial itu selalu menarik dibicarakan karena masih terus terjadi. Tetapi sebenarnya isu sederhana tentang "memanfaatkan waktu yang kita punya" akan jauh lebih menarik jika itu saja yang fokus diangkat. Karena meskipun berhasil memasukkan beberapa unsur tersebut, Niccol terasa terlalu ambisius dengan memasukkan unsur sosial dan kritikan lainnya sehingga perenungan terhadap apa yang disampaikan kurang mengenai.
In Time sendiri memang pada akhirnya terasa agak nanggung. Ide ceritanya brilian, tapi pengembangannya kurang maksimal dan agak kurang fokus pada satu kondisi sosial yang coba dikritik, padahal film ini amat berpotensi jadi sebuah kisah sci-fi yang mungkin akan bisa mempengaruhi pola pikir penontonnya tentang pemanfaatan waktu. Adegan action dalam film ini lumayan menghibur dan tidak ditampilkan berlebihan untungnya, tapi hal itu juga menjadikan ada beberapa momen yang membosankan saat eksplorasi kisahnya sedang kurang berhasil dan adegan aksinya tidak spektakuler. Paruh pertama saya masih merasa In Time akan menjadi salah satu film sci-fi paling keren di 2011, tapi saat mulai melewati pertengahan dan saya merasa pengembangan kisahnya jadi kurang berhasil, kebosanan mulai sedikit hinggap. Justin Timberlake sendiri memang terlihat cukup keren aksinya tapi hanya itu saja. Jelas dia masih harus banyak belajar untuk menjadi tokoh utama sebuah film yang harus bisa lebih menunjukkan emosi lebih untuk bisa membuat penontonnya terikat. Amanda Seyfried tampil lebih cantik dan menarik daripada biasanya dan mampu membuat saya tidak terlalu memperhatikan aktingnya. Pada akhirnya In Time dengan segala ide ceritanya yang brilian itu hanya berakhir jadi sebuah film hiburan yang lumayan padahal punya potensi jadi sci-fi yang keren.
RATING:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Gan, ane link ya Blog-nya... :)
premis awalnya keren tapi endingnya jadi chessy..
jadi robin hood style gitu?
padahal kalo dieksplore soal teori konspirasinya, dan gimana manusia semua bisa lahir dengan stempel di tangan, itu baru keren.
tapi ide 2 orang mengubah dunia emang bener2 hollywood banget. cocok ditonton sambil nonton popcorn, atau nungguin pesenan kfc 14022 yg gak kunjung dateng....
Hehe ya begitulah film mainstream Holly, milih jalur aman
Posting Komentar